Mendekati perayaan Natal, kita akan banyak melihat pemandangan serupa di toko, pusat perbelanjaan, bandara, dan taksi. Banyak orang merayakan suasana Natal dengan mengenakan pakaian Santa Claus berwarna merah. Namun, hal ini memunculkan keprihatinan, terutama ketika aksesoris tersebut dikenakan oleh sebagian umat Muslim, termasuk yang mengenakan jilbab. Apakah hal ini bisa disebut toleransi?
Toleransi yang terjadi saat ini sering kali justru berasal dari inisiatif non-Muslim. Mereka, misalnya, memberikan ucapan selamat kepada kita saat Idulfitri dengan harapan agar kita juga membalasnya di momen perayaan hari besar mereka. Prinsip seperti ini pernah ditawarkan oleh kaum kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa lalu. Saat itu, tokoh-tokoh seperti Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnul Muthallib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajukan tawaran, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami menyembah Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) menyembah Tuhan kami? Kita saling bertoleransi dalam persoalan agama masing-masing. Jika ada ajaran agamamu yang kami anggap lebih baik dari ajaran kami, kami akan mengikutinya. Sebaliknya, jika ada ajaran kami yang lebih baik dari ajaran agamamu, engkau juga harus mengikutinya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 10: 140-141)
Menjaga syariat Islam adalah hal yang sangat penting, terutama karena berkaitan langsung dengan akidah. Sebagai seorang Muslim, kita dilarang menggunakan atribut agama lain dalam bentuk apa pun. Contohnya, ketika seorang sahabat Nabi memakai salib emas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk segera melepaskannya. Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَفِيْ عُنُقِيْ صَلِيْبٌ مِنْ ذَهَبٍ, فَقَالَ: ياَ عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذاَ الْوَثَنَ
“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan (memakai) salib emas di leherku. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Adi, buanglah berhala ini darimu!’” (HR. At-Tirmidzi no. 3095, dihasankan oleh Al-Albani)
Ada yang berpendapat, “Topi Sinterklas bukan ajaran Kristen, melainkan hanya dongeng dari masa lalu dan bukan simbol agama Kristen.”
Namun, kita harus melihat konteks saat ini. Pada masa sekarang, topi Sinterklas identik dengan perayaan Natal. Penggunaannya jelas menunjukkan partisipasi dalam menyambut hari raya Natal. Pertanyaannya, apakah seorang Muslim seharusnya menyambut Natal?
Islam melarang umatnya mendekati, apalagi ikut serta dalam perayaan orang kafir. Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah mengingatkan agar menjauhi perayaan mereka,
اجتنبوا أعداء الله في عيدهم
“Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka.” (HR. Baihaqi)
Larangan ini mencakup segala bentuk partisipasi, termasuk memakai atribut agama mereka atau mengucapkan selamat, yang pada masa itu bahkan memerlukan kehadiran langsung.
Tidak memakai topi Sinterklas atau atribut lain tidak merusak toleransi. Toleransi sejati adalah membiarkan mereka melaksanakan ibadah tanpa gangguan, tetapi kita tidak ikut merayakan atau membantu dalam bentuk apa pun. Allah Ta’ala berfirman,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
Sebagai Muslim, kita harus berpegang teguh pada prinsip ini, menjaga kemurnian akidah, dan tidak mencampuradukkan keyakinan kita dengan tradisi atau hari raya agama lain.
Baca juga: Pandangan Islam dalam Merayakan Natal dan Tahun Baru
***
Penulis: Rizka Fajri Indra
Artikel Muslimah.or.id
Referensi: