Baca seri sebelumnya: Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah (Bag. 2)
Kaidah ketiga: Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ
“Tidak akan istiqomah (tegak) iman seorang hamba hingga hatinya istiqomah.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad no. 13048, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati di atas tauhid.”
Beliau melanjutkan, “Tatkala hati telah istiqomah dengan mengenal Allah, takut kepada-Nya, memuliakan-Nya, mengagungkan-Nya, mencintai-Nya, menghendaki-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya, maka anggota badan juga akan istiqomah dalam ketaatan. Karena hati adalah raja bagi tubuh dan anggota badan yang lain adalah tentaranya. Jika sang raja istiqomah (yaitu hati yang lurus), maka seluruh tubuh sebagai tentaranya juga akan istiqomah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 386)
Pernyataan ini berdasarkan dalil dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
“Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad. Dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Istiqomahnya hati dalam ketaatan dan ketundukan kepada Allah menjadi sebab istiqomahnya seorang hamba ketika melakukan amalan yang nampak, baik amalan sunah maupun yang wajib. Tentu karena hati yang bersih akan menghasilkan amalan zahir yang bersih pula. Namun, tidak berlaku sebaliknya; ketika seorang hamba menampakkan ketaatan, bisa saja hatinya memalingkan ketaatan tersebut kepada selain Allah. Hal ini karena amalan lahiriahnya bukan atas motivasi ketundukan kepada Allah, melaikan karena riya atau ujub yang ada di dalam hatinya. Wal ’iyadzubillaah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari di mana harta dan anak-anak laki-laki tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا
“Ya Allah! Aku memohon kepadamu hati yang selamat.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i, disahihkan Syaikh Al-Albani)
Dari kaidah ini kita bisa menyimpulkan bahwa di antara sebab istiqomahnya seorang hamba adalah ia senantiasa waspada dengan penyakit hati yang akan mungkin mengotorinya. Ia juga bersemangat untuk memperbaiki amalan hatinya sehingga ia menggapai derajat istiqomah.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat. Simak terus pembahasan tentang kaidah-kaidah untuk memahami hakikat istiqomah di artikel muslimah.or.id selanjutnya, in syaa Allah.
[Bersambung]
***
Penulis: Titi Komalasari
Muraja’ah: Ustadz Ratno, Lc.
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Istiqomah, karya Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I, tahun 1431 H.