Dalam setiap urusan, Islam menuntun umatnya untuk menegakkan kejujuran, keadilan, dan amanah. Di tengah kehidupan modern yang serba kompetitif ini, praktik “orang dalam” — yakni menggunakan kedekatan pribadi untuk memperoleh keuntungan atau kemudahan tertentu — sudah dianggap hal yang lumrah. Fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia kerja, tetapi juga dalam berbagai urusan administrasi, pendidikan, maupun pelayanan publik. Di satu sisi, keberadaan hubungan sosial adalah fitrah manusia. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan bagaimana Islam memandang praktik semacam ini. Sebagai agama yang menuntun umatnya dalam seluruh aspek kehidupan, Islam memiliki pandangan dan kaidah tersendiri dalam menyikapi setiap bentuk interaksi dan usaha. Artikel ini akan membawakan fatwa Lajnah Daimah mengenai persoalan “orang dalam” dari sudut pandang syariat, agar kita dapat memahami batasan dan nilai-nilai yang seharusnya dijaga dalam menjalin hubungan serta mengupayakan sesuatu.
Pertanyaan:
مَا حُكْمُ الْوَاسِطَةِ؟ وَهَلْ هِيَ حَرَامٌ أَوْ حَلَالٌ؟ مَثَلًا إِذَا أَرَدْتُ أَنْ أَتَوَظَّفَ أَوْ أَدْخُلَ فِي مَدْرَسَةٍ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، وَأَسْتَخْدِمَ الْوَاسِطَةَ، فَمَا حُكْمُهَا؟
Apa hukum orang dalam? Apakah ini haram atau halal? Contohnya, saya ingin bekerja atau masuk ke universitas/semisalnya, kemudian saya memakai orang dalam supaya diterima, apa hukum menggunakan jasa orang dalam seperti ini?
Jawaban dari Al-Lajnah Ad-Daimah:
أَوَّلًا: إِذَا تَرَتَّبَ عَلَى تَوَسُّطِ مَنْ شَفَعَ لَكَ فِي الْوَظِيفَةِ حِرْمَانُ مَنْ هُوَ أَوْلَى أَوْ أَحَقُّ بِالتَّعْيِينِ فِيهَا مِنْ جِهَةِ الْكَفَايَةِ الْعِلْمِيَّةِ الَّتِي تَتَعَلَّقُ بِهَا، وَالْقُدْرَةِ عَلَى تَحَمُّلِ أَعْبَائِهَا، وَالنُّهُوضِ بِأَعْمَالِهَا مَعَ الدِّقَّةِ فِي ذَلِكَ، فَالشَّفَاعَةُ مُحَرَّمَةٌ؛ لِأَنَّهَا ظُلْمٌ لِمَنْ هُوَ أَحَقُّ بِهَا، وَظُلْمٌ لِأُولِي الْأَمْرِ، وَذَلِكَ لِحِرْمَانِهِمْ مِنْ عَمَلِ الْأَكْفَاءِ، وَخِدْمَتِهِمْ لَهُمْ، وَمَعُونَتِهِمْ إِيَّاهُمْ عَلَى النُّهُوضِ بِمِرْفَقٍ مِنْ مَرَافِقِ الْحَيَاةِ، وَاعْتِدَاءٌ عَلَى الْأُمَّةِ بِحِرْمَانِهَا مِمَّنْ يُنْجِزُ أَعْمَالَهَا وَيَقُومُ بِشُؤُونِهَا فِي هَذَا الْجَانِبِ عَلَى خَيْرِ حَالٍ
ثُمَّ هِيَ مَعَ ذَلِكَ تُوَلِّدُ الضَّغَائِنَ وَظُنُونَ السُّوءِ، وَمَفْسَدَةٌ لِلْمُجْتَمَعِ
وَإِذَا لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَى الْوَاسِطَةِ ضَيَاعُ حَقٍّ لِأَحَدٍ أَوْ نُقْصَانُهُ فَهِيَ جَائِزَةٌ، بَلْ مُرَغَّبٌ فِيهَا شَرْعًا، وَيُؤْجَرُ عَلَيْهَا الشَّفِيعُ ـ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا، وَيَقْضِيَ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ مَا شَاءَ
ثَانِيًا: الْمَدَارِسُ وَالْمَعَاهِدُ وَالْجَامِعَاتُ مَرَافِقُ عَامَّةٌ لِلْأُمَّةِ، يَتَعَلَّمُونَ فِيهَا مَا يَنْفَعُهُمْ فِي دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ، وَلَا فَضْلَ لِأَحَدٍ مِنَ الْأُمَّةِ فِيهَا عَلَى أَحَدٍ مِنْهَا إِلَّا بِمُبَرِّرَاتٍ أُخْرَى غَيْرِ الشَّفَاعَةِ
فَإِذَا عَلِمَ الشَّافِعُ أَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَى الشَّفَاعَةِ حِرْمَانُ مَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْ جِهَةِ الْأَهْلِيَّةِ، أَوِ السِّنِّ، أَوِ الْأَسْبَقِيَّةِ فِي التَّقْدِيمِ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، كَانَتِ الْوَاسِطَةُ مَمْنُوعَةً لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مِنَ الظُّلْمِ لِمَنْ حُرِمَ، أَوِ اضْطُرَّ إِلَى مَدْرَسَةٍ أَبْعَدَ، فَنَالَهُ تَعَبٌ لِيَسْتَرِيحَ غَيْرُهُ، وَلِمَا يَنْشَأُ عَنْ ذَلِكَ مِنَ الضَّغَائِنِ وَفَسَادِ الْمُجْتَمَعِ
وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Pertama, jika dampak dari peran orang dalam yang membawa dirimu mendapatkan suatu pekerjaan itu adalah tidak diterimanya orang lain yang lebih kompeten, misalnya karena dia lebih berhak diangkat dari sisi keilmuan, kemampuan memikul pekerjaan, kejelian, dan kecermatan, maka dibawa oleh orang dalam seperti ini hukumnya haram. Karena ini berarti berbuat zalim kepada orang yang lebih berhak mendapatkan pekerjaan tersebut, dan zalim pada ulil amri. Disebut demikian karena ulil amri menjadi tercegah untuk mendapatkan pekerjaan dari orang-orang yang lebih cakap dalam memajukan suatu bidang tertentu. Juga ada kezaliman kepada rakyat, karena rakyat menjadi tercegah dari orang-orang yang bisa melaksanakan pekerjaan pada aspek tersebut dalam keadaan yang paling baik. Hal semacam ini juga menyebabkan ganjalan hati, menyebabkan sangkaan yang buruk. Dan ujungnya adalah masyarakat yang rusak, yang pesimis, dan tidak percaya kepada pemerintahannya.
Namun, jika pekerja yang dibawa oleh orang dalam ini tidak berdampak pada hilangnya hak siapapun, maka itu boleh, bahkan dianjurkan secara syariat. Si orang dalam atau penghubung ini mendapatkan pahala karenanya, insya Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Jadilah kalian penghubung antara orang yang membutuhkan pekerjaan dengan orang-orang yang bisa memberi pekerjaan, niscaya kalian akan mendapatkan pahala. Dan Allah menetapkan apa yang Dia kehendaki melalui lisan Rasul-Nya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua, adapun sekolah-sekolah, ma’had-ma’had, dan universitas-universitas milik negara, maka ini adalah fasilitas umum untuk semua penduduk. Mereka belajar ilmu yang bermanfaat bagi mereka, baik di sisi agama atau dunia. Tidak ada kelebihan bagi warga negara tertentu dibandingkan warga negara yang lain untuk memasuki lembaga pendidikan tersebut, kecuali dengan faktor-faktor pembenar yang lain selain karena dibawa oleh orang dalam. Apabila si penghubung ini mengetahui bahwa dengan dia membawa siswa melalui jalur orang dalam akan mencegah diterimanya siswa lain yang lebih berhak, padahal bisa jadi ia lebih baik dari sisi kelayakan, umur, lebih dahulu mendaftar, atau semacam itu, maka orang dalam yang seperti ini terlarang hukumnya. Karena dampaknya berupa kezaliman bagi pendaftar yang tidak diterima, bahkan mungkin konsekuensinya si murid yang lebih layak tadi harus mengambil sekolah yang lebih jauh, sehingga ia harus menanggung kelelahan demi kenyamanan orang lain. Selain itu, praktik semacam ini juga bisa menimbulkan ganjalan hati dan rusaknya masyarakat. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa aalihi washahbihi wasallama.
Kesimpulan:
Dari fatwa tersebut, dapat disimpulkan beberapa poin berikut ini:
- Apabila dampak dari peran orang dalam yang membawa seseorang mendapatkan suatu pekerjaan itu adalah tidak diterimanya orang lain yang lebih kompeten, maka hal ini haram karena merupakan kezaliman.
- Apabila tidak berdampak pada hilangnya hak siapapun, maka hukumnya boleh, bahkan dianjurkan.
- Adapun sekolah, universitas, ma’had, dan fasilitas pendidikan yang umum milik negara, maka membawa siswa lewat jalur orang dalam adalah haram. Karena lembaga-lembaga pendidikan tersebut adalah milik negara dan tidak ada kelebihan bagi siapapun dibandingkan yang lainnya, kecuali karena faktor pendukung, misalnya prestasi, kejuaraan, nilai akademik yang lebih baik, dan lain-lain.
- Melakukan praktik “orang dalam” tanpa memperhatikan syarat dan batasnya akan menyebabkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, sekaligus ini merupakan kezaliman kepada beberapa pihak.
Wallahu Ta’ala a’lam. Semoga Allah mudahkan kita untuk mengupayakan sesuatu tanpa melanggar batas syariat agama-Nya.
Baca juga: Rahasia di Balik Amalan Zikir dan Doa
***
Penulis: Amira Latifa Karimatannisa
Artikel Muslimah.or.id
Diterjemahkan dari:
- Fatawa lil Muwazhafin wal ‘Ummal, susunan Abu Hamzah Jibran Al Hajjaji.
- تقديم الوساطة للحصول على الوظيفة، أو زيادة النقاط, https://www.islamweb.net/ar/fatwa/247057/, diakses pada 17 Oktober 2025 pukul 10.51 WIB.



