Muslimah.or.id
Donasi muslimah.or.id
  • Kategori
    • Akidah
    • Manhaj
    • Fikih
    • Akhlak dan Nasihat
    • Keluarga dan Wanita
    • Pendidikan Anak
    • Kisah
  • Edu Muslim
  • Muslim AD
  • Muslim Digital
No Result
View All Result
  • Kategori
    • Akidah
    • Manhaj
    • Fikih
    • Akhlak dan Nasihat
    • Keluarga dan Wanita
    • Pendidikan Anak
    • Kisah
  • Edu Muslim
  • Muslim AD
  • Muslim Digital
No Result
View All Result
Muslimah.or.id
No Result
View All Result
Donasi muslimahorid Donasi muslimahorid

Bolehkah Mengucapkan Selamat Natal Hanya untuk Basa-Basi?

Muslimah.or.id oleh Muslimah.or.id
23 Desember 2014
di Akidah
5
Share on FacebookShare on Twitter

Daftar Isi

Toggle
  • Hari Natal adalah hari pengagungan kepada sesembahan selain Allah
  • Tetap haram meskipun hanya basa-basi
  • Allah dan Nabi-Nya mengharamkan semua bentuk kekufuran
  • Tak hanya ucapan selamat yang dilarang

Sebagian orang merasa perlu untuk basa-basi dengan kawan atau tetangga Nasrani yang merayakan Natal seperti halnya mereka juga memberi ucapan selamat hari raya Idulfitri kepada kita yang muslim. Sekilas sikap seperti ini tampak sebagai langkah yang bijaksana dan penuh keadilan. Akan tetapi, pada dasarnya ucapan Natal kepada orang Nasrani adalah sebuah kekeliruan yang bisa merusak akidah seorang muslim.

Saudaraku, marilah kita fahami terlebih dahulu penjelasan para ulama yang paling mengerti agama ini. Apa hakikat sebenarnya dari sebuah ucapan selamat Natal?

Hari Natal adalah hari pengagungan kepada sesembahan selain Allah

Tentu kita semua tahu siapakah sesembahan orang Nasrani? Ya, mereka menyembah Nabi Isa dan Maryam, menjadikan keduanya sesembahan selain Allah. Mereka memperingati hari kelahiran Nabi Isa, wafatnya beliau, serta peringatan-peringatan kebatilan lainnya.

Jika seorang muslim memberi ucapan selamat hari Natal, hari Paskah, dan hari raya batil lainnya, maka sama saja ia telah memberi selamat atas pengagungan kepada salib. Ia telah memberi selamat atas pengagungan kepada sesembahan selain Allah, ikut merasa senang atas hari raya mereka. Ya, karena orang Nasrani bersenang-senang di hari itu, mereka bergembira atas kelahiran Nabi Isa yang mereka jadikan sekutu bagi Allah.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sebagai contoh seseorang memberi ucapan selamat hari raya orang kafir atau ucapan selamat atas puasa mereka dengan mengatakan, “Selamat hari raya untukmu” atau ucapan lainnya. Meskipun pelakunya bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak bisa selamat dari perbuatan haram. Ucapan selamat hari raya kepada orang Nasrani sama saja memberi selamat atas sujud mereka kepada salib, bahkan ucapan selamat ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Lebih dibenci Allah daripada minum khamr, membunuh orang, zina, dan dosa besar lainnya. Namun sangat disayangkan, kebanyakan orang yang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang agama terjatuh pada perbuatan ini. Sementara dia tidak tahu betapa jelek ucapan selamat yang ia ucapkan. Barangsiapa yang memberi ucapan selamat atas perbuatan maksiat, bid’ah, atau kekufuran, maka ia telah menantang kebencian Allah dan kemurkaan-Nya.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, Asy-Syamilah, 1: 441)

Donasi Muslimahorid

Tetap haram meskipun hanya basa-basi

Berdasarkan keterangan Syekh Ibnu Utsaimin dalam fatwa beliau di dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, dapat kita petik pelajaran: Seseorang yang mengucapkan ucapan selamat hari raya kepada orang kafir tidak akan lepas dari salah satu dari tiga perkara berikut,

Pertama, ucapan selamat ini menunjukkan persetujuannya atas kekufuran.

Kedua, ucapan ini menunjukkan keridaannya pada kekufuran.

