Sebagian dari kita mungkin memiliki masa lalu yang kelam. Hari-hari yang diliputi dengan dosa dan kelalaian.
Terbesit di dalam hati, keinginan untuk memperbaiki itu semua. Mulai ingin berbenah, berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi, mulai dari mana?
Kebingungan itu pun muncul. Resah terasa di dalam dada, sebab merasa telah bersalah di setiap lini.
Tak jarang, hal ini membuat sebagian orang mengurungkan niatnya untuk berubah menjadi lebih baik. ‘Sudahlah’ katanya, ‘mungkin sudah takdirnya aku begini’.
Padahal Allah tabaraka wa ta’ala telah melarang kita untuk bersikap putus asa. Allah ta’ala berfirman di dalam Al-Quran,
لَا تَا۟يْـَٔسُوا۟ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْقَوْمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Pintu untuk bertobat senantiasa terbuka lebar, selama seseorang itu belum berada di ambang kematian dan matahari belum terbit dari tempatnya terbenam. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala sangat menyukai dan bergembira dengan tobat yang dilakukan oleh seorang hamba.
Allah ta’ala berfirman di dalam Al-Quran,
وَلَيْسَتِ ٱلتَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ إِنِّى تُبْتُ ٱلْـَٰٔنَ
“Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, “Sesungguhnya saya bertobat sekarang.” (QS. An-Nisa: 18)
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Shafwan bin Assal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِنَّ لِلتَّوْبَةِ بَابًا عَرْضُ مَا بَيْنَ مِصْرَاعَيْهِ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، لَا يُغْلَقُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya tobat itu memiliki sebuah pintu yang lebar, kedua tepinya adalah sejauh antara timur dan barat. Ia tidak ditutup hingga matahari terbit dari tempatnya terbenam.” (Al–Mu’jam Al–Kabir, 8: 65, no. 7383 dan Shahih Al–Jami’, no. 2177)
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, sebuah hadis dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِيْنَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ ، وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ هُوَ بِهَا قَائِمَةٌ عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ – مِنْ شِدَّةِ الفَرَحِ – : اَللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Sungguh Allah lebih gembira terhadap tobat hamba–Nya ketika bertobat kepada–Nya, dibanding salah seorang kamu yang berada di atas hewan tunggangannya di negeri tak berpenghuni. Lalu hewan itu lepas darinya, sementara di atasnya ada makanan dan minumannya. Dia pun telah putus asa darinya. Kemudian dia mendatangi sebatang pohon dan berbaring di bawah naungannya. Dia telah putus asa untuk mendapatkan hewan tunggangannya. Ketika dia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangannya telah berdiri di pinggirnya, maka dia mengambil kekangnya kemudian berkata -dengan kegembiraan meluap-, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb–’ Dia keliru karena terlalu gembira.” (HR. Muslim no. 2747)
Memperbaiki masa lalu dan masa depan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Waktu yang lalu dapat diperbaiki dengan cara bertobat, menyesal, dan beristigfar. Melakukan semua itu tidak akan membuat anda merasa payah, lelah, atau berat. Sebab, perbuatan-perbuatan tersebut tak lebih dari sekedar amalan hati. Sedangkan waktu yang akan datang dapat diperbaiki dengan mencegah diri dari segala perbuatan dosa. Mencegah diri dari perbuatan dosa bukan merupakan perbuatan berat bagi anda, sebab hal ini dapat dilakukan dengan sekadar meninggalkan dan melepaskannya saja, tanpa melakukan suatu perbuatan dengan anggota badan. Dalam hal ini, yang diperlukan hanyalah tekad dan niat yang kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa. Tekad dan niat yang kuat inilah yang akan membuat badan, hati, dan batin anda merasa tentram ketika tidak melakukan dosa.
Dengan demikian, masa lalu dapat diperbaiki dengan melakukan tobat, sedangkan masa depan dapat diperbaiki dengan mencegah diri dari dosa, serta meneguhkan hati dan mengokohkan niat untuk meninggalkannya.” (Fawaidul Fawaid, hal. 469-470)
Lebih lanjut, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Orang yang mencari jalan menuju Allah dan negeri akhirat – bahkan orang yang ingin menjadi pakar dalam sebuah disiplin ilmu, ahli dalam sebuah profesi, atau orang yang ingin menjadi pemimpin – harus bersikap berani dan ksatria, serta harus mampu mengendalikan angan-angannya. Ia tidak boleh mudah terpedaya oleh daya khayalnya dan mengabaikan segala hal yang bukan tujuan hidupnya. Ia juga harus menyukai segala sesuatu yang membawa kepada tujuannya, mengetahui cara bagaimana sampai kepada tujuannya, dan memahami jalur-jalur pintas untuk meraih tujuannya.
