Hal terpenting dalam ibadah bukanlah tentang banyaknya amal ibadah, melainkan bersihnya ibadah dari campuran atau noda yang dapat menghapuskan nilai ibadah tersebut yang dapat menyebabkan Anda tidak mendapatkan ganjaran apa-apa melainkan lelah semata. Kalimat ini bukan berarti menafikan baiknya jika kuantitas amal ibadah seorang hamba banyak, akan tetapi yang ideal adalah banyaknya amal disertai dengan kualitas yang baik pula.
Waspadalah! Jangan sampai terkecoh dengan amal yang telah Anda lakukan karena Allah-lah yang telah memberi Anda taufik untuk dapat melakukan segala amal tersebut. Sesungguhnya Allah Tabaraka wata’ala melihat niat dan motivasi seseorang dalam beramal. Dan Allah dengan kekuasaan-Nya yang agung hanya menghisab seseorang sesuai dengan kadar niatnya.
Waspadalah! Jangan sampai Anda mencela pelaku maksiat karena kemaksiatannya atau pelaku dosa karena dosa yang telah ia lakukan karena Allah Tabaraka wata’ala tidak menyukai orang yang ujub dengan amalnya. Sebuah dosa yang karenanya Anda merasa hina di sisi Allah lebih Allah cintai daripada ketaatan yang Anda merasa berjasa kepada Allah dan agama Allah. Dan erangan seseorang yang meminta ampun kepada Allah lebih Allah cintai daripada teriakan orang merasa berjasa kepada Allah dan agama-Nya. Amalan orang yang ujub tidak akan naik kepada Allah dan Allah tidak akan menerima amalnya. Tidak ada pintu yang lebih luas untuk bisa menghadap Allah Tabaraka wata’ala melainkan dari pintu menghinakan diri pada-Nya.
Apabila Anda mencela saudara Anda yang bermaksiat kepada Allah bisa jadi celaan Anda lebih jahat daripada maksiat yang telah saudara Anda lakukan dan dosa Anda lebih besar daripada dosanya karena bisa saja dosa tersebut mewariskan rasa hina pada dirinya di hadapan Allah Tabaraka wata’ala sehingga Allah membersihkan noda-noda kesombongan dan ujub dari hatinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mencela pelaku maksiat dalam sabdanya,
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكْمْ فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ (أَيْ وَلَا يُعَيِّرْ)
“Jika salah seorang budak perempuanmu berzina maka cambuklah ia sesuai ketentuan syariat dan jangan mencelanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi Yusuf ‘ash-shiddiq juga mencontohkan teladan yang baik ketika mengikrarkan maaf kepada saudara-saudaranya,
لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ
“Sejak hari ini aku tidak akan mencela kalian.” (Q.S Yusuf: 92)
Nabi Yusuf merupakan contoh pemaaf yang sejati, Ia memaafkan secara sempurna yaitu memaafkan tanpa mencela dan tidak mengungkit-ungkit kesalahan saudara-saudaranya.
Kewajiban kita kepada pelaku maksiat adalah; yang pertama, bersyukur dan memuji Allah atas nikmat yang Allah berikan kepada kita dan tidak Allah berikan kepadanya, sadari bahwa semuanya, termasuk terhindar dari suatu maksiat merupakan semata-mata karunia dari Allah. Kedua, menasihatinya. Tidak ada yang ketiga yaitu mencelanya.
Baca juga: Ikhlas Dalam Menuntut Ilmu
Allah Tabaraka wata’ala berbicara kepada seorang hamba yang sangat mengetahui tentang diri-Nya dan paling dekat dengan-Nya, yaitu nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلً
“Dan kalau Kami tidak meneguhkan (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (Q.S Al-Isra: 74)
Ayat di atas menunjukkan bahwa keteguhan hati dalam ketaatan semata-mata dari Allah Tabaraka wata’ala. Keikhlasan merupakan anugerah dan pemberian dari Allah yang Allah berikan kepada siapa yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Allah jadikan keikhlasan rahasia di dalam hati siapa yang Allah cintai dari kekasih-Nya.
Nabi Yusuf ash-shiddiq ‘alaihissalam berkata dalam rangka berdoa kepada Rabbnya,
وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.S Yusuf: 33)
Seseorang dapat selamat dari kemaksiatan karena Allah-lah yang memalingkan atau menghindarkan ia dari kemaksiatan. Semua urusan dan ketetapan di jagad raya berada di tangan Allah. Maka sama sekali tidak layak seseorang melihat kepada pelaku maksiat kemudian ia mencelanya karena kemaksiatannya dan pelaku dosa dicela karena dosanya. Sesungguhnya cambuk yang digunakan untuk memukul pelaku maksiat berada di tangan Allah dan tidak ada jaminan keamanan bahwa cambuk tersebut tidak akan digilirkan kepada Anda. Maka setiap orang wajib merasa hina di hadapan Rabb Tabaraka wata’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam banyak berdoa memohon keteguhan hati, padahal beliau adalah seorang utusan dan kekasih Allah,
قالت: كان أكثر دعاء رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك. قال: يا أم سلامة ليس آدمي إلا وقلبه بين أصبعين من أصابع الله، فمن شاء أقامه، ومن شاء أزاغه
“Ummu Salamah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah banyak berdoa dengan, ‘Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.’ Rasulullah bersabda, ‘Wahai Ummu Salamah, sungguh tidak ada satupun anak Adam melainkan hatinya berada di antara dua jari di antara jari-jemari Allah, jika Allah menghendaki untuk meluruskan hati tersebut akan Ia luruskan dan jika ia menghendaki untuk memalingkannya maka akan Ia palingkan” (HR. Tirmidzi dalam Ad-Da’awat, 90 nomor 3522. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Ash-shahih)
Aslinya hadits ini terdapat di dalam Shahih Muslim dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dengan lafaz,
اللهم مصرف القلوب صرف قلوبنا على طاعتك
“Wahai Dzat Yang Maha Memalingkan hati, palingkanlah hati kami dalam ketaatan pada-Mu.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga banyak bersumpah dengan,
لَا وَمُقَلِّبِ الْقُلُوبِ
“Tidak, demi Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati.” (HR. Bukhari)
Maka hendaknya kita juga mengamalkan doa di atas agar Allah karuniakan kepada kita hati yang selalu taat pada-Nya. Tidak ada jaminan seseorang dapat istiqamah hingga akhir hayatnya karena orang yang selamat adalah orang yang diselamatkan oleh Allah.
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (Q.S As-Saff: 5)
Seseorang yang menyadari bahwa kemudahan beribadah merupakan taufik dari Allah maka ia tidak akan merasa sombong dan ujub dengan amalnya sehingga ia tidak akan bermudah-mudahan mencela pelaku maksiat dan dosa, ia akan merasa hina dan menghambakan diri di hadapan Allah Tabaraka wata’ala.
Baca juga: Sudah Ikhlaskah Aku?
—
Referensi:
1. Wa Maadzaa Ba’da Ramadhaan hlm 4-6, Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sa’id Ruslan hafizhahullah, Khutbah Jum’at 1 Syawal 1431 H/ 10 September 2010 M di Mesir (http://www.rslan.org/kotob/matha_baad_ramadan.pdf)
2. Rekaman Risalah Wamadza Ba’da Ramadhan oleh ustadz Dr. Aris Munandar, S.S, M.P.I hafizhahullah Pertemuan ke-1 menit ke 00:00-27:08 (http://www.jogjamengaji.com/2019/02/risalah-wamaadza-bada-ramadhan-ustadz.html
Penulis: Atma Beauty Muslimawati
Artikel: Muslimah.or.id