Ketiga, meskipun dia tidak rida kekufuran itu ada pada dirinya, namun dengan ucapan selamat yang ia ucapkan, itu menunjukkan keridaannya pada syiar kekufuran. (Fatawa wa Rasail Ibn Utsaimin, Asy-Syamilah, 3: 28)

Seorang muslim yang basa-basi dengan mengucapkan selamat Natal kepada kawannya yang Nasrani tentu tidak akan rela kekufuran itu ada pada dirinya. Namun, ucapan yang ia keluarkan dari lisannya mengantarkannya kepada keridaan (mau tidak mau, suka tidak suka). Secara tidak langsung, dia telah menunjukkan diri kepada orang kafir, “Saya ikut senang Anda merayakan Natal. Saya rida Anda merayakan Natal.” Seperti halnya orang yang mengucapkan selamat atas pernikahan, selamat atas kelahiran anak, ucapan ini tidak lain adalah sebagai ungkapan rasa ikut bahagia, merasa ikut senang.

Allah dan Nabi-Nya mengharamkan semua bentuk kekufuran

 Allah Ta’ala tidak ridha kepada semua bentuk kekufuran. Dia berfirman,

إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7)

Dalam banyak hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nasrani, serta melarang kita menyerupai mereka. Seperti dalam masalah puasa, Nabi melarang menyerupai ahlul kitab yang mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa. Nabi juga memerintahkan kita untuk menambah puasa Asyura pada tanggal 10 Muharam ditambah satu hari sebelum dan sesudahnya, yaitu tanggal 9 atau 11 Muharam, dalam rangka menyelisihi Yahudi.

Demikian juga pada masalah penampilan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum laki-laki memelihara jenggot dan mencukur kumis dalam rangka menyelisihi ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani).

Jika beliau begitu keras terhadap atribut kekufuran, sangat anti kepada syiar-syiar kekufuran, dan melarang kita menyerupai penampilan yang menjadi ciri khas orang kafir, lalu bagamaina lagi dengan ucapan selamat atas hari raya mereka? Tentu ucapan selamat ini lebih layak untuk dilarang, lebih pantas untuk dijauhi dan dihindari.

Namun sangat disayangkan, dalam pemberitaan sebuah media dituliskan, seorang Profesor yang dianggap pakar tafsir di negeri ini mengatakan bahwa larangan ucapan Natal hanya terjadi di Indonesia. Bahkan tanpa ragu-ragu beliau juga mengklaim tidak ada ulama yang melarangnya? Subhanallah… mari kita lihat bersama ucapan para ulama sejati yang akan mematahkan klaim palsu ini.

Syekhul Islam Sirajuddin Al-Bulqini Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seorang muslim mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir (dzimmi) dengan maksud mengagungkan agama dan hari raya mereka secara nyata, maka ia telah terjatuh pada perbuatan kekufuran. Namun jika tidak bermaksud demikian dan ucapan tersebut keluar begitu saja dari lisannya, maka dia tidak terjatuh pada perbuatan kekufuran karena ucapannya tersebut keluar tanpa maksud pengagungan.” (Masalatun fil Kanaais, Asy-Syamilah, hal. 16)

Perlu diingat kembali, ucapan selamat yang tidak diiringi pengagungan meski tidak sampai derajat kekufuran hukumnya adalah haram. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Adapun ucapan selamat kepada syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khas orang kafir, maka hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, 1: 441)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyebutkan hal serupa, “Ucapan selamat hari raya kepada orang kafir seperti marry christmas atau perayaan mereka lainnya, maka hukumnya haram dengan kesepakatan ulama.” (Majmu’ Fatawa Ays-Syaikh Ibnu Utsaimin, 3: 28)

Tak hanya ucapan selamat yang dilarang

Tauhid yang sempurna harus diikuti dengan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Begitu pula sunah yang sempurna harus diikuti dengan meninggalkan semua bentuk kebid’ahan. Karena itulah konsekuensi dua kalimat syahadat: asyhadu anlaa ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.

Jika kita mengakui Allah satu-satu-Nya Dzat yang berhak diibadahi dan disembah, maka kita juga dituntut untuk menjauhi segala bentuk peribadatan kepada selain Allah, menjauhi semua pintu yang bisa menggelincirkan kepada perbuatan kekufuran dan kesyirikan. Tak terkecuali pada syiar-syiar orang kafir, hari raya serta segala bentuk peribadatan mereka. Semua jalan yang mengarah ke sana harus kita tutup demi menjaga kemurnian tauhid kita kepada Allah.

Para ulama mewanti-wanti kaum muslimin agar tidak ikut-ikutan merayakan hari raya orang kafir, di antara larangannya:

1) Tidak menghadiri upacara dan perayaan orang kafir.

