Bulan Ramadan adalah bulan yang mulia. Bulan ketika rahmat Allah terbuka luas, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu .
Ramadan adalah musim ketaatan, yang hendaknya kita gunakan untuk memperbanyak bekal kepulangan, sebab ganjaran dan pahala dilipatgandakan.
Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Kitab yang mengandung petunjuk bagi manusia, yang menuntun mereka menuju keridaan Rabb semesta alam dan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan.
Di bulan Ramadan, kita melaksanakan ibadah puasa, menahan rasa lapar dan dahaga, hanya dengan niat mengharapkan wajah-Nya, untuk meraih kemenangan berupa surga yang telah dijanjikan.
Kendati demikian, sebagian dari kaum muslimin justru malah melakukan tradisi-tradisi yang menyimpang di dalamnya.
Mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur kesyirikan, seperti melakukan ritual mandi di tempat atau sungai tertentu, mengunjungi tempat-tempat yang keramat atau ‘berkah’, melakukan wisata spiritual (ziarah religius) dengan mengunjungi makam orang-orang yang dianggap wali, dan sebagainya.
Padahal kesyirikan adalah sebuah kezaliman yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Dan suatu hal yang amat sangat disayangkan, orang-orang yang melakukan tradisi-tradisi ini umumnya tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan tersebut adalah sebuah kesyirikan atau bahkan mereka menganggapnya sebagai bagian dari ibadah.
Maka untuk memperoleh pemahaman yang benar terkait hal ini, seorang muslim hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang hukum-hukum dalam mengambil sebab. Mengambil sebab di sini maksudnya seseorang melakukan suatu usaha (sebab) tertentu untuk dapat meraih apa (tujuan) yang diinginkan.
Tiga hal yang harus diketahui oleh seorang muslim terkait dengan pengambilan sebab yaitu:
Sebab yang diambil harus terbukti secara syar’i atau qadari
Maksud secara syar’i adalah Al-Qur’an atau as–Sunnah telah menunjukkan bahwa sesuatu tersebut memang merupakan penyebab terjadi atau tidak terjadinya sesuatu.
Contoh:
- Amal saleh merupakan sebab untuk masuk surga.
- Bertakwa merupakan sebab untuk mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan urusan dan sebab untuk mendapatkan kelapangan rezeki.
Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا۟ ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
“Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Maksud secara qadari adalah bahwa sunnatullah, pengalaman, atau penelitian ilmiah menyatakan bahwa sesuatu tersebut merupakan sebab terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu yang lain.
Contoh:
- Makan merupakan sebab untuk kenyang.
- Berkendaraan adalah sebab untuk mempercepat perjalanan untuk mencapai tujuan.
Sebab yang terbukti secara qadari ini terbagi menjadi dua macam, yaitu sebab yang halal dan sebab yang haram. Contoh sebab yang halal adalah belajar agar menjadi pintar, sedangkan contoh sebab yang haram adalah korupsi agar mendapatkan harta yang banyak.
Baca juga: 5 Hal yang Dapat Dilakukan Wanita Haid untuk Memaksimalkan Ramadan
Hati tetap bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan kepada sebab tersebut
Seseorang ketika mengambil sebab, hatinya harus senantiasa bertawakal dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demi berpengaruhnya sebab tersebut. Hatinya tidak condong kepada sebab tersebut yang menyebabkan hatinya justru merasa tenang kepada sebab dan bukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Contoh:
- Seseorang yang merasa pasti akan berhasil ketika telah memperhitungkan segala sesuatu dan segala kemungkinan yang akan terjadi, maka ada indikasi bahwa dia telah bersandar kepada sebab.
- Seseorang yang merasa kecewa berat atas sebuah kegagalan, padahal merasa sudah mengambil sebab sebaik-baiknya, maka ada indikasi bahwa dia telah bersandar kepada sebab.
