Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus
Pertanyaan:
Apa hukum lagu-lagu Islam? Dan apakah boleh menjadikannya sebagai sarana untuk berdakwah?”
Jawaban:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:
Perlu diperhatikan — pertama — bahwa pembatasan nyanyian-nyanyian yang mengandung syair dan rajaz (puisi tradisional) dengan menyebutnya sebagai ‘Islami’ atau ‘religius’ tidak dikenal di kalangan orang-orang terbaik dari generasi awal yang utama (salaf) maupun generasi setelah mereka. Mereka hanya membedakan antara syair dan rajaz yang baik dan buruk, atau antara yang terpuji dan tercela, atau antara yang dibenci dan yang diperbolehkan.
Adapun lagu-lagu jika berupa puisi atau syair yang dinyanyikan untuk menunjukkan kegembiraan atau mengisi waktu dalam perjalanan atau untuk menyenangkan jiwa, dan mengandung nasihat, perumpamaan, dan hikmah, serta bebas dari alat musik dan alat hiburan, kecuali rebana pada hari raya dan pernikahan, dan jika tidak ada di dalamnya kata-kata keji, maksiat, serta gambaran tentang kecantikan wanita, minuman keras, dan dorongan untuk meminumnya, serta hal-hal lain yang dapat membangkitkan nafsu dan mendorong kepada perbuatan keji, dan tidak mengandung syirik kepada Allah atau kebohongan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan para sahabat-Nya; maka tidak ada larangan untuk itu.
Namun, memperbanyak (nyanyian atau syair) tidaklah terpuji bahkan dihindari; karena tidak semua yang mubah (diperbolehkan) boleh dilakukan secara mutlak tanpa batasan. Terutama jika hal itu mengalihkan pendengarnya dari membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu yang bermanfaat, atau berdakwah kepada Allah Ta’ala. Nabi ﷺ telah mengakui syair, rajaz, dan huda’ (nyanyian untuk menyemangati perjalanan), dan Imam Bukhari membuat bab khusus dalam kitabnya: ‘Bab tentang apa yang diperbolehkan dari syair, rajaz, dan huda’, serta apa yang dibenci darinya.’ [1]
Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu biasa melantunkan huda’ (nyanyian untuk menyemangati) para lelaki. Sedangkan Anjasyah biasa melantunkan huda’ untuk para wanita, dan dia memiliki suara yang merdu. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَنْجَشَةُ، رُوَيْدَكَ سَوْقًا بِالقَوَارِيرِ
“’Wahai Anjasyah, perlahanlah (dalam menyanyi), karena engkau sedang membawa (menyemangati) kaca-kaca (wanita).” [Muttafaqun ‘alaihi: HR. Bukhari dalam ‘Adab’, Bab tentang apa yang diperbolehkan dari puisi, syair, dan nyanyian serta apa yang dibenci darinya (no. 6149), dan Muslim dalam ‘Fadhail’ (no. 2323), dari hadis Anas radhiallahu ‘anhu].
Pada umumnya, huda’ (nyanyian untuk menyemangati) dilakukan dengan rajaz (jenis puisi tradisional), namun bisa juga dengan syair lainnya. Huda’ adalah salah satu bentuk nyanyian, dan yang serupa dengannya adalah nyanyian para pengendara (rukban) dan nyanyian nashb. Ibnu Abdil Barr telah menukil bahwa semua bentuk ini diperbolehkan tanpa perselisihan, selama syair tersebut terbebas dari kata-kata kotor dan keji. [2]
Adapun nyanyian-nyanyian yang disebut ‘Islami’, yang dilantunkan dengan cara syair dinyanyikan menggunakan melodi dan intonasi untuk menciptakan kesenangan dalam majelis zikir dan lainnya, dan terkadang diiringi dengan alat-alat musik seperti rebana, drum, kayu pemukul, dan lainnya, maka hal ini lebih mirip dengan ‘at-taghbir’ yang dicela oleh Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan para imam terdahulu lainnya. Telah diriwayatkan secara sahih dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata, “Aku meninggalkan sesuatu di Irak yang disebut at-taghbir, yang dibuat oleh orang-orang zindik (sesat) untuk mengalihkan perhatian orang dari Al-Qur’an.” [3] Dan telah diriwayatkan secara sahih dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata tentang hal itu, “Bid’ah yang diada-adakan.”
Cukuplah diketahui bahwa keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat tentang keharaman alat-alat musik secara keseluruhan, kecuali apa yang dikecualikan oleh dalil, yaitu rebana (duff) dalam pernikahan dan hari raya. Banyak teks dari Al-Qur’an dan Sunnah yang mencela alat-alat musik dan melarangnya. [4] Di antaranya, hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ: صَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَصَوْتُ وَيْلٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang dilaknat: suara seruling (nyanyian) di saat mendapat nikmat, dan suara ratapan di saat ditimpa musibah.” [5]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
“Akan ada dari ummatku suatu kaum (kelompok) yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan ma’azhif (alat-alat musik).” [6]
Dan banyak dalil syar’i lainnya (yang menyatakan keharaman musik).
