Bismillah.
Salah satu asas kehidupan yang mesti dimengerti oleh setiap muslim ialah kebaikan akan diberikan oleh Allah dengan jalan ilmu agama. Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang agung ini merupakan kaidah penting untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Bahwa pemahaman dalam agama ini merupakan pintu gerbang kebaikan. Dengan ilmu inilah seorang hamba akan bisa mewujudkan tujuan hidupnya di alam dunia. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Bagaimana mungkin seorang manusia bisa mengenali hakikat dan tata-cara beribadah kepada Allah tanpa ilmu?! Oleh sebab itu, Allah memerintahkan manusia untuk berilmu dan memahami tauhid yang menjadi hikmah mereka diciptakan. Allah Ta’ala berfirman,
فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Dia…” (QS. Muhammad: 19)
Ilmu merupakan pondasi untuk segala ucapan dan amal perbuatan.
Saudaraku yang dirahmati Allah, setiap hari kita berhadapan dengan berbagai bentuk cobaan dan nikmat dari Allah. Terkadang kita mengalami kesulitan dan tertimpa musibah, walaupun itu terlihat kecil dan sepele. Akan tetapi ingatlah, bahwa dengan musibah itu Allah ingin menguji kesabaran dan keimanan kita kepada takdir-Nya. Di saat yang lain, kita disiram dengan berbagai karunia dan nikmat yang melimpah, untuk melihat bagaimana bentuk syukur kita kepada-Nya. Tidak jarang kita pun terjerumus dalam dosa yang menuntut kita untuk terus bertobat dan istigfar kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja untuk berkata, ‘Kami telah beriman’, kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah mereka orang-orang yang dusta.” (QS. al-’Ankabut: 2-3)
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
Amal yang terbaik adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu dikerjakan murni karena Allah, sedangkan benar maksudnya berada di atas sunah (mengikuti tuntunan Rasulullah). Inilah penafsiran dari para ulama salaf semacam Fudhail bin Iyadh rahimahullah.
Dengan demikian, salah satu tugas utama kita adalah memperbaiki hati agar ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya secara hanif…” (QS. al-Bayyinah: 5)
Baca juga: Muslimah yang Percaya Diri
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang hanif ialah yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari segala bentuk pujaan atau sesembahan selain-Nya. Orang yang hanif adalah orang yang ikhlas lagi bertauhid.
Segala bentuk amalan butuh keikhlasan. Tanpa keikhlasan maka amal-amal itu akan terbang sia-sia bagai debu yang beterbangan. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً
“Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23)
Sebanyak apa pun amal jika tidak ikhlas, maka tidak akan diterima oleh Allah.
Membersihkan hati dari kotoran riya’, ujub, dan syirik bukanlah perkara ringan. Karena itulah kita diajari untuk berdoa kepada Allah agar diteguhkan hatinya di atas agama ini dan diarahkan menuju ketaatan. Kita pun berdoa kepada Allah agar diberikan ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan hati adalah landasan segala bentuk amal kebaikan.
Para ulama menjelaskan bahwa amal-amal itu berbeda-beda tingkatan keutamaannya sesuai dengan apa-apa yang ada di dalam hati pelakunya berupa iman dan keikhlasan. Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niatnya, dan sebaliknya, betapa banyak amal besar justru menjadi kecil gara-gara niatnya. Oleh karena itu, para ulama terdahulu begitu bersemangat dalam membersihkan hatinya demi mencapai derajat ikhlas. Mereka berkata, “Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat sebagaimana perjuangan untuk mencapai ikhlas.”
Di antara bentuk perjuangan hati adalah menempa sifat sabar. Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi segenap anggota badan. Sabar dalam melaksanakan perintah Allah. Sabar dalam menjauhi maksiat. Sabar dalam menghadapi musibah. Inilah tiga bentuk kesabaran yang wajib untuk kita terapkan dalam hidup keseharian. Untuk menimba ilmu dibutuhkan kesabaran. Untuk mengamalkan ilmu pun perlu kesabaran. Bahkan untuk berdakwah juga kita harus banyak bersabar. Sabar yang terpuji ini apabila dilakukan ikhlas karena Allah, berada di atas syariat Allah, dan dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dengan bekal sabar dan keyakinan akan diraih derajat kepemimpinan/pribadi teladan dalam agama.”
Lebih luas lagi bentuk perbaikan yang urgen untuk kita lakukan adalah perbaikan akidah dan keimanan. Akidah ini mencakup segala perkara yang wajib diyakini oleh seorang muslim. Ia mencakup rukun-rukun iman dan perkara-perkara mendasar di dalam agama. Betapa banyak kerancuan dan penyimpangan akidah yang bercokol di tengah masyarakat Islam saat ini. Di antara bentuk kerusakan itu adalah meragukan kebenaran Islam. Padahal, Allah berfirman dengan tegas,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran : 85)
Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar kenabianku seorang pun dari umat ini; apakah dia itu beragama Yahudi atau Nasrani lantas dia tidak mau beriman dengan ajaran yang aku bawa kecuali dia pasti termasuk dari golongan penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن مات يشركُ باللهِ شيئًا دخل النارَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata,
مَن مات لا يشركُ باللهِ شيئًا دخل الجنةَ
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, lalu meninggal dalam keadaan musyrik, maka dia termasuk penghuni neraka secara pasti. Sebagaimana barangsiapa yang beriman kepada Allah (baca: bertauhid) dan meninggal dalam keadaan beriman (baca: tidak melakukan pembatal keislaman), maka dia termasuk penghuni surga, walaupun dia disiksa -terlebih dulu- di dalam neraka.” (lihat al-Kaba’ir cet. Dar al-‘Aqidah, hal. 11)
Ilmu akidah adalah ilmu yang sangat penting dalam memperbaiki umat manusia. Kebutuhan hamba terhadap ilmu akidah ini di atas segala kebutuhan. Keterdesakan mereka terhadapnya di atas segala perkara yang mendesak. Karena tidak ada kehidupan bagi hati, tidak ada ketentraman bagi jiwa kecuali dengan pengenalan kepada Rabbnya, sesembahannya, yaitu Dzat yang telah menciptakan dirinya. Hal itu akan terwujud dengan mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya. Dengan demikian, seorang hamba akan lebih mencintai Allah di atas kecintaan kepada selain-Nya dan dia pun akan senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dan tidak menujukan ibadah kepada selain-Nya (lihat keterangan Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah dalam Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 69)
Di antara fenomena yang sangat memprihatinkan di masa kini adalah banyaknya da’i yang kurang memperhatikan perkara akidah. Bahkan sebagian mereka terkadang mengatakan, “Biarkan saja manusia dengan akidah mereka! Kalian tidak perlu menyinggungnya! Yang penting bersatu, jangan suka berpecah-belah! Kita bersatu dalam apa-apa yang kita sepakati dan kita saling memberi toleransi dalam hal-hal yang kita perselisihkan.”
Demikian kurang lebih isi ungkapan mereka. Padahal tidak ada persatuan dan kekuatan kecuali dengan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah terutama dalam hal-hal akidah yang notabene merupakan pondasi agama (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 7)
Baca juga: Ikhlas dan Jangan Berbangga Diri
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslimah.or.id