Muhammad bin Hasan bin Ali At-Tirmidzi pernah mengungkapkan: “Hati itu ibarat raja, sementara seluruh anggota tubuh ibarat para budak. Masing-masing anggota tubuh mungkin saja mengerjakan berbagai urusan, namun tetap dengan kehendak hati. Hati itu sendiri bergerak sesuai dengan kehendak Allah. Tidak ada seorangpun yang bisa menjenguk hati orang lain. Allah berhak menghilangkan atau menanamkan segala sesuatu yang Dia kehendaki dalam hati seorang hamba. Bila dalam hati ada cahaya atau sinar tauhid, atau nilai-nilai ketaatan kepada-Nya, semua itu juga berasal dari Allah. Hatilah yang memikirkan semua itu, dari hati juga munculnya persoalan” (Nawadirul Ushuul Fi Ahaadiitsi Rasuul III:50).
Pondasi penting yang harus diperhatikan setiap mukmin adalah menjaga hati agar tetap dalam ketaatan pada Allah subhanahu wa ta’ala. Hati akan merasakan kebahagiaan hakiki ketika senantiasa menjalani hidup selaras dengan syariat-Nya. Ketika hati bersih, sehat dan selamat, niscaya amalan yang dilakukan akan berbuah kebajikan dunia dan akhirat. Orang yang hatinya berpenyakit atau berpaling dari kebenaran Islam maka tidak akan mengecap kebahagiaan hidup sejati meski secara secara dhahir, terlihat senang, hidup dalam kelimpahan materi, punya kedudukan dan dikagumi banyak orang. Hadits yang sangat masyhur, Rasulullaah shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
????? ??????? ??? ????????? ???????? ????? ???????? ?????? ????????? ??????? ? ??????? ???????? ?????? ????????? ??????? . ????? ?????? ?????????
“Ketahuilah bahwa diantara jasad ini terdapat segumpal daging, apabila baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa itu adalah hati”. (HR. Bukhori no.52 dan Muslim no. 1599 dari sahabat Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu).
Berkata Al-Imam Nawawi : “Dalam hadits ini terdapat penegasan bagi seseorang untuk berusaha dalam memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan” (Syarah Shahih Muslim, 6/33).
Kebahagiaan hati harus diupayakan agar hati tetap tumbuh subur dan bersemi dengan cahaya iman. Hati yang mudah menerima kebenaran yang dilandasi ilmu dan iman yang kokoh. Mengelola adalah proses pengendalian diri melalui ketaqwaan sebagai mediator utamanya. Mengetahui betapa Allah subhanahu wa ta’ala sangat mencintai orang hatinya suci. Inilah keuntungan besar kelak di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Firman-Nya:
?????? ??? ???????? ????? ????? ??????? ?????? ???? ????? ??????? ???????? ???????
“(Yaitu) dihari harta dan anak-anak laki-laki tidqk berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Qs. Asy-Syura’: 88-89).
Kebersihan hati ini tidak akan terwujud kecuali dengan membebaskan dari 5 perkara:
1. Syirik yang bertentangan dengan tauhid
2. Bid’ah yang bertentangan dengan As-Sunnah
3. Syahwat yang bertentangan dengan perintah
4. Kelalaian yang bertentangan dengan dzikir / ingat
5. Hawa nafsu yang bertentangan dengan ketulusan dan ikhlas
(Noktah-Noktah Dosa [terjemah], Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 174).
Dengan menjauhi penghalang di atas niscaya seorang hamba akan merasakan kebahagiaan hati. Hati yang selalu mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala, menetapi sunnahnya, menjauhi belenggu syahwat yang dilarang Islam, selalu berdzikir dan berupaya tidak terjebak pada hawa nafsu yang berseberangan dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.
Hati akan mekar bahagia ketika beriman pada qadha’ dan qadar. Menerima segala ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala dari perkara hati ini dalam kuasa-Nya, maka kita terus berdo’a agar hati ini tetap kokoh di atas tali Allah.
Dengan hati yang bening niscaya kaca pandang seorang mukmin akan terjaga, dia bisa membedakan antara kebenaran dan kebathilan serta mampu memilih yang terbaik untuk keselamatan akhiratnya. Dalam menghadapi berbagai persoalan dia akan berlaku arif dan tetap mengedepankan kemaslahatan akhirat. Mengembalikan segala perkara dunia dan akhirat hanya kepada pemilik hati yang sejati, Allah Rabbul ‘Izzati. “Yaa Rabbi… Jangan jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk..”
Referensi :
1. Nokhtah-Nokhtah Dosa (terjemah), Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, Darul Falah, Jakarta, 2001
2. Majalah Al-Fatwa, edisi 02 1435 H
3. Majalah Nikah, Volume 8, 1430 H
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Artikel Muslimah.or.id