Hari-hari ini kita disuguhkan dengan beragam konten di media sosial. Banyak konten bermanfaat untuk mengedukasi dalam hal apapun, termasuk dalam hal pengasuhan. Namun, tak jarang konten-konten edukasi malah menjadi sumber kekhawatiran. Utamanya bagi mereka yang belum mampu menerapkan karena kondisinya yang tidak ideal.
Sebutlah konten tentang betapa butuhnya anak akan kasih sayang kedua orang tuanya. Konten yang mengatakan jika anak tidak tumbuh dalam keluarga yang utuh, maka perkembangannya tidak akan baik ketika dewasa. Konten ini tentu tujuannya baik, yaitu agar kedua orang tua hadir secara utuh untuk mengasuh anak-anaknya. Namun, bagaimana untuk mereka yang kondisinya tidak ideal? Mereka yang berpisah dari suaminya, misalnya. Atau bagi mereka yang suaminya telah tiada.
Perlu diketahui bahwa banyak konten edukasi terkait anak berasal dari Psikologi Barat. Ilmu dalam dunia barat pada umumnya dipisahkan dari agama. Inilah paham sekularisme, yaitu tidak melibatkan agama dalam urusan dunia. Karena bagi mereka, science is established upon facts that are verifiable (sains dibangun di atas fakta yang bisa diverifikasi kebenarannya dengan metodologi tertentu). Mereka mengatakan bahwa agama itu berdasarkan kepercayaan subjektif, sehingga tidak dapat dievaluasi dengan metode yang objektif.
Hal ini karena ilmu di dunia barat dibagun di atas pemahaman Scientific Naturalism. Yaitu ilmu yang hanya berdasarkan pada teori dan penelitian. Pemikir sekuler mencoba menjelaskan sesuatu dengan melakukan observasi, pertanyaan, eksperimen, dan analisis mendalam dengan mengesampingkan keberadaan unsur ghaib, termasuk di antaranya meniadakan keberadaan Allah Ta’ala. Pemahaman seperti ini berakar dari aliran filsafat Positivisme dan Empirisme.
Positivisme pada prinsipnya adalah kepercayaan seseorang atas pengetahuan terhadap sesuatu yang hanya berdasarkan atas fakta-fakta nyata. Adapun Empirisme berasumsi bahwa satu-satunya dan sumber utama pengetahuan adalah pengalaman atau mengambil kesimpulan induktif berdasarkan pengalaman. Jadi, keduanya hanya berfokus pada dunia dan mengesampingkan pengaruh ghaib dan sejenisnya. Hal yang tidak dialami manusia atau dirasakan indra manusia, maka tidak dapat diterima sebagai kebenaran.
Oleh karena itu, bagi Psikologi Barat atau disebut juga Psikologi Kontemporer, Psikologi adalah studi tentang tingkah laku, mental, dan emosi yang hanya dikaitkan dengan hal-hal yang terlihat, seperti pengaruh keluarga dan teman. Perilaku seseorang ditentukan oleh keinginan, gerak, keadaan, pengaruh sosial, dan lain-lain. Hal ini tentu menarik, bahwasanya segala penelitian dan observasi yang dilakukan oleh pemikir sekuler seperti memberikan hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Akan tetapi, ketika dilihat lebih dekat, kelemahan utama dari Psikologi Kontemporer adalah tidak diakuinya hal yang paling penting dari manusia, yaitu jiwa (Utz, 2011).
Adapun dalam pandangan Islam, Psikologi adalah studi tentang jiwa yang akan mempengaruhi perilaku, mental, dan emosi. Karena jiwa atau kita sebut ruh punya pengaruh kepada ketiganya.
