Pertanyaan ke-7:
Apa hukumnya bagi beberapa pemilik toko emas, yang ia membeli emas bekas yang masih bersih (tidak ada cacat), kemudian menawarkannya kepada pembeli dengan harga emas yang masih baru? Apakah ia (penjual) boleh melakukan hal seperti ini, ataukah harus mengatakannya kepada pembeli?
Jawaban:
Wajib bagi penjual untuk memberitahu pembeli. Penjual seharusnya mencintai saudaranya (dalam hal ini, pembeli) seperti ia mencintai dirinya sendiri. Biasanya, apabila seseorang menjual kepada engkau sebuah barang yang sudah dipakai (barang bekas), meskipun pemakaiannya baru sebentar, dan pemakaiannya tidak berpengaruh pada barang tersebut, lalu ia menjualnya kepadamu dengan mengatakan bahwa barang itu baru, tentulah engkau akan menganggap hal itu sebagai sebuah kecurangan dan tipu daya.
Jika engkau tidak rida apabila orang lain melakukan hal tersebut kepadamu, bagaimana bisa engkau mengizinkan dirimu melakukan hal itu kepada orang lain?
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang untuk melakukan hal seperti ini, sehingga ia seharusnya menjelaskan kepada pembeli dan mengatakan kepada pembeli, “Sebenarnya ini sudah dipakai sebentar”, atau dengan perkataan yang semisal.
Pertanyaan ke-8:
Apa hukumnya bagi mereka yang menyerahkan emasnya kepada pengrajin emas untuk diolah? Karena mungkin saja emasnya akan bercampur dengan emas milik orang lain saat proses peleburan emas di pabrik. Namun, ketika menerimanya dari pabrik setelah selesai proses pengolahan, ia menerima emas tersebut dengan berat yang sama persis dengan berat emas saat ia menyerahkannya untuk diolah.
Jawaban:
Wajib bagi pabrik untuk tidak mencampurkan emas satu pelanggan dengan pelanggan lainnya dan juga membedakan satu per satu secara terpisah jika ukurannya berbeda. Adapun, jika ukuran emasnya tidak berbeda, maka tidak apa-apa mencampurkannya karena tidak membahayakan (merugikan).
Pertanyaan lanjutan:
Dan apakah harus membayar biaya jasa produksi emas saat menerima emas, atau boleh ditangguhkan (dibayar lain waktu)?
Jawaban:
Tidak harus dibayar saat itu juga, karena itu adalah biaya jasa. Apabila dibayar saat menerima emas, maka itu lebih baik; adapun jika tidak dibayar langsung, tetap diperbolehkan (sah).
Pertanyaan ke-9:
Apa pendapatmu, wahai guru yang kami muliakan, ketika ada beberapa pembeli emas yang bertanya tentang harga emas, lalu jika ia sudah mengetahuinya, ia mengeluarkan emas yang sudah pernah ia pakai, lalu menjualnya. Dan ketika ia menerima dirham sebagai hasil penjualan emasnya, ia membeli emas yang baru?
Jawaban:
Hal ini boleh dilakukan jika belum ada kesepakatan sebelumnya (bahwa uang hasil penjualannya akan dipakai untuk membeli emas dari orang yang sama, pent.). Kecuali, Imam Ahmad rahimahullah yang melihat bahwasanya dalam kondisi seperti ini, seharusnya pembeli/pengunjung toko bisa pergi mencari toko lain dan membeli emas dari toko lain tersebut. Namun, jika sulit, maka ia (boleh) kembali ke toko tempat ia menjual emas tadi, untuk membeli emas dari toko yang sama tersebut, agar ia terhindar dari syubhat (hal yang samar atau meragukan), yakni syubhat hilah (yaitu akal-akalan agar tidak dikatakan melakukan riba, padahal hakikatnya sama saja, pent.).
Pertanyaan ke-10:
Apa hukumnya bagi orang yang menjual emas kepada pemilik toko, kemudian misalnya saja ia membeli emas lain dari pemilik toko tersebut, dengan berat yang hampir sama dengan berat emas yang ia jual tadi. Lalu ia membayar harga emas yang ia beli dengan cara potong harga (maksudnya, ia hanya membayar selisih harganya saja, pent.), tetapi ia belum menerima uang penjualan emas sebelumnya?
Jawaban:
Hal ini tidak boleh dilakukan. Karena, jika ia menjual suatu barang, namun ia belum terima uang penjualannya, lalu sebagai gantinya ia mengambil barang yang tidak boleh dijual dengan cara tidak tunai, maka jual belinya tidak halal.
Para ulama fikih telah mengatakan dengan tegas bahwasanya hal ini termasuk perkara yang haram. Sebab hal ini bisa menjadi celah untuk melakukan jual beli barang yang tidak diperbolehkan untuk dijual dengan cara tangguh/utang tanpa adanya serah terima barang secara tunai.
Apabila hal seperti ini terjadi antara barang ribawi yang sejenis, maka termasuk dalam riba fadhl (riba karena kelebihan/selisih) dan riba nasiah sekaligus (riba karena penundaan serah terima barang ribawi).
