Beratnya perkara dosa
Selanjutnya, Allah Ta’ala berfirman,
وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ * ٱلَّذِىٓ أَنقَضَ ظَهْرَكَ
“Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu, yang memberatkan punggungmu?” (QS. Al-Insyirah: 2-3)
Secara bahasa, وِزْرٌ bermakna dosa. Maksud ayat di atas adalah Allah Ta’ala telah mengampuni dosa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dosa beliau yang telah lalu maupun yang akan datang. Sebagaimana firman-Nya,
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا * لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (QS. Al-Fath: 1-2)
Jika ada yang mengatakan, “Apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang melakukan dosa?”
Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsir beliau, “Ya. Tidak mungkin bagi kita menolak nash itu hanya untuk mengatakan bahwa beliau tidak mungkin berbuat dosa. Kita tidak mengatakan suatu keadaan bahwa manusia tidak berdosa, tetapi keadaannya adalah adanya ampunan untuk manusia (yang berbuat dosa, pen.). Inilah yang terpenting, bahwa beliau telah diampuni. Sedangkan tentang (apakah) tidak ada dosa pada beliau, beliau bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap anak Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertobat.” (HR. Bukhari)
Memang ada dosa (kesalahan), namun terdapat beberapa hal (dosa) yang tidak boleh terjadi dari para Nabi, seperti dusta dan khianat. Semua ini tidak boleh terjadi pada diri mereka sama sekali. Karena jika hal itu terjadi pada mereka, maka pasti menyebabkan cacatnya risalah yang mereka bawa, sedangkan hal demikian itu mustahil. Demikian juga akhlak yang sangat hina, seperti zina dan sejenisnya, adalah sesuatu yang mutlak dilarang (tidak mungkin dilakukan oleh para Nabi, pen.). Karena yang demikian itu akan menafikan dasar risalah. Risalah diadakan untuk menyempurnakan akhlak mulia. Sebagaimana sabda beliau,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Bukhari)
Alhasil, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melepaskan (mengampuni) dosa-dosa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjelaskan bahwa dosa-dosa tersebut telah memberatkan punggungnya; atau dengan kata lain membebani dan melelahkannya. Jika sedemikian rupa dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana lagi dengan dosa-dosa selain beliau, dosa-dosa kita yang telah membebani punggung kita dan melelahkan kita. Akan tetapi, seakan-akan kita tidak membawa apa-apa. Hal yang demikian itu karena lemahnya iman kita, pandangan kita, dan banyaknya kelalaian kita.” (Tafsir Juz Amma Syaikh ‘Utsaimin, hal. 359)
أَنْقَضَ diambil dari kata نَقْضٌ yang bermakna suara yang keluar dari punggung unta ketika diletakkan beban berat diatas pelananya. Demikianlah hendaknya keadaan seorang mukmin ketika melakukan perbuatan dosa.
Disebutkan di dalam sebuah hadis, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفه فَقَالَ بِهِ هَكَذَا قَالَ أَبُو شِهَابٍ بيده فَوْقَ أَنْفه
“Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya seakan-akan dia sedang duduk di bawah gunung yang dikhawatirkan jatuh menimpanya. Dan sesungguhnya pelaku perbuatan dosa melihat dosa-dosanya seperti lalat yang terbang di depan hidungnya, lalu ia berkata begini, – Abu Syihab menjelaskan dengan isyarat tangannya di depan hidungnya -.” (HR. Bukhari no. 6308)
[Bersambung]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan, Rabi’ul Awal 1435/ Januari 2014.
Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Darul Falah Jakarta, Cetakan Pertama, 2007.
Tafsir Juz ‘Amma, Ustadz Dr. Firanda Andirja, Cetakan Pertama, Oktober 2018.
Shahih Al-Bukhari, Pustaka As-Sunnah Jakarta, Cetakan Pertama, April 2010.