Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
Pertanyaan:
Seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan mempersyaratkan agar si wanita tidak dibawa keluar dari negerinya (dari kampung halamannya). Apakah syarat semacam ini perlu dipenuhi?
Jawaban:
Iya, syarat semacam ini wajib dipenuhi berdasarkan pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat ulama dalam masalah ini. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوفَى بِهِ، مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
“Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (yaitu, pernikahan, pent.).” (HR. Bukhari no. 2721, 5151 dan Muslim no. 1418)
Juga karena siapa saja yang berjanji kepada seseorang untuk memenuhi syarat yang diajukan, maka dia harus memenuhinya. Termasuk di antara tanda kemunafikan adalah ketika dia berjanji, dia tidak memenuhi janjinya (tanpa ada uzur atau alasan yang bisa dibenarkan, pent.) sebagaimana terdapat hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selain itu, Sa’id bin Manshur meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ‘Abdurrahman bin Ghanm, dia berkata,
كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عُمَرَ حَيْثُ تَمَسُّ رُكْبَتِي رُكْبَتَهُ فَقَالَ رَجُلٌ لِأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ: تَزَوَّجْتُ هَذِهِ وَشَرَطْتُ لَهَا دَارَهَا، وَإِنِّي أَجْمَعُ لِأَمْرِي أَوْ لَشَأْنِي أَنِّي أَنْتَقِلُ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَقَالَ: لَهَا شَرْطُهَا، فَقَالَ رَجُلٌ: هَلَكَتِ الرِّجَالُ إِذًا، لَا تَشَاءُ امْرَأَةٌ أَنْ تُطَلِّقَ زَوْجَهَا إِلَّا طَلَّقَتْ، فَقَالَ عُمَرُ: الْمُسْلِمُونَ عَلَى شَرْطِهِمْ عِنْدَ مَقَاطِعِ حُقُوقِهِمْ
“Aku sedang duduk bersama Umar, lututku menyentuh lututnya. Lalu seorang laki-laki berkata kepada Amirul Mukminin, “Aku telah menikahi wanita ini dengan syarat bahwa ia tetap tinggal di rumahnya. Namun sekarang aku hendak mengatur urusanku, dan aku ingin pindah ke daerah ini dan itu.” Maka Umar berkata, “Dia (istri) berhak atas syaratnya.” Laki-laki itu pun berkata, “Kalau begitu, binasalah para laki-laki! Tidak ada wanita yang menginginkan cerai dari suaminya kecuali akan menceraikannya (dengan syarat seperti itu).” Maka Umar berkata, “Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, selama itu berkaitan dengan hak-hak mereka.” (Sunan Sa’id bin Manshur, 1: 211 no. 663)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun, di mana keluarga perempuan mensyaratkan kepadanya agar dia tinggal bersama mereka, tidak memindahkannya dari rumah mereka, dan tidak menyentuhnya (tidak menggaulinya) kecuali setelah satu tahun. Namun, laki-laki itu mengambilnya (membawa pergi istrinya), melanggar syarat tersebut, dan menggaulinya. Pengasuh perempuan tersebut menyatakan bahwa ia telah membawanya pergi dan tinggal bersamanya di tempat di mana ia memukulinya dengan pukulan yang menyakitkan. Kemudian ia bepergian bersamanya, lalu kembali, dan mencegah keluarganya untuk menemuinya, sembari terus-menerus memukulnya. Maka, apakah halal (boleh secara syar‘i) ketika perempuan tersebut tetap bersamanya dalam keadaan seperti ini?