Adapun menjadikan hiburan dan nyanyian sebagai sarana untuk berdakwah kepada Allah, maka tidak samar bagi orang yang berakal bahwa hal tersebut tidak memiliki landasan syar’i. Karena melakukan aktivitas dakwah tanpa mengetahui hukumnya dan tanpa bersandar pada dalil syar’i adalah bentuk tindakan semena-mena dan mengikuti hawa nafsu, dan hal itu tertolak bagi pelakunya. Sebab, tidak boleh keluar dari ketentuan syariat dalam metode, tujuan, dan sarana (dakwah). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiah: 18)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” [7]
Maka sarana-sarana dakwah kepada Allah harus sesuai dengan nash-nash syar’i yang bersifat umum atau khusus, atau dengan kaidah-kaidah syariat yang universal. Jika sarana nyanyian (musik) mengikuti tujuan-tujuan sektarian, atau melayani kepentingan kelompok, partai, atau golongan tertentu, maka sarana tersebut dilarang karena statusnya sebagai sesuatu yang mengikuti (tujuan yang terlarang). Sebab, metode-metode yang berkaitan dengan larangan dan hal-hal yang makruh adalah mengikuti (tujuan tersebut).
النَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ نَهْيٌ عَمَّا لَا يَتِمُّ اجْتِنَابُهُ إِلَّا بِهِ
‘Larangan terhadap sesuatu berarti larangan terhadap hal-hal yang tidak dapat dihindari kecuali dengan menghindari sesuatu tersebut.’
Maka, jika sarana nyanyian (musik) mewakili simbol khusus suatu kelompok tertentu yang memiliki corak akidah yang mereka serukan, atau bersifat sektarian, atau partai tertentu yang mereka ikuti, maka sarana tersebut dilarang karena terkait dengan sifat atau ciri yang terlarang. Oleh karena itu, Nabi ﷺ meninggalkan penggunaan terompet (sebagai sarana) untuk menyeru salat karena itu merupakan syiar (simbol) orang Yahudi. Beliau juga tidak menggunakan lonceng karena itu adalah syiar orang Nasrani, dan beliau meninggalkan menyalakan api karena itu adalah syiar orang Majusi. [8]
Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari Kiamat.
Baca juga: Hati-Hati Menggunakan Nasyid Islami, ternyata Nasyid Ini Mengandung Kesyirikan
***
Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-32
Penerjemah: Fauzan Hidayat
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Lihat Shahih Bukhari dengan penjelasan Fath al-Bari (10: 536), dalam “Adab”, Bab nomor: 90.
[2] Lihat kitab at-Tamhid, karya Ibnu Abdil Barr (22: 197).
[3] Lihat Al-Amru bil Ittiba’ wa An-Nahyu ‘anil Ibtida’ karya As-Suyuti (1: 8), dan Nuzhat al-Asma’ karya Al-Hafiz Ibn Rajab (hal. 86).
[4] Syekh Al-Albani, semoga Allah merahmatinya, memiliki sebuah risalah yang diterbitkan sebagai tanggapan terhadap Ibnu Hazm, semoga Allah merahmatinya, dan siapa pun yang mengikutinya dalam menghalalkan alat musik, yang ditulis dengan judul, ‘Tahrim Alati At-Tarb.’
[5] Al-Bazzar (1: 377/395). Dan disahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Masatu As-Sima’(no. 318), serta dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (no. 427).
[6] Bukhari – sebagai catatan – dalam Al-Ashribah, Bab tentang orang yang menghalalkan khamrdan menyebutnya dengan nama lain (no. 5590), dan dihubungkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (15: 154), At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (3: 282), dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra (3: 272), dari hadis Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah karya Al-Albani (1: 186, no. 91)
[7] HR. oleh Muslim dengan lafaz ini dalam Al-Aqdiya(no. 1718), dan diriwayatkan oleh Bukhari dalam As-Sulh, Bab: Jika mereka bersepakat pada perdamaian yang zalim, maka perdamaian itu ditolak (no. 2697) dengan lafaz, ‘Siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang tidak ada padanya…’, dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[8] Lihat penyebutan api dan lonceng dalam Shahih Bukhari (no. 603) dan Shahih Muslim (no. 378) dari hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu; dan penyebutan lonceng dan terompet dalam: Shahih Bukhari (no. 604) dan Shahih Muslim (no. 377) dari hadis Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu.



