‘Imamah
‘Imamah adalah sesuatu yang menutupi kepala dan dililitkan di kepala. [1] Dalil yang menunjukkan bolehnya mengusap ‘imamah (sorban) adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu,
?? ??????? ???? ???? ???? ?????: ??? ???????? ???? ????????? ???? ??????
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap jambul rambutnya, ‘imamah dan kedua khuf-nya.” [2]
Hadits di atas menunjukkan bolehnya mengusap ‘imamah berdasarkan perkataan beliau (al-Mughirah bin Syu’bah).
Terkait hal ini, ada beberapa pembahasan,
1Apakah disyaratkan ‘imamah yang boleh diusap mempunyai ciri tertentu, atau semua yang disebut dengan ‘imamah apapun bentuknya boleh untuk diusap?
Dalam perkara ini terdapat dua pendapat ulama. Dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah tidak ada ciri khusus untuk ‘imamah yang boleh untuk diusap. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Jadi, apa saja yang secara mutlaq disebut sebagai ‘imamah maka termasuk yang boleh diusap. [3]
2Apakah ‘imamah yang dipakai harus suci?
Jawabannya adalah tentu saja ‘imamah yang dipakai haruslah suci. Karena imamah yang diusap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan digunakan untuk shalat. Dalilnya, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan memakai sandal yang terkena najis, kemudian malaikat Jibril mendatangi beliau dan memberitahukan bahwa di sandal beliau terdapat kotoran, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan kedua sandalnya. Ini menunjukkan bahwa diantara syarat shalat adalah pakaiannya harus suci, termasuk imamah. [4]
3Apakah ‘imamah yang dikenakan disyaratkan ‘imamah yang mubah, di mana menjadi tidak sah jika ‘imamah tersebut adalah ‘imamah hasil curian atau dimiliki dengan kepemilikan yang tidak sah?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama, pendapat pertama menyebutkan bahwa ‘imamah tersebut haruslah sesuatu yang mubah. Alasannya, karena bolehnya mengusap ‘imamah adalah rukhsah (keringanan dalam syariat) dan tidak sepantasnya rukhsah ditujukan untuk perbuatan maksiat. Sementara pendapat kedua menyebutkan bahwa tidak disyaratkan ‘imamah yang dikenakan adalah sesuatu yang mubah, sehingga seseorang tetap diperbolehkan mengusap ‘imamah sekalipun ‘imamah tersebut hasil curian, atau dengan cara kepemilikan yang tidak sah, ataupun karena terbuat dari sutra bagi laki-laki. [5]
Dalam Syarhul Mumti’ syaikh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Yang lebih tepat adalah disyaratkan ‘imamah tersebut adalah sesuatu yang mubah, jadi tidak boleh mengusap ‘imamah yang haram karena ‘imamah trersebut terdapat gambar (makhluk hidup) ataupun karena terbuat dari sutra.” [6]
4Apakah disyaratkan ketika memakai ‘imamah dalam keadaan suci dari hadats?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama, pendapat pertama adalah disyaratkan mengenakan ‘imamah dalam keadaan suci, sebagaimana syarat dibolehkannya mengusap khuf. Pendapat kedua menyebutkan tidak disyaratkannya. Karena mengatakan adanya syarat membutuhkan dalil, dan tidak ada dalil dalam masalah ini, dan menganalogikan hukum ini dengan mengusap khuf dalam masalah ini adalah qiyas (analogi) yang tidak benar. Hal ini karena bersuci untuk anggota badan tempat ‘imamah yaitu kepala lebih ringan dari pada bersuci untuk anggota badan tempat khuf, yaitu kaki. Bersuci untuk kepala dilakukan dengan cara mengusap, dan mengusap ‘imamah sama halnya dengan mengusap kepala, karena keduanya sama-sama diusap, sehingga tidak disyaratkan untuk ‘imamah dipakai dalam keadaan telah suci dari hadats. Lain halnya dengan khuf (sepatu), anggota badan tempat khuf (yaitu kaki), bersucinya dilakukan dengan cara membasuh. Sementara khuf, caranya dengan diusap, keduanya merupakan cara bersuci yang berbeda. Dan inilah pendapat yang lebih shahih, yaitu tidak adanya syarat bahwa ketika menggunakan ‘imamah oranghya harus dalam keadaan suci dari hadats. [7]
5Apakah ada batasan waktu (‘imamah boleh diusap) ataukah cukup kita katakan selagi seseorang memakai ‘imamah maka dia boleh mengusap ‘imamah dan jika dia tidak memakainya maka dia mengusap kepala?
Dalam perkara ini juga terdapat dua pendapat ulama. Pendapat pertama mengatakan adanya batasan waktu sebagaimana syari’ah mengusap khuf. Sedangkan pendapat kedua menyebutkan tidak adanya batasan waktu untuk mengusap ‘imamah karena tidak adanya dalil mengenai hal ini. Seandainya batasan waktu ini ada dalam syariat, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya. Sementara mengqiyaskan ‘imamah dengan khuf adalah qiyas yang tidak benar, karena dalam qiyas disyaratkan adanya kesusaian antara perkara asal (pokok) dengan perkara cabang (yang diqiyaskan). Adapun dalam kasus ini syarat tersebut tidak terpenuhi. Oleh karena itu, selagi seseorang memakai ‘imamah maka ia boleh mengusapnya, dan jika dia telah melepaskan ‘imamah-nya maka hendaknya dia mengusap kepalanya dan dalam hal ini tidak ada batasan waktu. [8]
6Apakah boleh seseorang cukup mengusap ‘imamah ketika mandi junub?
Jawabannya adalah tidak boleh mengusapnya ketika mandi junub. Karena Allah Ta’ala berfirman,
?????? ???????? ??????? ??????????????
“Jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dan tidak ada sesuatu yang cukup hanya dengan diusap dalam perkara mandi besar kecuali dalam kondisi darurat seperti perban luka. ‘Imamah tidak boleh diusap dalam kondisi terkena hadats besar, karena hadats besar mengharuskan untuk mensucikan seluruh anggota badan, hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 6 di atas. [9]
Bersambung insyaallah
***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Zaid Wakhidatul Latifah
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits
Foot Note:
[1] Syarhul mumti’ ‘ala zaadil-mustaqni’, 1/236
[2] HR. Muslim dalam kitaabuth-thahaarah: bab mengusap ujung rambut dan ‘imamah No. 274
[3] Fathu dzil-jalaali wal-ikram bi syarhi buluughil-maram, 1/318
[4] Fathu dzil-jalaali wal-ikram bi syarhi buluughil-maram 1/318
[5] Fathu dzil-jalaali wal-ikram 1/319
[6] Syarhul- mumti’ 1/ 237
[7] Fathu dzil-jalaali wal-ikram 1/319
[8] fathu dzil-jalaali wal-ikram 1/320
[9] Fathu dzil-jalaali wal-ikram 1/320
Referensi:
Buhuuts wa Fatawa fii Mashi ‘alal-Khuffain, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Darul-Wathan lin-Nasyr, Riyadh
Fathu Dzil-Jalaali wal-Ikraam bi syarhi Buluughil-Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Darul-Wathan lin-Nasyr, Riyadh.
Asy-Syarhul-Mumti’ ‘ala Zaadil-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Daar Ibnul-Jauzi
Mulakhos Fiqhiyyah, Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Alu Fauzan, Mauqi’ Ruhul-Islam (islamspirit.com)