Era keterbukaan zaman
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat kita semakin terbuka dengan ilmu tentang pengasuhan. Berseliweran informasi terkait parenting, tumbuh kembang anak, dan hal yang semisalnya. Di satu sisi, tentu kita bersyukur bahwa ilmu-ilmu ini kita butuhkan untuk mengusahakan upaya terbaik dalam membesarkan anak. Namun, di sisi lain, ilmu-ilmu ini bisa jadi penyebab kita menyalahkan pengasuhan yang dulu dilakukan orang tua kepada kita.
Sebagai contoh, Social Learning Theory menyatakan bahwa anak kecil sering kali mempelajari perilaku melalui peniruan. Orang yang memiliki sifat buruk ketika dewasa, dalam kondisi ia dulu dibesarkan oleh orang tua yang berperangai buruk, bisa jadi akan menyalahkan orang tuanya ketika membaca teori ini. Ia bisa jadi akan beralasan bahwa perangai buruknya adalah sebab didikan orang tuanya. Lantas, apakah ini dibenarkan dalam Islam?
Pandangan Islam tentang perilaku
Dalam Islam, seseorang diberi kebebasan untuk menentukan pilihan. Jika hubungannya dengan kepribadian, maka kita bisa memilih mana karakter yang ingin kita kembangkan dan mana yang perlu kita kendalikan. Pengalaman masa lalu atau warisan genetis bukan alasan untuk berakhlak buruk karena kita diberi kebebasan untuk memilih sikap terbaik atas setiap kondisi dan keadaan.
Perhatikan ayat berikut ini,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10)
Ayat ini memberi harapan bahwa manusia bisa berubah dan beradaptasi ke arah yang lebih baik. Kita bukanlah korban dari hasil didikan orang tua karena kita diberi kesempatan untuk memilih, mana respon terbaik dari kondisi yang kita jalani. Kita tidak boleh berasalan didikan orang tualah yang menyebabkan diri kita saat ini berperilaku buruk. Karena walaupun memang efek buruk pengasuhan orang tua itu kita rasakan, tetapi kita diberi ruang untuk memilih akhlak terbaik dari efek kejadian di masa lalu tersebut.
Inilah indahnya menjadi seorang muslim. Penelitian yang dilakukan oleh dunia Barat tidak perlu kita tolak, tetapi juga tidak bisa kita terima mentah-mentah. Karena teori yang dibangun oleh dunia Barat umumnya mengesampingkan sisi spiritualitas ini. Mengesampingkan kenyataan bahwa seseorang diberi potensi untuk memilih respon terbaik dari setiap permasalahan hidup. Oleh karena itu, dalam Islam, tidak bisa kita katakan bahwa jika diasuh oleh orang tua yang buruk, maka pasti jadi buruk.
Memiliki orang tua yang berperangai buruk adalah ujian dari Allah Ta’ala dan Dia tentu juga membekali kita untuk menghadapi ujian ini. Dalam artian, perangai buruk itu mungkin memang terwariskan kepada kita yang dulu menyaksikan pola berulang akan sikap buruk orang tua. Akan tetapi, Allah memberi kesempatan kita berubah dan mengendalikan sikap buruk tersebut.
Baca juga: Ketika Orang Tua Mengharapkan Anak Menjadi Ahlul Qur’an
Takziyatun nufus sebagai obat hati
Allah tentu mengerti tantangan yang kita hadapi dan tentu seseorang yang telah hidup dengan pola yang sama selama bertahun-tahun tidak akan mudah mengubah pola itu. Di sini lah sisi tazkiyatun nufus seseorang ditantang. Maukah ia menerima kejadian di masa lalu dan menyadari bahwa memiliki orang tua yang berperangai buruk juga bagian dari takdir Allah? Perlu juga kita ingat bahwa penyucian jiwa dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah akan semakin membersihkan hati. Dan hati yang bersih itulah yang akan menghasilkan akhlak yang baik, biidznillah.
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Mengingat manusia adalah penyakit, dan mengingat Allah adalah obatnya. Kita perlu menyadari bahwa orang tua adalah pihak yang Allah hadirkan sebagai salah satu ujian bagi kita. Merasa kesal dengan apa yang dulu dilakukan orang tua adalah bentuk protes akan takdir yang Allah tetapkan. Cobalah untuk mengalihkan perhatian dengan banyak mengingat nikmat-nikmat Allah, mengingat kebaikan orang tua, dan memperbanyak amal saleh yang harapannya hal itu akan semakin membersihkan hati kita. Perbanyaklah berdoa kepada Allah untuk melewati ujian ini. Tidak mudah, tetapi harus dijalani.
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ
“Dan kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kalin bersabar?” (QS. Al-Furqan: 20)
Akhlak baik bisa dilatih
Jika kita berpikir bahwa akhlak baik tidak bisa dilatih, mengapa generasi para sahabat bisa berubah dari yang awalnya menuruti hawa nafsu sebelum datangnya Islam menjadi orang-orang yang berakhlak mulia setelah mengenal Islam? Bukankah ini bukti bahwa para sahabat pun juga berjuang mengusahakan akhlak baik itu?
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari no. 273)
Ingatlah pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan motivasi berakhlak baik yang menunjukkan bahwa akhlak baik itu bisa diusahakan.
أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162)
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1941)
Terlebih, para ulama pun juga mengusahakan akhlak baik itu. Sebagaimana pernyataan Imam Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah, “Aku mempelajari adab selama 30 tahun, kemudian menuntut ilmu selama 20 tahun.”
Dan pernyataan Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah, “Mereka (Salafus Shalih) mempelajari petunjuk Nabi (tentang adab) sebagaimana mereka belajar ilmu.”
Semua orang akan dihisab
Ketika rasanya masih sulit untuk tidak menyalahkan orang tua, perlu kita ingat bahwa semua pihak akan dihisab. Orang tua akan dihisab atas apa yang mereka lakukan, demikian pula kita. Apakah kita ingin penghisaban kita nanti berat atas sebab perangai buruk yang kita lakukan? Padahal kita diberi kebebasan untuk memilih mau atau tidak mengendalikan perangai tersebut. Mari cukupkan diri dengan apa yang akan Allah hisab pada diri kita dan tidak perlu memikirkan hisab orang lain. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan bagi kita untuk menjadi hamba yang berakhlak mulia.
Baca juga: Bagaimana Cara Memiliki Akhlak Mulia dalam Islam?
***
Penulis: Rahma Aziza Fitriana
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Jawas, Yazid. 2015. Adab & Akhlak Penuntut Ilmu. Bogor: Pustaka At-Taqwa.
- Lally, M. & Frech, S.V. 2019. Lifespan Development, A Psychological Perspective. California: Creative Commons.
- Kajian Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, “993. Belum Bisa Berlemah Lembut Karena Orang Tua Yang Keras”, 25 Februari 2023. Dapat disimak di tautan ini.
- Utz, Aisha. 2011. Psychology from the Islamic Perspective. Riyadh: International Islamic Publishing House.