Konsep kelima: Sebab-sebab meraih rezeki
Sebab meraih rezeki ada dua, yaitu:
Pertama: sebab yang bersifat materi
Yang dimaksud dengan sebab materi adalah bekerja, misalnya dengan berdagang, atau profesi lainnya. Bahkan kita dapati para Nabi pun, mereka bekerja untuk meraih rezeki. Misalnya, Nabi Daud ‘alaihis salam dapat membuat baju besi,
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu. Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah).” (QS. Al-Anbiya’: 80)
Nabi Zakaria ‘alaihis salam adalah seorang tukang kayu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan,
كانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا
“Dahulu, Zakaria bekerja sebagai seorang tukang kayu (pembuat mebel).” (HR. Muslim no. 2379)
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memotivasi para sahabatnya untuk bekerja dan berusaha. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ما أكَلَ أحَدٌ طَعامًا قَطُّ، خَيْرًا مِن أنْ يَأْكُلَ مِن عَمَلِ يَدِهِ، وإنَّ نَبِيَّ اللَّهِ داوُدَ عليه السَّلامُ، كانَ يَأْكُلُ مِن عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud ‘alaihis salam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari no. 2072)
Kedua: sebab yang bersifat ukhrawi
Sebab ukhrawi adalah sebab yang seringkali dilalaikan dan tidak dianggap, padahal efeknya jauh lebih besar daripada sebab materi. Misalnya, berdoa kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa di setiap pagi yang penuh keberkahan dengan mengucapkan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA ‘ILMAN NAAFI’AN WA RIZQON THOYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQOBBALAN.” (Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amalan yang diterima Allah Ta’ala.) (HR. Ahmad, 6: 322; Ibnu Majah, no. 925. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 753)
Juga doa lainnya dari hadis ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan doa berikut,
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“ALLAHUMMAK-FINII BI HALAALIKA ‘AN HAROOMIK, WA AGH-NINIY BI FADHLIKA ‘AMMAN SIWAAK.” (Artinya: Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.) (HR. Tirmidzi no. 3563. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan.)
Sebab lainnya yang sangat ampuh adalah silaturahmi, terutama kepada kedua orangtua. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Sebab lainnya adalah bersedekah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2588)
Secara lahiriyah, sedekah memang mengurangi harta. Akan tetapi, Allah Ta’ala akan tambahkan rezeki kepada kita. Terdapat dalam hadis Qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ، أُنْفِقْ عَلَيْكَ
“Berinfaklah wahai anak Adam, niscaya Aku akan berinfak kepada kalian.” (HR. Bukhari no. 7411 dan Muslim no. 1658)
Sebab yang berikutnya adalah menikah. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32)
Banyak anak juga sebab rezeki, karena masing-masing anak membawa rezekinya masing-masing. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’: 31)
Juga bersyukur kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian.” (QS. Ibrahim: 7)
Amalan lainnya adalah mengiringi haji dengan umrah atau sebaliknya. Meskipun artinya bukanlah kita umrah tiap bulan, tetapi ada waktu-waktu ketika kita melaksanakan ibadah tersebut dalam kondisi yang memungkinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak.” (HR. An-Nasa’i no. 2631, Tirmidzi no. 810, dan Ahmad 1: 387. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)
Amalan lainnya adalah istighfar kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ؛ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ؛ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Konsep keenam: Rezeki yang dituntut adalah rezeki yang thayib (baik), yaitu rezeki yang berkah
Rezeki yang bermanfaat adalah rezeki yang berkah, tidak harus banyak. Kita bisa memanfaatkan rezeki tersebut untuk beribadah kepada Allah, berbakti kepada kedua orangtua, mencukupi kebutuhan keluarga, dan lain-lain. Sebagian orang terperdaya dengan jumlah yang banyak, namun tidak berkah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pedagang yang jujur menjelaskan aib barang dagangan,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur (dalam menjelaskan keistimewaan barang dagangan, pent.) dan saling terus terang (dalam menjelaskan aib atau catat barang dagangan, pent.), maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.” (Muttafaqun ‘alaih)
Banyak hal yang merupakan tanda rezeki tidak berkah, misalnya justru dipakai untuk maksiat, anak istri yang durhaka, dan sejenisnya. Kita inginkan bahwa rezeki kita adalah rezeki yang berkah. Kalau rezekinya banyak, alhamdulillah, itulah yang kita inginkan. Tetapi jika tidak banyak namun berkah, itulah yang terbaik. Bahkan di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا
“Ya Allah, jadikan rezeki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim no. 1055)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa seperti itu agar hisab tidak panjang.
Bagaimana agar kita tahu bahwa rezeki tersebut adalah rezeki yang berkah? Maka dilihat. Jika rezeki tersebut membuat kita semakin dekat kepada Allah, itulah rezeki yang berkah. Jika tidak, maka itu adalah istidraj (hukuman yang ditunda). Harta adalah pemberian Allah, dan hanya kita gunakan sesuai aturan Allah. Pada hari kiamat, harta yang kita miliki akan ditanya tentang dua hal, darimana mendapatkannya dan kemana dibelanjakan.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang: 1) umurnya, kemana dia habiskan; 2) ilmunya, bagaimana dia mengamalkannya; 3) hartanya, dari mana dia peroleh dan ke mana dia belanjakan; serta 4) tubuhnya, untuk apa dia gunakan.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Ad-Daarimi no. 537, dan Abu Ya’la no. 7434. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 946.)
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk penulis dan juga pembaca sekalian.
[Selesai]
Kembali ke bagian 2: Konsep Rezeki yang Diatur dalam Syariat (Bag. 2)
***
@7 Muharram 1446/ 13 Juli 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari penjelasan Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA., di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=rcmgho2oBTE&t=1011s
disertai beberapa tambahan dari penulis.