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab,
إذَا كَانَ الْأَمْرُ عَلَى مَا ذُكِرَ فَلَا يَحِلُّ إقْرَارُهَا مَعَهُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ، بَلْ إذَا تَعَذَّرَ أَنْ يُعَاشِرَهَا بِالْمَعْرُوفِ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَطَأَهَا وَطْئًا يَضُرُّ بِهَا، بَلْ إذَا لَمْ يَمْتَنِعْ مِنْ الْعُدْوَانِ عَلَيْهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
“Jika keadaannya sebagaimana yang telah disebutkan, maka tidak halal (tidak dibenarkan secara syar’i) membiarkan perempuan itu tetap bersamanya dalam kondisi seperti ini. Bahkan, jika suami tidak mampu mempergaulinya dengan cara yang baik, maka keduanya harus dipisahkan. Ia (suami) tidak boleh menggaulinya dengan cara yang membahayakannya; bahkan jika ia tidak menghentikan perbuatannya yang zalim terhadap istrinya, maka keduanya harus dipisahkan. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 150)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga ditanya tentang seorang laki-laki yang menetapkan syarat kepada istrinya, dengan disaksikan oleh para saksi, bahwa ia tidak akan menempatkannya di rumah ayahnya (mertua laki-laki). Maka selama masa tinggalnya, istri itu tinggal sendiri (terpisah), sedangkan sang suami tidak mampu untuk menanggung biaya tempat tinggal tersebut. Apakah ia tetap wajib memenuhi syarat itu? Apakah si istri berhak membatalkan akad nikah jika suami ingin membatalkan syarat tersebut? Dan apakah wajib atas suami untuk mengizinkan ibu atau saudari istrinya untuk masuk ke rumahnya dan menginap bersamanya, atau tidak?
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab,
لَا يَجِبُ عَلَيْهِ مَا هُوَ عَاجِزٌ عَنْهُ، لَا سِيَّمَا إذَا شَرَطَتْ الرِّضَا بِذَلِكَ، بَلْ كَانَ قَادِرًا عَلَى مَسْكَنٍ آخَرَ لَمْ يَكُنْ لَهَا عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ كَمَالِكٍ، وَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِمَا، غَيْرُ مَا شَرَطَ لَهَا، فَكَيْفَ إذَا كَانَ عَاجِزًا أَوْ لَيْسَ لَهَا أَنْ تَفْسَخَ النِّكَاحَ عِنْدَ هَؤُلَاءِ، وَإِنْ كَانَ قَادِرًا
فَأَمَّا إذَا كَانَ ذَلِكَ لِلسَّكَنِ وَيَصْلُحُ لِسُكْنَى الْفَقِيرِ وَهُوَ عَاجِزٌ عَنْ غَيْرِهِ، فَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَفْسَخَ بِلَا نِزَاعٍ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُمَكِّنَ مِنْ الدُّخُولِ إلَى مَنْزِلِهِ، لَا أُمَّهَا، وَلَا أُخْتَهَا إذَا كَانَ مُعَاشِرًا لَهَا بِالْمَعْرُوفِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
“Tidak wajib atas suami untuk menunaikan sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya, terlebih lagi jika pihak istri telah menyatakan rida (rela) dengan keadaan tersebut. Bahkan, seandainya suami mampu menyediakan tempat tinggal lain (selain yang disyaratkan), maka menurut banyak ulama seperti Imam Malik dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad bin Hanbal dan selain keduanya, istri tidak berhak menuntut (tempat tinggal) yang sesuai dengan syaratnya itu. Maka bagaimana lagi jika suami tidak mampu (miskin)? Dalam pandangan para ulama tersebut, istri tidak berhak untuk membatalkan akad nikah meskipun suami sebenarnya mampu.
Adapun jika tempat tinggal itu sudah layak untuk dihuni oleh orang miskin, dan suami memang tidak mampu menyediakan selainnya, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha (ahli fikih) bahwa istri tidak berhak membatalkan nikah.
Dan suami tidak wajib untuk mengizinkan siapa pun masuk ke rumahnya, baik itu ibu istri maupun saudari istri, selama ia mempergauli istrinya dengan cara yang baik (secara ma‘ruf). Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 97)
[Bersambung]
***
@Unayzah, KSA; 28 Muharam 1447/ 23 Juli 2025
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 111-112.