Belakangan ini, muncul tren di media sosial sebuah fenomena yang disebut dengan ‘cek khodam’. Praktik ini dilakukan secara langsung melalui aplikasi TikTok dimana sang pemilik akun menyebutkan ‘khodam’ dari penonton/warganet yang menyebutkan namanya melalui kolom komentar.
Lantas apa ketentuan syariat dalam hal ini? Apakah seorang muslim diperbolehkan mengikuti tren ini? Dan apa efek yang ditimbulkan jika mengikuti dan mempercayai ‘cek khodam’?
Penjelasan Hadis tentang Qarin
Kebanyakan masyarakat yang mengikuti tren ini mempercayai bahwa pada diri manusia terdapat seorang jin atau makhluk gaib yang berstatus khodam (pembantu) bagi dirinya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (ما منكم من أحد إلا وقد وكِّل به قرينه من الجن) قالوا: وإياك يا رسول الله؟ قال: (وإياي! إلا أن الله أعانني عليه فأسلم؛ فلا يأمرني إلا بخير)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada seorang dari kalian kecuali terdapat padanya pendamping dari bangsa jin.’ Para sahabat berkata, ‘Begitu pula dengan dirimu wahai Rasulullah?’ Rasulullah bersabda, ‘Begitu pula dengan diriku. Akan tetapi, Allah membantuku dengannya, hingga ia pun masuk Islam. Sehingga ia tidak memerintahkan kepadaku kecuali kepada kebaikan.” (HR. Muslim)
Dalam hadis ini, terdapat peringatan dari fitnah (bahaya) qarin, usahanya untuk memberikan was-was dan kesesatan. Sehingga Rasulullah memberitahukan kepada kita bahwa qarin -yaitu setan- membersamai kita supaya kita dapat membentengi diri sebisa mungkin dari pengaruhnya.
Hanya Allah Yang Mengetahui Perkara Gaib
Sebagai seorang muslim, hendaknya kita meyakini bahwa satu-satunya yang mengetahui perkara gaib hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana firman-Nya,
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ٱلْغَيْبَ إِلَّا ٱللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)
وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِى ظُلُمَٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59)
Hal-hal yang gaib tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Allah Tabaraka wa Ta’ala. Ia tidak diketahui oleh para malaikat yang dekat dengan-Nya maupun para Nabi yang diutus.
Lalu bagaimana seorang manusia bisa mengklaim bahwa dirinya mengetahui sesuatu yang bersifat gaib? Tidaklah perkara yang bathil ini kecuali bersumber dari setan yang menyesatkan atau kebohongan dari pribadi itu sendiri.
Seorang yang mengaku-ngaku dirinya mengetahui ilmu atau perkara yang gaib adalah seorang dukun. Dimana ia memiliki pembantu dari golongan setan yang memberitahu berita-berita gaib yang dicuri dari langit, lalu mereka mencampurkan antara kebenaran berita itu dan kebohongan. Ini sebagaimana disebutkan di dalam hadis shahih riwayat Al-Bukhari dan selainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَنْزِلُ فِي الْعَنَانِ وَهُوَ السَّحَابُ فَتَذْكُرُ الْأَمْرَ قُضِيَ فِي السَّمَاءِ فَتَسْتَرِقُ الشَّيَاطِيْنُ السَّمْعَ، فَتُوْحِيهِ إِلَى الْكُهَّانِ فَيَكْذِبُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذَّبَةٍ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ
“Sungguh, para malaikat turun ke awan lalu menyampaikan perintah yang telah diputuskan di langit. Pada waktu itu, para setan mencuri dengar berita yang ada dan membisikkannya kepada para dukun, lantas mereka mencampurkannya dengan seratus kebohongan dari sisi mereka sendiri.” (HR. Bukhari no. 3038 dan Muslim no. 2228)
Disebutkan dalam hadis riwayat Muslim dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Saat Rasulullah bersama sejumlah kaum Anshar, tiba-tiba ada sebuah bintang jatuh sehingga memancarkan sinar terang, Nabi lalu bertanya,
مَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ لِمِثْلِ هَذَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ؟ قَالُوا كُنَّا نَقُولُ يَمُوتُ عَظِيمُ أَوْ يُولَدُ عَظِيمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: فَإِنَّهُ لَا يُرْمَى بِهِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ رَبَّنَا عَزّ وَجَلَّ إِذَا قَضَى أَمْرًا سَبَّحَ لَهُ حَمَلَةُ الْعَرْشِ ثُمَّ سَبَّحَ أَهْلُ السَّمَاءِ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ التَّسْبِيحُ إِلَى هَذِهِ السَّمَاءِ، ثُمَّ يَسْأَلُ أَهْلُ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ حَمَلَةَ الْعَرْشِ مَاذَا قَالَ رَبُّنَا، فَيُخْبِرُونَهُمْ ثُمَّ يَسْتَخْبِرُ أَهْلُ كُلّ سَمَاءٍ حَتَّى يَبْلُغَ الْخَبَرُ أَهْلَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا وَتَخْتَطِفُ الشَّيَاطِينُ السَّمْعَ فَيُرْمَوْنَ فَيَقْذِفُونَهُ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ فَمَا جَاءُوا بِهِ عَلَى وَجْهِهِ فَهُوَ حَقٌّ وَلَكِنَّهُمْ يَزِيدُونَ
‘Apa yang kalian katakan pada masa jahiliyyah dahulu apabila melihat hal semacam ini?’ Mereka menjawab, ‘Dahulu, kami mengatakan akan ada orang besar yang meninggal dunia atau ada orang besar yang akan dilahirkan.’ Nabi lantas bersabda, ‘Sesungguhnya bintang itu tidaklah dilemparkan disebabkan kematian atau kehidupan seseorang, tetapi Rabb kita ‘Azza wa Jalla, ketika memutuskan suatu masalah, para (malaikat) pemikul Arsy bertasbih, lantas para penghuni langit di bawahnya bertasbih, kemudian penghuni langit di bawahnya lagi turut bertasbih hingga tasbih itu mencapai para penghuni langit (yang paling bawah) ini. Kemudian para penghuni langit ketujuh bertanya kepada para (malaikat) pemikul Arsy, ‘Apa yang difirmankan Rabb kita?’ Para malaikat pemikul Arsy pun memberitahukan mereka, setelah itu para penghuni tiap langit bertanya hingga berita itu sampai ke langit paling bawah. Setan-setan lalu mencuri dengar, hingga mereka menyampaikan kepada para pembelanya (dukun-dukun). Maka, berita yang mereka sampaikan sesuai apa adanya, itulah yang benar; hanya saja mereka menambah-nambahkannya.’ (HR. Muslim no. 2229, Ahmad no. 218, dan At-Tirmidzi no. 3277)
Hal ini sebagaimana firman Allah,
وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَٰدِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am: 121)
Demikianlah hakikatnya, setan tidak akan membantu para dukun tersebut hingga mereka kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau melecehkan agama.
Baca juga: Wahai Saudariku, Imanilah Bahwa Jin Itu Ada
Bahaya Mendatangi dan Mempercayai Seseorang yang Mengklaim bahwa Dirinya Mengetahui Perkara Gaib
Mendatangi dan bertanya kepada seorang dukun berbeda hukumnya sesuai dengan tujuannya. Hal itu dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama: Bertanya dengan maksud iseng atau bercanda, maka hukumnya haram. Meskipun dia tidak membenarkan jawabannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. At-Taubah: 65)
Kedua: Bertanya dengan maksud ingin membenarkan jawabannya, hukumnya adalah haram dan salatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافاً فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia mempercayainya, maka salatnya tidak diterima selama empat puluh hari.” (HR. Muslim no. 2230. Adapun lafaz “dan membenarkan apa yang dikatakannya” bukanlah dalam riwayat Muslim, akan tetapi terdapat dalam riwayat Ahmad, 4: 68)
Hadis ini (yang diriwayatkan oleh Muslim (tanpa lafaz, “dan dia mempercayainya”) menunjukkan beratnya hukuman orang yang mendatangi dukun (meskipun tidak sampai membenarkan ucapannya). Karena salatnya tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak bernilai pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, meskipun orang tersebut tidak diperintahkan mengulangi salatnya. Salat yang dia kerjakan tidak bernilai pahala, karena salatnya tidak diterima. Hukuman yang keras ini menunjukkan haramnya pergi mendatangi dukun, meskipun tidak sampai membenarkan ucapannya. (Lihat I’anatul Mustafid, 1: 343)
Abu Dawud meriwayatkan hadis dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud no. 3904, At-Tirmidzi no. 135, dan Ibnu Majah no. 639. Dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam Al-Irwa no. 2006)
Dan diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافاً أَوْ كَاهِناً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad di dalam Al-Musnad, 2: 429 dan Al-Hakim, 1: 8)
Kufur yang dimaksudkan dalam hadis di atas adalah kufur asghar menurut sebagian ulama.
Ketiga: Bertanya karena memiliki keyakinan bahwa dukun mengetahui ilmu gaib secara mutlak, maka hukumnya adalah kufur akbar.
Berdasarkan hal ini, maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk tidak turut mengikuti tren ‘cek khodam’ karena hal ini akan berdampak kepada akidah atau keyakinnya terlebih dalam ketawakalannya kepada Allah Ta’ala. Hendaknya kita membentengi diri dari segala bentuk kemusyrikan maupun kekafiran. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)
Wa sallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Baca juga: Pengurai Berbagai Permasalahan
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel: Muslimah.or.id