Mengapa dikatakan syahid?
Al-Malibary asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan di dalam kitabnya, Fathul Mu’in (1: 223),
وتحرم صلاة على شهيد
“Dan diharamkan menyalati mayit yang syahid.”
Kata (شهيد) menggunakan wazan (pola) فعيل yang maknanya adalah objek (مفعول)
لأنه مشهود بالجنة
“Karena dia adalah orang yang dipersaksikan dengan surga.”
Atau dengan wazan فاعل yang maknanya adalah subjek,
لأن روحه تشهد الجنة قبل غيره
“Karena ruhnya melihat surga sebelum yang lainnya.”
Dan keharaman ini dimutlakkan pada mayit yang terbunuh dalam peperangan membela kalimat Allah. Maka status mereka ini adalah “syahid dunia dan akhirat”. Adapun orang yang terbunuh di dalam medan perang, tetapi dengan niat membela negara, ingin menunjukkan keberanian, mengharapkan harta, ataupun karena riya’, maka mereka dihukumi “syahid dunia” saja. Dan orang yang mati karena dibunuh secara zalim, tenggelam, terbakar, atau penyakit yang ada dalam perutnya, maka mereka “syahid di akhirat” saja.
Dari pernyataan tersebut, kita memahami bahwa ada 3 kategori syahid.
Pertama: Syahid dunia dan akhirat
Yaitu orang yang mati di medan perang melawan orang kafir dengan niat ingin meninggikan kalimat Allah.
Kedua: Syahid dunia saja
Yaitu orang yang mati di medan perang melawan orang kafir, namun niatnya selain karena Allah.
Untuk dua kategori pertama dan kedua, maka mereka diperlakukan di dunia ini sebagaimana orang yang mati syahid, yaitu tidak disalatkan dan juga tidak dimandikan. Ini berdasarkan hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وأمرَ بدَفنِهِم بدمائِهِم ولم يصلِّ علِيهِم ولم يُغسَّلوا
“Diperintahkan (untuk orang yang terbunuh di perang Uhud) untuk menguburkan mereka bersama darah-darah mereka, dan mereka tidak disalatkan dan tidak dimandikan.” (HR. Bukhari)
Jika seseorang tersebut berperang melawan orang kafir, namun niatnya bukan untuk meninggikan kalimat Allah, maka tetap dihukumi syahid dunia, tidak disalatkan dan tidak dimandikan. Akan tetapi di akhirat, dia tidaklah dihukumi syahid sebagaimana orang yang syahid di jalan Allah yang dipersaksikan surga atas mereka.
Ketiga: Syahid akhirat saja
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشهداء خمسة: المطعون والمبطون والغريق والشهيد في سبيل الله
“Syuhada ada lima: (1) orang yang mati karena wabah Tha’un, (2) orang yang mati karena sakit perut, (3) orang yang mati tenggelam, (4) orang yang mati karena tertimpa reruntuhan bangunan, dan (5) orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syekh Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhus Shalihin (5: 387) menjelaskan, “Adapun syuhada yang disebutkan pada hadis di atas, mereka adalah syahid di akhirat, bukan syahid di dunia. Oleh karena itu, mereka tidak sama dengan orang yang terbunuh di jalan Allah. Akan tetapi, mereka adalah syuhada di dunia dikarenakan kedudukan mereka atas amal-amal mereka, yakni orang yang mati karena tha’un, sakit perut, tenggelam, orang yang tertimpa reruntuhan bangunan, dan orang yang terbunuh di jalan Allah (namun bukan dalam perang melawan orang kafir, -pent).”
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan di dalam Syarh Riyadhus Shalihin (5: 388), “Karena setiap kematian manusia dihukumi berdasarkan keadaan seseorang tersebut ketika meninggal, maka dia syahid. Akan tetapi, kita tidak memastikan hal tersebut karena permasalahan balasan maupun hukuman di akhirat tidak bisa di-qiyas-kan. Oleh karena itu, selain syuhada yang terbunuh di medan perang di jalan Allah, (status) mereka syahid, tetapi syahid di akhirat. Juga mereka yang mati di jalan Allah dan tidak terbunuh ketika perang (misalnya, meninggal ketika perang sudah selesai, -pent), seperti seseorang yang keluar bersama mujahidin dan mati ketika masih di perjalanan, maka mereka juga syuhada, tetapi syahid di akhirat. Adapun di dunia, mereka tetap dimandikan, dikafani, dan disalatkan, kemudian dikuburkan bersama dengan manusia lainnya.”
Syahid dunia dan akhirat
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di perang Uhud,
أرأيت إن قتلت فأين أنا
“Apakah engkau melihat, jika aku mati, maka di manakah aku?”
قال: في الجنة
“(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjawab, “Di surga.”
فألقى تمرات كن في يده، ثم قاتل حتى قتل
“Kemudian dia melemparkan beberapa kurma yang ada di tangannya, lalu berperang, hingga akhirnya terbunuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syekh Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan faidah-faidah dalam hadis ini di dalam kitabnya Syarh Riyadhus Shalihin (2: 26), bahwasanya orang yang terbunuh di jalan Allah, maka dia di surga. Akan tetapi, siapa saja yang dimaksud orang-orang yang terbunuh di jalan Allah? Orang yang terbunuh di jalan Allah adalah yang terbunuh karena perang untuk meninggikan kalimat Allah, bukan karena membela tanah air, bukan karena ingin disebut pemberani, bukan pula karena riya’. Orang yang terbunuh hanya karena ingin kalimat Allah yang tinggi.
Adapun orang yang terbunuh karena membela tanah air, misalnya yang terbunuh karena mempertahankan negara Arab, maka mereka bukanlah syuhada. Hal itu dikarenakan peperangan untuk membela negara bukan termasuk perang di jalan Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apakah orang yang berperang karena membela negara, agar disebut pemberani, dan ingin dilihat kedudukannya, apakah itu termasuk berperang di jalan Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi, maka itulah berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syuhada yang terbunuh di jalan Allah adalah syuhada yang paling tinggi kedudukannya dibandingkan dengan syuhada jenis yang lain, mereka adalah syuhada di dunia dan di akhirat. (Lihat Syarh Riyadush Shalihin, 5: 385)
Allahu a’lam.
Baca juga: Siapakah Syahidah Pertama dalam Islam?
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Al-Malibary, Ahmad bin Abdul Aziz al-Mi’bari. Fathul Mu’in bisy Syarhi Qurratu ‘Ain bi Muhimmatid Din. Cetakan Pertama. Dar Ibnu Hazm, tahun 1439.
‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Syarh Riyadhus Shalihin Li Ibni Utsaimin. Al-Maktabah asy-Syamilah. Tahun 1424.