Tetap memiliki keyakinan bahwa betapapun hebatnya keampuhan sebuah sebab, namun berpengaruh atau tidaknya sebab tergantung hanya kepada takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala
Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki sebuah sebab berpengaruh sebagaimana sunnatullah–Nya, maka sebab tersebut akan menimbulkan pengaruh. Akan tetapi, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki sebuah sebab tidak berpengaruh, maka sebab tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa.
Contoh:
- Api yang berkobar, yang secara sunnatullah membakar. Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki lain, justru api itu menjadi dingin, seperti kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
- Seorang wanita yang sedang hamil tua secara sunnatullah tidak mampu menggoyang pohon kurma demi jatuhnya kurma yang ada. Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, maka bergoyanglah pohon kurma dengan sebab kekuatan seorang wanita yang sedang hamil tua, seperti kisah Maryam.
Maka dengan ketiga hal di atas dalam hal mengambil sebab, keadaan seseorang dapat dirinci sebagai berikut:
- Seseorang yang mengambil sebab dengan memenuhi seluruh kriteria di atas. Hal ini merupakan bukti atas kebenaran tauhidnya.
- Seseorang yang memenuhi seluruh kriteria di atas, tetapi dengan sebab qadari yang haram. Hal ini merupakan kemaksiatan dan bukan kesyirikan.
- Seseorang yang tidak memenuhi kriteria pertama. Hal ini dihukumi syirik kecil selama tidak ada unsur pengabdian kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan termasuk syirik zahir. Hal ini juga merupakan kedustaan atas nama syariat dan takdir.
- Seseorang yang tidak memenuhi kriteria kedua. Hal ini dihukumi syirik kecil dan termasuk syirik khafi.
- Seseorang yang tidak memenuhi kriteria ketiga. Hal ini dihukumi syirik akbar karena telah meyakini adanya pencipta selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Mutiara Faidah Kitab Tauhid, hal. 82-85)
Akhir kata, seorang muslim haruslah senantiasa berhati-hati dalam bertindak dan berperilaku, apalagi menyangkut ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai kita terjerumus pada hal-hal yang diharamkan atau yang mengandung kesyirikan, dalam kondisi kita tidak mengetahui atau tertipu dengan label ‘ibadah’ yang diberikan oleh orang-orang yang sesat padanya. Terlebih di bulan Ramadan yang mulia ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشِّرْكُ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ
“Kesyirikan pada umat ini lebih tersembunyi daripada jejak semut.”
Abu Bakar berkata, “Bagaimana berlepas darinya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
“Hendaklah engkau mengucapkan, ‘Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada–Mu dari mempersekutukan–Mu sementara aku tahu, dan aku mohon ampunan kepada–Mu dari apa yang aku tidak tahu.” (Al-Musnad, 4: 403; al–Adab al–Mufrad no. 716; dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih al–Adab no. 551)
Dalam ash–Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa dalam salatnya,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِنِي وَجَهْلِي، وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي جِدّي وَهَزْلِي، وَخَطَئِي وَعَمْدِيْ، وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, ampunilah untukku kesalahan-kesalahanku, kebodohan-kebodohanku, berlebih-lebihan dalam urusanku, dan apa yang Engkau lebih tahu tentangnya daripada aku. Ya Allah, ampunilah untukku keseriusanku, candaku, ketidaksengajaanku, serta kesengajaanku, dan semua itu ada padaku. Ya Allah, ampunilah untukku apa yang aku dahulukan dan yang aku akhirkan, apa yang aku sembunyikan dan aku tampakkan, dan apa yang engkau lebih tahu tentangnya daripada aku. Engkau sesembahanku, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau.” (HR. Muslim no. 2719)
Hanya kepada Allah kita memohon hidayah dan taufik.
Baca juga: Siapa yang Berhak Mendapat Keutamaan Umrah di Bulan Ramadan?
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Salam, Abu Isa Abdullah. Mutiara Faidah Kitab Tauhid. Pustaka Muslim: Yogyakarta
Badr, ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin. Fiqih Doa dan Dzikir. Griya Ilmu: Jakarta Timur