2) Tidak makan makanan upacara dan perayaan orang kafir.

3) Tidak menerima hadiah orang kafir di hari raya mereka. [1]

Pada intinya, kaum muslimin dilarang merayakan di hari raya orang kafir, baik saling mengucapankan selamat, makan-makan, menerima hadiah, liburan ke tempat rekreasi, dan kegiatan lain yang biasa dilakukan orang tatkala hari raya. Allahu a’lam bis showwaab.

***

Penyusun: Ummu Fatimah Umi Farikha

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Artikel www.muslimah.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Pada poin no. 2 dan 3 terdapat perselisihan di antara para ulama mengenai boleh atau tidaknya. Kecuali jika dilakukan dalam rangka memeriahkan upacara dan perayaan mereka, maka hal ini termasuk poin no. 1.

ShareTweetPin
Muslim AD Muslim AD Muslim AD
Muslimah.or.id

Muslimah.or.id

Artikel Terkait

Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Bag. 2)

oleh dr. Ika Kartika
18 Agustus 2018
0

kita diperintahkan untuk memberikan hak ahlul bait berupa fa'i (harta rampasan perang dari non muslim yang diperoleh tidak dengan jalan...

Mengingat Janji-Janji Allah

Mengokohkan Iman dengan Mengingat Janji-Janji Allah

oleh Fauzan Hidayat
23 Mei 2025
0

Di tengah gurun pasir kehidupan yang kering kerontang, janji-janji Allah Ta’ala laksana oasis yang menyegarkan. Setiap ketaatan yang kita lakukan,...

Empat Macam Cinta

oleh Redaksi Muslimah.Or.Id
13 Februari 2023
2

Di sini terdapat empat macam cinta yang wajib dibedakan. Sebab orang yang tidak membedakannya pasti akan tersesat karenanya. 1. Mahabatullah...

Artikel Selanjutnya

Menghiasi Diri Dengan Sifat Itsar

Komentar 5

  1. afifah says:
    10 tahun yang lalu

    saya punya saudara kak,dia orang Nasrani dan kebetulan tinggal nya di dekat rumah, dia sering ngadain acara kebaktian di rumahnya dan tiap acara itu dia jga suka bagi” makanan ke tetangga sekitar trmasuk saya jga yang orang muslim. Selama ini kami menerima pemberian itu krena kmi pikir ini pemberian biasa bkan bagian dri ibadah mereka.

    Balas
  2. Widy says:
    10 tahun yang lalu

    Bermanfaat sekali
    Saya ijin share artikel ini :)
    Terimakasih

    Balas
  3. Metha Aja says:
    10 tahun yang lalu

    Subhanalloh ustadz,,saya makin dilema…saya bner” bingung ustadz krn kluarga besar dan lingkungan tmpat saya tinggal itu mayoritas non muslim semua..apa yg hrs saya lakukan ustadz krn mmg dsni sdh kbiasaan stiap hr raya masing” saling mngunjungi….mohon pencerahanx..
    Jazakillah khoir…

    Balas
    • Sa'id Abu Ukkasyah says:
      10 tahun yang lalu

      1. Kalau untuk mendo’akan ustadz: Jazakallahu khaira, tapi kalo untuk ustadzah : Jazakillahu khaira.

      2. RENUNGAN

      christ : “Kau tidak mengucapkan selamat natal padaku??”

      Muslim: “Tidak. Agama kami menghargai toleransi antar agama, termasuk agamamu. Tapi urusan ini, agama saya melarangnya..!!”

      christ : “Tapi kenapa?? Bukankah hanya sekedar kata2? Teman2 muslimku yg lain mengucapkannya padaku??”

      Muslim: “Mungkin mereka belum mengetahuinya, christ. Bisakah kau mengucapkan dua kalimat Syahadat?”

      christ : “Oh tidak, saya tidak bisa mengucapkannya… Itu akan mengganggu kepercayaan saya..!”

      Muslim: “Kenapa?? Bukankah hanya kata2? Ayo, ucapkanlah..!!”

      christ : “Sekarang, saya mengerti..”

      Inilah yg menyebabkan Buya Hamka memilih meninggalkan jabatan dunia sebagai Ketua MUI ketika didesak utk mengucapkan “Selamat Natal” yang meskipun anggapan HANYA BERUPA kata2 keakraban/toleransi namun disisi Allah nilainya justru menunjukkan kerendahan aqidah seorang hamba yg tdk faham / tdk mau mengerti akan konsep ilmu agama
      [In memoriam Buya Hamka].

