Baca seri sebelumnya: Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah (Bag. 3)
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga selawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Alhamdulillah, kami dapat kembali melanjutkan serial artikel kaidah-kaidah memahami hakikat istiqomah.
Kaidah keempat: Istiqomah yang dituntut adalah as-sadaad; jika tidak mampu, maka berusaha mendekati (derajat istiqomah)
As-sadaad yaitu berusaha seoptimal mungkin mencocoki Al-Qur’an dan sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا
“Luruslah, mendekatlah, dan berilah kabar gembira..” (HR. Bukhari)
Yang dituntut dalam bab istiqamah adalah as-sadaad (lurus), tidak pernah melenceng dan tidak berbelok dari jalan kebenaran. Inilah kesempurnaan istiqomah seorang hamba.
Namun, tidak mungkin seorang hamba tidak pernah berbuat kesalahan. Yang terpenting, kita tidak sengaja untuk terjerumus dalam kesalahan dan segera kembali ke jalan yang lurus ketika sadar mulai melenceng dari kebenaran. Inilah yang dimaksud dengan mendekati lurus, yaitu senantiasa rujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah setelah sebelumnya tergelincir.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ
“Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6)
Penyebutan istighfar setelah perintah istiqomah adalah isyarat bahwa seorang hamba pasti punya kekurangan dalam istiqomah walaupun ia telah berusaha secara optimal.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ayat ini merupakan isyarat bahwa pasti terdapat kekurangan dalam merealisasikan istiqomah. Kemudian kekurangan itu bisa ditutupi dengan beristighfar (memohon ampun). Dan istighfar ini memiliki konsekuensi untuk bertobat dan kembali istiqomah. Sehingga keadaan ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan iringilah perbuatan buruk itu dengan kebaikan untuk menghapusnya.”
Saudariku, seseorang yang ingin menggapai derajat istiqomah tentu akan senantiasa merasa kurang dalam amalnya sehingga senantiasa istighfar dan bertobat kepada Allah.
Kaidah kelima: Istiqomah mencakup perkataan, perbuatan, dan niat
Maksudnya, seluruh sikap kita dituntut untuk istiqomah, baik yang lahir berupa perkataan dan perbuatan, maupun yang batin berupa niat yang lurus. Inilah hakikat kesempurnaan istiqomah, yaitu sejalannya perkataan, perbuatan, dan hati di atas kebenaran sesuai Al-Qur’an dan sunnah.
Bagaimana agar perkataan, perbuatan, dan niat bisa istiqomah? Kuncinya ada pada perbaikan qalbu, sebagaimana kaidah ‘Pokok istiqomah adalah istiqomahnya qalbu’. Walaupun qalbu hanyalah segumpal daging, namun seluruh tubuh bertindak sesuai arahannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
“Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad. Dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Kaidah keenam: Istiqomah harus lillah, billah wa ‘ala amrillah
Lillah maknanya ikhlas kepada Allah, yaitu menempuh jalan istiqomah karena ikhlas mengharap balasan dan rida Allah Ta’ala. Tidaklah Allah memerintahkan suatu ketaatan dan membalasnya kecuali agar seorang hamba mengikhlaskan amal hanya untuk-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Billah artinya, meminta pertolongan Allah agar di tetapkan di atas keistiqomahan. Seorang hamba diperintahkan untuk istiqomah dan menempuh sebabnya. Namun keistiqomahan adalah pemberian Allah, maka hendaknya kita meminta tolong kepada Allah untuk bisa menempuh sebab-sebabnya dan kokoh di atas jalan istiqomah. Dalam banyak dalil, Allah menggandengkan perintah beribadah dengan perintah untuk memohon pertolongan kepada-Nya.
Allah berfirman dalam ummul qur’an,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan perintah memohon pertolongan kepada Allah dalam setiap amal. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Bersungguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (untuk menjalankannya).” (HR. Muslim no. 2664)
Dan ‘ala amrillah, yaitu istiqomah dengan menempuh jalan yang benar sesuai syariat Allah.
Allah berfirman,
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka istiqomahlah kamu (di atas jalan yang benar) sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Hud: 112)
Seseorang yang menginginkan istiqomah hendaknya mengikhlaskan niatnya kepada Allah, memohon pertolongan kepada-Nya, dan menjaga batasan-batasan Allah berupa perintah dan larangan-Nya.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat. Simak terus pembahasan tentang kaidah-kaidah untuk memahami hakikat istiqomah di artikel muslimah.or.id selanjutnya, in syaa Allah.
[Bersambung]
***
Penulis: Titi Komalasari
Muraja’ah: Ustadz Ratno, Lc.
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Istiqomah, karya Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I, tahun 1431 H.