Pencari kebenaran harus selalu bersemangat dan berhati teguh, serta tidak menyimpang dari tujuannya hanya karena celaan dan kritikan orang lain. Ia harus lebih banyak diam serta berpikir, tidak terlena atau menyimpang hanya karena merasakan manisnya pujian atau pedihnya kecaman, mempersiapkan segala hal yang dibutuhkannya dan yang menjadi penunjang tujuannya, serta tidak cemas terhadap berbagai rintangan yang menghadang.
Slogan yang menjadi ciri khas orang itu adalah kesabaran; bahkan istirahatnya adalah kerja keras. Ia pun menyukai akhlak yang mulia, disiplin dalam menjaga waktu, waspada dalam pergaulan – bagaikan seekor burung yang mencabut sebiji gandum di tengah-tengah manusia, mawas diri dengan harap dan cemas, bersikeras untuk memberikan hasil istimewa atau berbagai manfaat kepada sesamanya, tidak menggunakan inderanya untuk hal yang tidak bermanfaat, dan tidak membiarkan bisikan hatinya tentang alam semesta bebas lepas tanpa kendali.
Sungguh, pangkal kekuatan untuk melakukan semua itu adalah meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan mengabaikan rintangan yang menghadang anda meraih cita-cita.” (Fawaidul Fawaid, hal. 479-480)
Baca juga: Belajar Memperbaiki Diri
Hari-hari adalah bekal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang manusia banyak tertipu dengannya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412, At-Tirmidzi no. 2304, Ibnu Majah no. 4170, Ahmad 1: 258, Ad Darimi 2: 297, Al-Hakim 4: 306, dan lainnya, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu)
Ath-Thibi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan seorang pedagang yang memiliki modal, ia mengharapkan keuntungan dengan selamatnya modalnya. Dan caranya yaitu dengan memilih orang yang bermuamalah dengannya dan selalu jujur serta pandai agar ia tidak tertipu. Kesehatan dan waktu luang adalah modal, dan sepatutnya seseorang bermuamalah dengan Allah dengan iman, berjuang melawan hawa nafsu dan musuh agama, agar ia beruntung di dunia dan akhirat.” (Fathul Bari bi Syarh Shahih Al–Bukhari, 11: 230)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Kondisi manusia berbeda-beda dalam menyikapi hari-hari kehidupannya. Demi Allah, sebenarnya hari-hari itu adalah waktu yang anda lewati guna mengumpulkan bekal untuk akhirat; apakah bekal itu akan mengantarkan anda ke surga atau justru ke neraka.
Jika anda menjadikan waktu tersebut sebagai jalan menuju Rabb subhanahu wa ta’ala, maka anda telah memperoleh kebahagiaan dan kemenangan terbesar di masa yang sangat singkat ini; masa yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan kehidupan abadi kelak.
Jika anda mengutamakan nafsu syahwat, kesenangan, kelalaian, dan permainan, maka waktu itu akan cepat sekali berlalu meninggalkan anda. Bahkan, kesudahannya berdampak kepedihan yang sangat dan abadi. Kepedihan dan penderitaan karena menuruti hawa nafsu itu melebihi penderitaan pada saat anda bersabar menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah, melebihi kesabaran dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah, serta melebihi kesabaran dalam menolak hawa nafsu untuk meraih kesenangan duniawi.” (Fawaidul Fawaid, hal. 470-471)
Kenali diri Anda
Dalam pepatah Arab dikatakan,
من عرف نفسه عرف ربه
“Siapa mengenali dirinya, niscaya akan mengenal Rabbnya.”
Karena jika seseorang benar-benar merenung, memikirkan dan meyakini bahwa dirinya merupakan milik Allah dan berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala; niscaya ia akan mengenal akan kesempurnaan Tuhannya, kemurahan, kedermawanan, kebaikan, dan rahmat-Nya.
Ia pun akan menyadari kelemahan dirinya, keterbatasannya, kebodohannya, dan betapa zalim dirinya terhadap dirinya sendiri selama ini, dengan melakukan berbagai maksiat, dosa, dan kelalaian.
Dia akan menempatkan dirinya sesuai kapasitasnya dan tidak melampaui batasannya. Sebaliknya, ia akan senantiasa menyanjung Rabbnya akan kesempurnaan-Nya. Perasaan cinta, takut, dan harapnya pun hanya akan tertuju pada Allah; Rabbnya yang telah berbaik hati padanya. Dan inilah hakikat dari ‘ubudiyyah atau penghambaan diri kepada Allah.
Maka saudaraku, mari perbaiki diri kita, bulatkan tekad dan kokohkan niat kita untuk meraih keridaan Allah tabaraka wa ta’ala. Kencangkan kesabaran kita selama perjalanan tersebut, sembari mengingat dan meyakini janji Allah,
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
Baca juga: Muslimah yang Percaya Diri
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Fiqih Doa dan Dzikir, Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, Penerbit Griya Ilmu, Cetakan Ketujuh Rabi’ul Awwal 1444/ Oktober 2022.
Fawaidul Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Pustaka Imam Asy Syafi’i Jakarta, Cetakan Kedua Dzulqa’dah 1434/ Oktober 2013.