      *) Bukanlah yg di maksud dg “toleransi antar agama” adalah toleransi yg melampui batas, sampai menghancurkan dasar agama kita, bukan pula yg menyamakan semua agama, namun yg dimaksud adalah toleransi yg sesuai dg rambu2 Islam (dalil) yg sudah dijelaskan dalam kitab-kitab ulama kita.

      KISAH NYATA YG MENGHARUKAN

      “Ada seorang Ustadz tinggal di suatu komplek (perumahan), beliau memiliki tetangganya nashrani, dan tetangga ini merupakan nashrani (kristen) yang taat, setiap hari Ahad pergi ke gereja.

      Sering ketika sang Ustadz hendak berangkat mengajar mengisi pengajian bertemu dengan tetangganya tersebut yang hendak ke gereja, sang Ustadz membawa mushaf Alquran dan kitab ulama, si tetanggapun membawa injil. Tak lupa sang Ustadz menyapa, “Selamat pagi pak?” Si tetangga pun menjawab, “Pagi Ustadz.”

      Mereka saling menyapa. Itu terjadi sekitar 1998. Ketika si nashrani itu sakit maka sang Ustadz mengunjunginya, ketika si tetangga terkena musibah rumahnya terkena angin puting beliung maka sang Ustadz mengajak jama’ah pengajiannya untuk membantu memperbaiki rumahnya. Anak-anak dari tetangga tersebut juga merupakan aktivis gereja, yang putera gitaris dan yang puteri vokalis, sedangkan sang bapak rajin ke gereja.
      Dan setiap ada hari raya Umat Islam selalu mengucapkan selamat kepada Ustadz.

      Namun ketika ada hari raya nashrani maka sang Ustadz tidak pernah mengucapkan selamat, sang Ustadz selalu mengatakan,

      “Maaf pak, ajaran saya Islam melarang untuk mengucapkan selamat, tapi saya tetap menghormati bapak dan kita tetap bertetangga, dan saya senang bertetangga dengan bapak”.

      ” Si tetangga tidaklah tersinggung, dan hubungan tetangga tetap harmonis. Ternyata diam-diam si bapak mempelajari Islam, diam-diam dia tertarik, membaca buku-buku tentang Islam, dan dia belajar dari perilakunya Ustadz . (Hal ini sangat penting diperhatikan!! Jika ada orang belajar Islam dari perilaku kita kira-kira bagaimana? Apakah mereka akan tertarik atau malah lari?).

      Pernah suatu ketika si bapak berkunjung ke rumah sang Ustadz, dan qadarullaah hujan deras. Maka sang Ustadz mengantarnya pakai mobil, ketika di mobil sang Ustadz memegang tangan si bapak yang sudah tua itu seraya berdo’a kepada Allah (di dalam hati),

      “Yaa Allah, Yaa Haadii, Wahai Allah Yang Maha Memberi hidayah, berilah hidayah kepada hambaMu ini, bapak ini. (beliau terus berdo’a).”

      Maka ketika si bapak telah turun, sang Ustadz ini menangis sambil berdo’a. Tidak cuma itu, Ustadz pun ketika di Masjid tidak lupa berdo’a agar si bapak diberi hidayah oleh Allah.

      Sampai datang suatu ketika, sang Ustadz baru pulang dari Masjid, ternyata di depan pintu rumah sang Ustadz sudah menunggu bapak itu memakai peci, bapak itu langsung bicara,
      “Ustadz, bimbing saya untuk masuk ke dalam Islam.”

      Maka sang Ustadz pun senang sekali, dan merangkulnya, dan dibimbing.
      Kemudian beberapa hari kemudian Istri bapak itu, anak-anaknya, semua masuk Islam, pada tahun 2002.” Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi ‘Kran Kebaikan’?

      [Sepenggal Kisah Dari ‘Kran Kebaikan’, Al-Ustadz Abdullah Zaen MA].

      Balas
  4. HM.SETIAWAN AMIN says:
    10 bulan yang lalu

    Bagus sekali untuk setiap akhir tahun dipublikasikan sebagai peringatan

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid
Logo Muslimahorid

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslim.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Edu Muslim.or.id

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.

No Result
View All Result
  • Kategori
    • Akidah
    • Manhaj
    • Fikih
    • Akhlak dan Nasihat
    • Keluarga dan Wanita
    • Pendidikan Anak
    • Kisah
  • Edu Muslim
  • Muslim AD
  • Muslim Digital

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.