Catatan: Riba fadhl: penjualan komoditas ribawi sejenis, misalnya mata uang sejenis (misalnya, rupiah dengan rupiah) disertai tambahan atau selisih (misalnya uang seribu rupiah ditukar dengan uang dua ribu rupiah). Riba nasi’ah: menunda penerimaan (barang) jual beli yang seharusnya disyaratkan adanya serah terima barang secara tunai pada barang-barang atau komoditas ribawi.
Pertanyaan ke-11:
Apa hukumnya bagi orang yang membeli emas, namun masih ada sisa pembayaran (belum lunas), dan ia mengatakan, “Akan aku bayarkan untukmu sisanya, kapanpun saat aku mampu”?
Jawaban:
Perbuatan seperti ini tidak diperbolehkan. Akan tetapi, jika terlanjur dilakukan, maka akadnya sah untuk barang yang sudah diserahterimakan, dan batal untuk sebagian yang belum ia terima. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika ada jual beli emas dengan perak,
بيعوا كيف شئتم إذا كان يداً بيدٍ
“Juallah sesuai keinginan kalian jika itu dilakukan yadan bi yadin (antara penjual dan pembeli bertemu secara langsung dan dilakukan serah terima saat itu juga, tidak ada penundaan).“ (HR. Muslim no. 1587)
Pertanyaan ke-12:
Apa hukumnya bagi orang yang membeli emas, dan akad jual beli sudah sempurna, kemudian ia sudah membayar sebagiannya, namun masih ada sisa pembayaran (belum lunas)? Apakah boleh beberapa saat kemudian ia pergi ke tempat manapun, misalnya ke mobil atau bank, lalu membayar kekurangannya, dan belum menerima emas kecuali setelah melunasinya? Apakah perbuatan ini sah? Dan jika tidak sah, apakah harus mengulangi akad jual beli setelah ia melunasinya?
Jawaban:
Yang paling utama, adalah mengulang akadnya setelah pelunasan. Hal yang seperti ini tidaklah merugikan, karena hanya mengulangi akadnya saja dengan tetap memperhatikan harga, apakah ada kenaikan atau penurunan. Lalu, jika akadnya sudah selesai dan disepakati dengan harga yang semula, maka tidaklah mengapa.
Dan apabila menunda akad sampai membawa sisa pembayarannya, maka hal ini lebih utama. Karena sebetulnya tidak ada keperluan mendesak untuk menyelesaikan akad sebelum melunasi pembayaran. Wallahu al-muwaffiq (Allah lah yang memberi taufik).
Pertanyaan ke-13:
Ada beberapa pemilik toko yang pergi ke pedagang emas dan mengambil emas baru dari pedagang emas lain dengan berat, -misalnya saja-, satu kilogram, dan kemudian emas ini dicampurkan dengan batu permata, baik itu dari berlian, zircon, atau yang lainnya (yang ada hiasannya).
Lalu, pembeli memberikan satu kilogram emas yang masih murni tanpa hiasan pada penjual, sebagai ganti (maksudnya; ganti dari emas yang ada batu permatanya). Kemudian, penjual mengambil tambahan berupa upah dalam jasa produksi.
Maka, dalam kasus ini, penjual mendapat dua tambahan. Pertama, ia mendapat tambahan emas yang menggantikan berat batu permata. Dan yang kedua, adalah tambahan berupa upah biaya produksi karena ia adalah pedagang emas, bukan pengrajin emas. Apa hukum untuk perbuatan seperti ini? Waffaqakumullah (semoga Allah memberi taufik).
Jawaban:
Perbuatan seperti ini adalah perbuatan haram. Karena di dalamnya terdapat riba. Dan riba untuk kasus ini, sebagaimana disampaikan oleh penanya, ada dua jenis.
Pertama, tambahan emas, sebagai pengganti batu permata atau semacamnya, tetap dianggap sebagai emas. Dan ini serupa dengan kalung yang disebutkan dalam hadis Fadhalah bin ‘Abid, ketika beliau membeli kalung yang dihiasi emas dan manik-manik seharga 12 dinar (mata uang emas). Lalu ia memisah-misahkannya dan menemukan bahwa emasnya lebih banyak dari 12 dinar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
لا تباع حتى تفصل
“Jangan dijual (emas tersebut) sebelum dipisahkan (antara emas dan manik-maniknya).“ (HR. Muslim no. 1591)
Kedua, ialah tambahan berupa biaya produksi. Pendapat yang benar adalah, tidak boleh ada tambahan upah dalam jasa produksi. Karena pembuatan itu, meskipun ia adalah perbuatan yang dilakukan manusia, maka hal itu tetap dianggap sebagai ciri tambahan riba sebagaimana ciri tambahan pada ciptaan Allah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pembelian satu sha’ kurma yang berkualitas baik dengan dua sha’ kurma yang berkualitas buruk.
Maka, wajib bagi muslim untuk menghindari riba dan menjauh darinya, karena riba termasuk dosa yang paling besar.
[Bersambung]
***
Penerjemah: Evi Noor Azizah
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari Fatawa adz-Dzahabiyah fi Bai’i wa Syira’i adz-Dzahabi, karya Syekh Muhammad bin Shalih bin Muhammad al-‘Utsaimin, hal. 13-20.


