Berinteraksi — baik melalui lisan maupun tulisan, atau keduanya — antara wanita dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahram), jika tidak dibarengi dengan rambu-rambu yang mencegah dari fitnah (membahayakan agama seseorang), serta dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus, maka hal tersebut termasuk perkara yang secara nyata membahayakan agama dan kehormatan wanita.
Dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi laki-laki dibandingkan fitnah wanita.” (HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)
Sudah dimaklumi bahwa pembicaraan seorang wanita dengan laki-laki ajnabi (asing) hendaknya dibatasi dalam bentuk yang sopan, tegas, dan hanya sesuai kebutuhan, agar tidak menimbulkan ketertarikan dalam hati pihak lawan bicara, terutama bagi mereka yang hatinya lemah dan mengandung penyakit (syahwat).
Oleh karena itu, setiap bentuk interaksi, baik lisan maupun tulisan, yang mengandung unsur kelembutan berlebihan, suara menggoda, obrolan santai, senda gurau, candaan, rayuan, atau bentuk interaksi lain yang dapat membangkitkan syahwat dan menggugah gairah, maka hukumnya terlarang. Ini sebagai bentuk saddudz dzari’ah (preventif, yaitu menutup jalan atau sarana menuju hal yang haram).
Cara interaksi seperti itu keluar dari batasan perkataan yang sopan dan perkataan yang baik yang dikenal secara syar’i (al-qaul al-ma’ruf). Bahkan, nada suara yang lembut dan cara bicara yang merendah secara nyata mampu membangkitkan gejolak syahwat dan hasrat, baik dalam waktu dekat maupun lama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan-perempuan lain jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara dalam berbicara, agar orang yang di dalam hatinya ada penyakit tidak berkeinginan, dan ucapkanlah perkataan yang baik (dan tegas).” (QS. Al-Ahzab: 32)
Karena pada kenyataannya, sebagian wanita tidak menjaga adab dan batasan syariat dalam berbicara, berinteraksi, dan berkirim pesan. Sehingga yang paling selamat bagi kehormatan dan agama adalah meninggalkan interaksi seperti itu, kecuali dalam batasan yang sangat sempit dan terbatas, dengan tetap menjaga syarat-syarat keamanan dari fitnah serta sebatas kebutuhan syar’i.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ؛ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Takutlah kalian terhadap dunia, dan takutlah terhadap fitnah wanita. Sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah disebabkan oleh wanita.” (HR. Muslim no. 2742)
Hadis-hadis di atas konteksnya ditujukan kepada laki-laki, tetapi hal ini juga sebagai pengingat bagi para wanita bahwa dirinya adalah fitnah bagi laki-laki, sehingga jangan sampai ia menambah fitnah tersebut dengan sikap dan tindakan yang melewati batasan, sehingga potensi peluang terjadi fitnah semakin besar.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Baca juga: Bolehkah Wanita Bekerja?
***
Penulis: Ustadz Junaidi
Artikel Muslimah.or.id
Referensi: