Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang mengikuti Rasul
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman,
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Al-Insyirah: 4)
Ditinggikannya nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang tidak perlu diragukan lagi. Karena nama beliau senantiasa ditinggikan dalam penggandengannya bersama kalimat Laa Ilaaha Illallah di dalam syahadat, kemudian dalam bacaan azan, dalam setiap salat ketika tasyahud, juga dalam setiap ibadah. Hal yang demikian itu karena setiap ibadah harus memenuhi dua syarat: ikhlas hanya mengharapkan wajah Allah dan ittiba’ (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ustadz Dr. Firanda Andirja hafizhahullah berkata dalam kitab beliau, Tafsir Juz ‘Amma (hal. 470) bahwa para ulama menyebutkan, ayat ini memang berbicara tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, siapa pun yang menghayati maknanya akan mendapatkan sebagian keutamaan seperti Nabi. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالَّذِينَ أَعْلَنُوا مَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَارَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ قَوْله تَعَالَى {وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ} فَإِنَّ مَا أَكْرَمَ اللهُ بِهِ نَبِيَّهُ مِنْ سَعَادَةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَلِلْمُؤْمِنِينَ الْمُتَابِعِينَ نَصِيبٌ بِقَدْرِ إِيمَانِهِمْ
“Dan orang-orang yang menyiarkan apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagj mereka bagian juga dari firman Allah “Dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu.” Karena kebahagiaan dunia dan akhirat Allah anugerahkan kepada Nabi-Nya, kaum mukminin yang meneladani beliau juga mendapat bagian sesuai dengan kadar imannya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 28: 38)
Pada setiap kesulitan terdapat dua kemudahan
Ustadz Dr. Firanda Andirja hafizhahullah berkata dalam kitab beliau Tafsir Juz ‘Amma (hal. 471), “Para ulama menyatakan ada empat penguat pada ayat ini.
Pertama, Allah membuka ayat ini dengan إنَّ yang artinya ‘sesungguhnya’, yang memberikan penekanan bagi ayat setelahnya.
Kedua, Allah mengulangi kalimat tersebut dengan maksud menegaskan.
Ketiga, Allah menyebutkan الْعُسْرِ (kesulitan) dalam bentuk (isim) ma’rifah yang diawali oleh alif lam. Huruf alif lam dalam kalimat tersebut -dalam bahasa Arab- artinya alif lam al-‘ahdiyah (untuk menunjukkan kata benda definitif, pen.). Sehingga الْعُسْرِ yang kedua adalah الْعُسْرِ yang tadi telah disebutkan pertama (di ayat sebelumnya).
Hal ini berbeda dengan يُسْرًا (kemudahan) yang disebutkan dalam bentuk (isim) nakirah (kata benda indefinitif, pen.) yang berakhiran tanwin. Sehingga يُسْرًا yang kedua berbeda dengan يُسْرًا yang pertama. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa dalam kedua ayat ini, ‘kesulitan’ hanya disebutkan satu kali, sedangkan ‘kemudahan’ disebutkan dua kali.
Para salaf mengatakan, ِ
لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْن
“Tidak mungkin satu kesulitan akan mengalahkan dua kemudahan.” (Tafsir Al-Baghawi, 8: 465)
Keempat, Allah menggunakan kata مَعَ yang bermakna ‘bersama’. Kata ini menunjukkan kemudahan yang akan segera datang setelah kesulitan. Ibnu Mas’ud berkata,
لَوْ دَخَلَ الْعُسْرُ فِي جُحْرٍ، لَجَاءَ الْيُسْرُ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ
“Seandainya kesulitan itu masuk ke dalam sebuah lubang, kemudahan akan datang dan ikut masuk bersamanya.” (Tafsir Ath-Thabari, 24: 469)
Semua ini menekankan bahwa apabila seseorang menghadapi kesulitan, lalu ia berusaha bertakwa kepada Allah, niscaya kemudahan akan mengiringj kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Allah berfirman,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
Jalan keluar itu dekat karena ia seolah-olah datang bersama kesulitan yang baru saja dihadapi. Hal yang terpenting adalah kita senantiasa perbaiki hati, husnuzan kepada Allah, memperbaiki ibadah, dan memperbaiki tawakal serta bertakwa kepada-Nya. Kata ‘kesulitan’ dalam ayat ini mencakup seluruh bentuknya karena lafal الْعُسْرِ diawali dengan alif lam yang menunjukkan al-istighraq (makna umum) sehingga mencakup seluruh bentuk kesulitan. Lafal ini juga menunjukkan betapa pun berat dan besarnya kesulitan tersebut, ujungnya adalah kemudahan. (Tafsir As-Sa’di, hal. 929)
Menjadi muslim produktif
Kemudian, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ * وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَبْ
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7-8)
Kedua ayat ini memotivasi kita sebagai seorang muslim untuk produktif dalam menjalani kehidupan.
Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah berkata di dalam kitab tafsir beliau, “Jika Anda telah usai dari pekerjaan-pekerjaan Anda, maka sibukkan diri dengan pekerjaan lain. Atau, bersusah payahlah untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Jangan jadikan dunia ini kehilangan Anda. Oleh sebab itu, kehidupan manusia yang berakal adalah kehidupan yang sarat dengan kesungguhan. Setiap kali usai melakukan suatu pekerjaan, ia segera mulai pekerjaan yang lain, dan demikian seterusnya. Karena masa ini akan terus meninggalkan manusia dalam keadaan ia terjaga atau sedang tidur, ketika ia sibuk atau sedang kosong, terus saja berjalan dan tak seorang pun bisa menahan masa itu. Jika semua manusia bergabung untuk menghentikan matahari hingga siang menjadi lebih panjang, mereka sama sekali tidak akan mampu melakukannya. Tak seorang pun mampu menahan laju masa. Jadi, jadikanlah kehidupan Anda kehidupan dengan penuh kesungguhan.” (Tafsir Juz ‘Amma Syaikh ‘Utsaimin, hal. 366)
Namun patut digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan “menjadi produktif” bukanlah berarti kita harus senantiasa berada dalam kesibukan. Senantiasa bekerja dan tidak pernah beristirahat. Akan tetapi, menjadi produktif berarti kita menjaga keseimbangan dalam kehidupan, memberikan kepada setiap yang berhak akan haknya masing-masing.
Sebagaimana pembenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perkataan Salman Al-Farisi kepada Abu Darda’. Ketika Salman berkata kepada Abu Darda’,
إِنَّ لرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلَنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلأَهْلكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْط كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya teruntuk Tuhanmu terdapat hak (yang harus kamu penuhi), dan teruntuk dirimu juga ada hak yang harus kamu penuhi, serta teruntuk istrimu juga terdapat hak (yang harus kamu penuhi). Karenanya, berikanlah hak tersebut kepada setiap yang memilikinya.” (HR. Bukhari no. 6139)
Dan di dalam firman-Nya, وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَب “Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” terdapat sebuah faidah dari sisi balaghah (keindahan bahasa). Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“إِلَىٰ رَبِّكَ ‘Hanya kepada Tuhanmulah’ tergantung dari sisi i’rab dengan ارْغَب ‘berharaplah’; karena kalimat itu mendahului ارْغَب. Mendahulukan ma’mul (objek), yaitu إِلَىٰ رَبِّكَ berfungsi sebagai hashr (pembatasan); dengan kata lain, berharaplah hanya kepada Allah saja dan bukan kepada selain-Nya dalam segala perkara Anda. Percayalah bahwa kapan saja Anda mengaitkan pengharapan Anda kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Dia pasti akan memudahkan segala urusan Anda.” (Tafsir Juz ‘Amma Syaikh ‘Utsaimin, hal. 367)
Demikian beberapa faidah yang dapat kita petik dari surah ini. Semoga Allah memberkahi ilmu yang telah kita miliki, yang dengan keberkahan tersebut Allah memudahkan langkah kita untuk mengamalkannya dan menambahkan kembali kepada kita berbagai ilmu bermanfaat lainnya. Sesungguhnya hanya kepada Allah kita memohon petunjuk dan taufik.
[Selesai]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan, Rabi’ul Awal 1435/ Januari 2014.
Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Darul Falah Jakarta, Cetakan Pertama, 2007.
Tafsir Juz ‘Amma, Ustadz Dr. Firanda Andirja, Cetakan Pertama, Oktober 2018.
Shahih Al-Bukhari, Pustaka As-Sunnah Jakarta, Cetakan Pertama, April 2010.