Apa itu wasiat?
Dalam kamus Lisan al-‘Arab, wasiat dikaitkan dengan seseorang yang hendak meninggal. Yaitu, apabila seseorang mendekati ajalnya, dan ia berpesan kepada anak, istri, ataupun saudaranya untuk melakukan sesuatu setelah ia wafat.
Pada kamus Mu’asharah, ditemukan makna dari wasiat, yakni ketika seseorang meminta kepada orang lain untuk melakukan sesuatu yang sifatnya sangat dianjurkan untuk dilaksanakan.
Pada intinya, wasiat berkaitan dengan pesan dari seseorang kepada orang selainnya, untuk melakukan suatu perbuatan, atau menjaga sesuatu, seperti keimanan dan ketakwaan, atau harta yang ia miliki.
Siapakah Harun Ar-Rasyid?
Beliau adalah Ibn Muhammad al-Mahdi Ibn Manshur al-‘Abbasiy. Beliau adalah khalifah (pemimpin) yang kelima pada masa dinasti Abbasiyah. Beliau dikenal sebagai seorang yang pandai dalam hal hadis, fikih, serta ilmu adab.
Isi wasiat Harun Ar-Rasyid kepada Ahmar
“يا أحمر، إن أمير المؤمنين قد دفع إليك مهجة نفسه، وثمرة قلبه، فصيِّر يدك عليه مبسوطة، وطاعته لك واجبة، فكن له بحيث وضعك أمير المؤمنين، أَقْرِئه القرآن، وعرِّفه الأخبار، وروِّه الأشعار، وعلمه السنن، وبصِّره بمواقع الكلام وبَدْئِه، وامْنعه من الضحك إلا في أوقاته، وخذه بتعظيم مشايخ بني هاشم إذا دخلوا عليه، ورَفْع مجالس القوَّاد إذا حضروا مجلسه، ولا تَمُرَّنَّ بك ساعة إلا وأنت مُغْتَنِم فائدة تفيده إياها، من غير أن تُحْزِنه، فتميت ذهنه، ولا تُمْعِن في مسامحته، فيستحلِيَ الفراغ ويأْلَفه، وقَوِّمُه ما استطعت بالقرب والملاينة، فإن أباهما فعليك بالشدة والغِلْظَة”.
“Wahai Ahmar, sesungguhnya amirul mukminin telah memberikan belahan jiwanya serta buah hatinya kepadamu. Maka julurkanlah tanganmu kepadanya (kepada anakku). Dan taat kepadamu adalah sebuah keharusan baginya. Jadilah engkau baginya sebagaimana aku telah memberikanmu tugas (sebagai gurunya). Bacakanlah untuknya Al-Qur’an, kabarkan kepadanya kabar-kabar (kabar tentang Arab dan selainnya), riwayatkanlah untuknya syair-syair, ajarkanlah ia sunnah Nabi, tunjukkan padanya bagaimana itu kalam (kalimat) yang baik dan bagaimana cara memulai untuk membuatnya (ajarkan ia ilmu balaghah dan naqd).
Jangan biarkan ia tertawa, kecuali pada waktunya tertawa. Ajarkanlah ia untuk menghormati para syekh atau orang-orang yang dihormati dari Bani Hasyim jika mereka bertemu, serta meninggikan majelis para panglima jika ia hadir dalam majelis tersebut. Dan jangan sampai terlewat meski sebentar, kecuali engkau memberikan sebuah faidah padanya, tanpa membuatnya sedih. Karena hal-hal sedih itu bisa mematikan (melemahkan) pikirannya. Jangan berlebihan dalam memberikan ia kelonggaran, agar ia tidak punya waktu luang dan tidak terbiasa berleha-leha. Gunakanlah cara yang lembut (dalam mendidiknya), dan apabila dengan cara itu tidak berhasil, maka barulah menggunakan cara yang tegas lagi keras.”
Hikmah dari wasiat Harun Ar-Rasyid kepada guru dari Anaknya
(1) Harun ar-Rasyid tidak serampangan dalam memilih guru bagi anaknya. Nama asli dari guru anaknya -Ahmar- adalah Ali bin Mubarak al-Ahmar. Beliau adalah orang Kisai yang dikenal beradab dan amanah, cerdas dalam bidang nahwu, serta banyak hafalannya. Beliau wafat pada tahun 206 atau 207 H.
(2) Harun ar-Rasyid tidak ragu dalam membanggakan anaknya. Sebagaimana ia mengatakan bahwa anaknya adalah belahan jiwanya.
(3) Mendorong Ahmar (guru) untuk mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan akhlak yang baik kepada anaknya.
(4) Memberi kesempatan dan mempercayakan kepada gurunya untuk mendidik anaknya.
(5) Menjelaskan apa saja yang harus diajarkan kepada anaknya secara berurutan. Dimulai dari belajar Al-Qur’an, sejarah, dan syair, lalu menghafalkannya. Menjelaskan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, serta ilmu balaghah dan naqd. Tujuan dari mempelajari ilmu-ilmu tersebut, agar anaknya memiliki keterampilan berbahasa yang baik.
(6) Ia juga memberi isyarat agar gurunya mendidik anaknya dengan adab. Yakni dengan membiasakan anaknya bersungguh-sungguh, tidak banyak tertawa, kecuali pada saatnya bisa tertawa, dan menghormati orang lain.
(7) Beliau juga menjelaskan metode pendidikan yang hendaknya dilakukan oleh Ahmar kepada anaknya, yaitu dengan tidak berlebihan dalam menceritakan peristiwa menyedihkan. Tidak diperbolehkan pula untuk memberikan anaknya waktu yang sangat longgar selama masa pembelajaran. Agar anaknya tidak terbiasa memiliki waktu luang dan bersantai. Selain itu, Ahmar juga diwasiatkan untuk mengutamakan cara yang halus dan lembut dalam mendidik anaknya. Namun, jika belum memberikan hasil yang maksimal, ia diperbolehkan menggunakan cara yang tegas.
Itulah hikmah yang bisa kita ambil dan manfaatkan, serta kita implementasikan dalam mendidik anak kita. Merupakan hal yang amat penting bagi kita -para orang tua- untuk bisa memilihkan guru terbaik bagi anak kita. Bagi guru dan juga para orang tua, diperbolehkan untuk memiliki kesepakatan dalam hal metode, batasan, serta materi pembelajaran yang akan dilaksanakan, dan hal ini juga memiliki dampak positif bagi kedua belah pihak, yakni orang tua dan guru pembimbing.
Semoga Allah mudahkan dan menjaga kita agar tetap berada di atas kebenaran.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Tips Memilih Pasangan yang Saleh atau Salehah
***
Penulis: Evi Noor Azizah
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Shafwat, A.Z. Jamharatul Khuthbatil ‘Arabi fil’ Ashril ‘Arabiyatiz Zahirati. 2009. Maktabah Al-Ilmiah: Kairo.
Ahmad, A dkk. Silsilatu Ta’limil Lughatil ‘Arabiyah al-Adab. 2004. Jamiah Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah: Riyadh.