Ramadan meninggalkan jejak amal ibadah yang kita lakukan selama sebulan penuh. Namun, pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, apakah semua amalan kita diterima oleh Allah? Apakah kita mampu mempertahankan semangat ibadah yang telah kita bangun selama bulan suci? Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya mengundang kita untuk terus berusaha menjadi hamba yang lebih baik setelah Ramadan, bukan sekadar menikmati suasana kebersamaan saat Idulfitri lalu kembali kepada kebiasaan lama.
Para ulama telah memberikan nasihat berharga tentang bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap setelah Ramadan. Tiga aspek utama yang sering mereka tekankan adalah refleksi diri atau muhasabah, menjaga kesinambungan amal ibadah, dan mengamalkan amalan khusus pasca-Ramadan. Semua ini bertujuan agar kita tidak termasuk golongan yang hanya beribadah dengan semangat sesaat, melainkan menjadi pribadi yang istikamah dalam ketaatan.
Muhasabah
Setelah melewati Ramadan, seorang muslim seharusnya tidak merasa puas hanya karena telah banyak beribadah. Justru, inilah saat yang tepat untuk melakukan muhasabah atau refleksi diri. Para ulama salaf mengajarkan bahwa amal yang diterima bukan hanya yang dikerjakan dengan semangat, tetapi juga yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan sesuai tuntunan syariat.
Muhasabah ini sangat penting karena ada kemungkinan amal yang kita lakukan belum tentu diterima oleh Allah. Sebagaimana Allah berfirman,
وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)
Allah menggambarkan sifat orang-orang yang khawatir jika amal mereka tidak diterima meskipun mereka telah banyak berbuat kebaikan. Para sahabat dan tabi’in pun merasakan kekhawatiran ini, sehingga mereka tidak cepat merasa puas setelah menjalankan ibadah.
Karena itu, setelah Ramadan, kita harus terus memeriksa niat dan kualitas ibadah kita. Apakah kita sudah beribadah dengan ikhlas? Apakah ada riya atau kesombongan yang menyelinap dalam hati kita? Semua pertanyaan ini akan membantu kita dalam meningkatkan kualitas ibadah kita ke depan.
Menjaga konsistensi ibadah
Salah satu tanda bahwa ibadah kita selama Ramadan diterima adalah keberlanjutan amalan baik setelahnya. Ramadan bukanlah bulan untuk berubah sesaat, melainkan kesempatan untuk membentuk kebiasaan baru yang lebih baik. Oleh karena itu, para ulama menekankan pentingnya menjaga keistikamahan dalam beribadah setelah Ramadan berakhir.
Di antara ibadah yang harus dijaga adalah salat berjamaah, membaca Al-Qur’an, zikir, dan sedekah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاعْلَمُوا أَنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Dan ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Muslim no. 2818)
Karenanya, menjaga kesinambungan ibadah lebih utama dibandingkan melakukan banyak ibadah tetapi hanya dalam waktu tertentu.
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّتِى نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَٰثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَٰنَكُمْ دَخَلًۢا بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِىَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ ٱللَّهُ بِهِۦ ۚ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ مَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (QS. An-Nahl: 92)
Allah memperingatkan agar kita tidak seperti seorang wanita yang menguraikan benang setelah ia merajutnya dengan kuat. Ayat ini sering ditafsirkan sebagai peringatan agar kita tidak kembali kepada kebiasaan buruk setelah membangun amalan baik. Ramadan adalah momen di mana kita telah merajut ibadah dengan baik, dan kita harus mempertahankannya, bukan malah justru menghancurkannya setelah bulan suci berlalu.
Maka, kunci dari keistikamahan adalah menetapkan target yang realistis dan terus berusaha memperbaiki diri. Jika selama Ramadan kita mampu salat malam setiap hari, setidaknya kita bisa melanjutkannya dengan salat malam seminggu dua atau tiga kali. Jika kita mampu membaca Al-Qur’an satu juz sehari, kita bisa tetap membaca beberapa halaman setiap harinya. Dengan demikian, kita tidak mengalami kemunduran dalam ibadah.
Baca juga: Ketika Jenuh Menuntut Ilmu
Amalan khusus pasca-Ramadan
Selain menjaga kesinambungan ibadah, ulama salaf juga menganjurkan beberapa amalan khusus yang memiliki keutamaan besar setelah Ramadan. Salah satunya adalah puasa enam hari di bulan Syawal, yang disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ibadah yang pahalanya setara dengan puasa sepanjang tahun. Dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshariy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)
Puasa Syawal bukan sekadar amalan sunah biasa, tetapi merupakan bukti bahwa seseorang benar-benar ingin melanjutkan kebaikan setelah Ramadan. Selain puasa Syawal, amalan lain yang sangat dianjurkan adalah salat malam atau qiyam al-layl. Ibadah mulia ini adalah kebiasaan yang tidak hanya dilakukan selama Ramadan, tetapi juga sepanjang tahun oleh orang-orang saleh.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa salat malam adalah ibadah yang paling utama setelah salat wajib. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ : شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ ، وَأفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ : صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah bulan Allah Muharram. Dan salat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim, no. 1163)
Tak lupa, memperbanyak zikir dan membaca Al-Qur’an juga sangat ditekankan oleh para ulama. Kebiasaan ini seharusnya tidak hanya dilakukan saat Ramadan, tetapi juga setelahnya. Jika seseorang mampu menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari hidupnya sehari-hari, maka ia akan mendapatkan ketenangan dan keberkahan dalam hidupnya.
Ramadan sebagai titik awal, bukan akhir
Setelah sebulan penuh beribadah di bulan Ramadan, apakah kita akan kembali ke kebiasaan lama atau justru terus melanjutkan amalan baik? Ini adalah pertanyaan penting yang harus kita jawab dengan tindakan nyata. Ramadan bukanlah tujuan akhir, melainkan titik awal perjalanan kita menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih dekat dengan Allah.
Para ulama salaf telah memberikan nasihat yang jelas bahwa setelah Ramadan, kita harus melakukan muhasabah untuk menilai amal kita, menjaga keistikamahan agar tidak kembali ke kebiasaan buruk, dan mengamalkan amalan sunah yang dianjurkan. Semua ini bertujuan agar kita menjadi pribadi yang lebih bertakwa, bukan sekadar menjalankan ibadah musiman.
Jika kita ingin mengetahui apakah Ramadan kita benar-benar berarti, lihatlah bagaimana kita setelahnya. Apakah kita tetap menjaga salat berjamaah? Apakah kita masih rajin membaca Al-Qur’an dan berzikir? Jika jawabannya ya, maka alhamdulillah, kita berada di jalan yang benar. Namun, jika kita merasa kendor, inilah saatnya untuk memperbaiki diri dan kembali kepada Allah.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang diberi taufik untuk terus istiqamah dalam ibadah. Semoga amal kita diterima dan menjadi pemberat timbangan kebaikan di akhirat kelak. Aamiin.
Baca juga: Belajar Ikhlas dari Ibadah Puasa
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel Muslimah.or.id