ثُمَّ سَوّٰٮهُ وَنَفَخَ فِيۡهِ مِنۡ رُّوۡحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمۡعَ وَالۡاَبۡصَارَ وَالۡاَفۡـــِٕدَةَ ؕ قَلِيۡلًا مَّا تَشۡكُرُوۡنَ
“Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali dari kamu yang bersyukur.” (QS. As-Sajdah: 9)
Bukankah kita mengakui hal tersebut? Bahwasanya jiwa atau ruh kita ini sangat mempengaruhi apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita rasakan. Ketika kondisi ruh kita baik, maka kita semangat melakukan kebaikan, kita mudah berpikir positif, dan kita menjalani hari dengan kondisi hati yang bahagia. Demikian pula sebaliknya. Betapa banyak orang yang jadi tidak bersemangat melakukan sesuatu karena kondisi jiwanya yang buruk? Ia juga berat berpikir positif dan sangat mudah marah.
Berbeda dengan pandangan barat, dalam Islam, science must be built upon religious principles and beliefs (sains harus dibangun di atas prinsip-prinsip dan keyakinan agama). Hal ini sangat tepat diterapkan untuk Psikologi karena kita mempelajari sifat alami manusia. Jika penalaran manusia diizinkan menjadi kriteria, tentu kekacauanlah yang akan terjadi. Seperti dalam Ilmu Psikologi dengan berbagai teorinya yang berbeda satu sama lain. Mengapa demikian? Karena tidak ada standar kebenaran. Setiap orang (ahli) boleh berpendapat sesuai pikirannya masing-masing.
اَلَا يَعۡلَمُ مَنۡ خَلَقَؕ وَهُوَ اللَّطِيۡفُ الۡخَبِيۡرُ
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)
Sehingga dalam Islam, Psikologi tidak hanya dipengaruhi oleh hal-hal yang terlihat, seperti pola asuh orang tua, teman, dan lingkungan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang ghaib.
Oleh karena itu, pada konten edukasi yang kita baca, bisa jadi memang benar dari sisi penelitian, tetapi kurang lengkap karena tidak melibatkan unsur yang tidak terlihat, seperti mengingat Allah yang merupakan nutrisi bagi jiwa. Benar, mungkin bagi sebagian orang melakukan pengasuhan ideal itu begitu sulit karena kondisi tidak memungkinkan, tetapi itu bukanlah vonis akhir yang membuat seseorang gagal dalam pengasuhan. Ada unsur tidak terlihat seperti kasih sayang Allah, rahmat Allah, dan pertolongan dari Allah yang sangat bisa mengubah kondisi.
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهٖ نَفۡسُهٗ وَنَحۡنُ اَقۡرَبُ اِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ الۡوَرِيۡدِ
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16)
Bukankah sebagai hamba kita tidak bisa memilih kondisi? Apakah mungkin kita akan meragukan ke-Maha Bijaksanaan Allah atas semua ketetapan hidup yang telah Ia beri? Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah juga Maha Bijaksana, setiap kejadian yang ia takdirkan tentu mengandung hikmah bagi hamba-Nya.
Kita selalu bisa membangun persepsi positif dengan terus meminta tolong kepada Allah. Kehendak Allah tidaklah seperti rumus matematika yang baku, bahwasanya jika begini, maka pasti begitu. Kehendak Allah begitu luas dan menyeluruh. Selalu ada harapan akan kebaikan di balik segala kondisi tidak ideal yang dihadapi manusia.
Oleh karena itu, mari kita tempatkan konten edukasi sesuai porsinya. Kita jadikan konten edukasi sebagai pembelajaran. Kita jadikan konten edukasi sebagai wasilah untuk meng-upgrade pengetahuan dan berusaha melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Namun, janganlah lupa bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Tempatkan ilmu sebagai panduan dan jadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman dengan tetap yakin dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap urusan.
Baca juga: Mendidik Anak adalah Pekerjaan yang Tiada Usai
***
Penulis: Rahma Aziza Fitriana
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Utz, Aisha. 2011. Psychology from the Islamic Perspective. International Islamic Publishing House.