Ada suatu hari di mana seseorang bergembira atas bertambahnya usia. Memeriahkannya dengan pesta serta memanjatkan doa. Hari yang pada tanggal dan bulan tersebut ia dilahirkan, itulah hari ulang tahun.
Perayaan ini tidak asing lagi bagi kita semua, sudah menjadi hal biasa dan wajar. Maka pertanyaannya, apakah yang biasa ini menjadi hal yang benar?
Kebiasaan pertama
Seseorang menganggap ulang tahun sebagai momen untuk melakukan ritual syukuran serta zikir dan doa tertentu. Maka perlu diketahui bahwa amalan bersyukur, zikir, dan doa merupakan bentuk ibadah. Sedangkan ibadah pelaksanaannya wajib untuk mengikuti aturan dan ketentuan dari Allah serta Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka dalam perayaan yang seperti ini dapat dikategorikan sebagai bid’ah. Karena hal tersebut merupakan perkara baru dan tidak ada asal usulnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang melakukan amal (ibadah) yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap yang baru adalah perbuatan bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, disahihkan oleh Syekh Al-Albani)
Kebiasaan kedua
Seseorang menganggap hari ulang tahun sebagai waktu bahagia yang perlu dirayakan. Sehingga dia merayakan hanya sekadar melakukan kegembiraan tanpa ada maksud untuk beribadah.
Perlu kita ketahui bahwa hari yang dirayakan secara berulang disebut Ied. Ied umat Islam adalah hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat memasuki kota Madinah yang pada saat itu terdapat dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu Iduladha dan Idulfitri.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An-Nasa`i, disahihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar)
Selain itu, sahabat ‘Abdullah bin Zubair ketika pernah di masa beliau Idul Fitri jatuh pada hari Jumat, beliau mengatakan, “Dua hari raya dalam satu waktu.” (HR. Abu Dawud, dinilai shahih oleh Al-Albani)
Menjadikan ulang tahun sebagai momen perayaan yang sebenarnya bukan termasuk hari raya (‘Ied) itu hakikatnya merupakan tindakan kelancangan terhadap Allah dan Rasul-Nya yang tidak sepatutnya kita lakukan. Hari Ied umat Islam hanyalah tiga hari tersebut, yaitu hari Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha. Sehingga adanya perayaan selain ketiga hari raya tersebut bukanlah dari Islam. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Orang yang meniru suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban)
Sehingga orang yang merayakan Ied yang bukan Ied milik kaum Muslimin, pada hakikatnya dia bukan golongan kaum Muslimin dalam masalah itu. Namun, hadis ini tentunya bukan berarti orang yang berbuat demikian pasti keluar dari statusnya sebagai Muslim, namun minimal mengurangi kadar keislaman pada dirinya, sesuai dengan bentuk peniruan (tasyabbuh)nya. Karena seorang Muslim yang sejati, tentu ia akan menjauhi hal tersebut.
Maka tidak perlu mengadakan perayaan khusus ketika ulang tahun. Hari ulang tahun tidak ada bedanya dengan hari-hari biasa yang lain. Toh, penambahan usia tidak selalu menunggu tahun berikutnya. Setiap hari, setiap jam, dan setiap detik usia kita bertambah. Oleh karena itu, ucapan syukur atas kesehatan, kehidupan, dan usia yang panjang tidak perlu menunggu hari khusus di setiap tahun. Karena nikmat itu senantiasa meliputi kita pada setiap hitungan detik sekalipun.
***
Penulis: L. Fatiya S.
Muraja’ah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslimah.or.id
Sumber: