Hakikat iman kepada nama dan sifat Allah
Beriman kepada nama dan sifat Allah adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan pada diri-Nya di dalam Al-Qur’an, atau di dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan yang layak bagi Allah, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tanpa tamtsil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki asma’ul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah-artikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-A’raf: 180)
Allah juga berfirman,
وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dia memiliki sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. ar-Rum: 27)
Dan Allah juga berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syura: 11)
Kelompok yang menyimpang dalam nama dan sifat Allah
Dalam masalah ini, telah tersesat dua kelompok:
Pertama, al-Mu’aththilah
Yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau sebagiannya. Mereka mengklaim, jika kita menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka melazimkan adanya tasybih, yaitu menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya.
Klaim ini batil pada beberapa sisi:
Hal tersebut melazimkan kelaziman-kelaziman yang batil
Di antaranya, berarti ada kontradiksi dalam kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Ta’ala telah menetapkan pada diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat; dan Allah juga menafikan adanya sesuatu yang semisalnya. Andaikan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah itu melazimkan tasybih, maka ini merupakan kontradiksi pada kalam Allah, dan berarti ayat-ayat al-Qur’an itu saling mendustakan.
Kesamaan antara dua hal dalam sifat atau nama tidak berarti keduanya sama persis
Jika anda melihat dua orang yang mereka sama-sama manusia yang mendengar, melihat, berbicara, ini tidak berarti bahwa mereka sama persis dalam sifat-sifat manusiawinya, pendengarannya, penglihatannya, dan perkataannya. Anda juga melihat bahwa hewan-hewan memiliki tangan, kaki, dan mata; namun itu tidak berarti hewan-hewan tersebut tangan-tangannya, kaki-kakinya, dan mata-matanya semuanya sama. Jika telah jelas perbedaan antara makhluk-makhluk dalam hal yang sama namanya maupun sifatnya, maka berbeda pula antara al-Khaliq (Maha Pencipta) dengan makhluk, dengan perbedaan yang lebih jelas dan lebih besar.
Kedua, al-Musyabbihah
Yaitu kelompok yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka berdalih bahwasanya hal ini ditunjukkan oleh nash-nash yang ada. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada hamba-hamba dengan sesuatu yang mereka pahami.
Dan dalih ini batil dalam beberapa sisi :
Bahwasanya menyerupakan Allah dengan makhluk adalah perkara yang batil
Batil menurut akal dan syariat. Dan tidak mungkin yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perkara yang batil.
Sesungguhnya Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan yang mereka pahami
Difahami dari sisi asal makna. Sedangkan dari sisi hakikat yang ditunjukkan makna tersebut tentunya disesuaikan dengan yang layak bagi Allah Ta’ala, dan sesuai dengan ilmu Allah dalam hal yang terkait dengan dzat-Nya dan sifat-Nya.
Jika Allah menetapkan pada diri-Nya bahwa Allah Maha Mendengar, maka sesungguhnya istilah as-sam’u (pendengaran) itu sudah diketahui dari makna asalnya (yaitu tersampaikannya suara). Akan tetapi, dari sisi hakikatnya, jika terkait dengan pendengaran Allah, maka tidak diketahui. Hal ini dikarenakan, hakikat dari pendengaran itu berbeda-beda. Bahkan berbeda-beda pada makhluk, lebih jelas dan lebih besar perbedaannya.
Jika Allah Ta’ala mengabarkan pada diri-Nya bahwasanya Allah istiwa di atas ‘Arsy, maka sesungguhnya istiwa dilihat dari sisi makna asal yang telah diketahui maknanya. Akan tetapi, hakikat istiwa jika terkait dengan istiwa Allah di atas ‘Arsy, maka tidak diketahui. Hal ini dikarenakan, hakikat dari istiwa itu pun berbeda-beda pada makhluk. Maka bukanlah istiwa itu menetap di atas kursi atau sebagaimana istiwa seseorang di atas pelana unta tunggangan. Jika pada makhluk saja berbeda, berbeda juga antara al-Khaliq dan makhluk dengan perbedaan yang lebih jelas dan lebih besar.
Keutamaan iman kepada nama dan sifat Allah
Beriman kepada Allah Ta’ala terhadap apa yang telah kami jelaskan membuahkan faidah yang agung kepada kaum mukminin, di antaranya:
1) Menguatkan tauhid kepada Allah Ta’ala dari sisi tidak akan bergantung kepada selain-Nya, baik dalam raja’ (harap) maupun khauf (takut), dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2) Kecintaan yang sempurna kepada Allah Ta’ala, dan mengagungkan-Nya dengan apa yang ditunjukkan oleh nama-nama-Nya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
3) Menguatkan penghambaan kepada-Nya dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh-Nya.
***
Penyusun: Ummu Sufyan Fera
Muraja’ah: Ustadz Raehanul Bahraen
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari Syarh Tsalatsatil Ushul, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 59-60; penerbit Darul Kutub Ilmiyyah.
Assalaamu’alaykum..
jadi Tauhid asma wa shifat Allah wajib kita imani dan dipelajari… sayangnya dalam ta’wil ini ada yang bilang, kalau ada perbedaan dalam ta’wil atau tafsirnya itu hanya masalah furu’, tidak masalah beda pendapat… padahal sebenarnya pemahamna yang paling mengarah pada kebenarannya pada manhaj salaf…
para imam 4 madzhab saja dalam masalah ini pemahamaannya saja satu. tapi semenjak ada asy’ariyah.. golongan tersebut terkesan agak jauh dalam pemahaman salaf dalam ta’wil makna ayat mutasyabihat.. apakah benar?
Betul