Umrah di bulan Ramadan
Salah satu ibadah yang sangat baik dilakukan di bulan Ramadan adalah umrah karena memiliki keutamaan yang tidak akan kita jumpai pada bulan-bulan lainnya. Ibadah ini termasuk ibadah wajib yang dilakukan paling tidak satu kali selama hidup di dunia.
وَاَتِمُّوا الۡحَجَّ وَالۡعُمۡرَةَ لِلّٰهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah 196)
Dalam buku tafsir karya As-Sa’di rahimahullah dijelaskan bahwa makna ayat ini ialah wajibnya melaksanakan haji dan umrah.
Di antara dalil yang menyebutkan keutamaan umrah di bulan Ramadan adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
عن ابْن عَبَّاسٍ قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِامْرَأَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ] :مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّي مَعَنَا ؟[ قَالَتْ: لَمْ يَكُنْ لَنَا إِلَّا نَاضِحَانِ بعيران، فَحَجَّ أَبُو وَلَدِهَا وَابْنُهَا عَلَى نَاضِحٍ، وَتَرَكَ لَنَا نَاضِحًا نَنْضِحُ عَلَيْهِ نسقي عليه الأرض، قَالَ: [فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً]
“Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada seorang wanita dari Anshar, ‘Apa yang menghalangimu dari berhaji dengan kami?’ Wanita tersebut menjawab, ‘Tidaklah kami memiliki sesuatu kecuali dua unta. Ketika itu, suami dan anaknya berangkat haji dengan satu unta, sedangkan satu unta lainnya ditinggalkan agar bisa diberi makan dan minum’. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika telah datang Ramadan, maka pergilah umrah, sebab umrah di bulan Ramadan sama (pahalanya) dengan haji.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sama pahalanya dengan haji bersamaku (bersama Rasulullah shallahu’ alaihi wa sallam)”.
Baca juga: Haji dan Umrah Bersama Anak
Siapa yang bisa mendapat keutamaan tersebut?
Para ulama menafsirkan hadis tersebut dalam tiga tafsiran sebagaimana penjelasan di bawah ini.
Pertama, ialah pendapat yang mengatakan bahwasanya yang berhak mendapat keutamaan sebagaimana tercantum dalam hadis tersebut ialah perempuan Anshar yang sedang berbicara pada Nabi dalam hadis tersebut. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Said bin Jubair. (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari bi Syarhi Al-Bukhari, 3: 605)
Kedua, bahwasanya yang mendapat keutamaan tersebut adalah bagi mereka yang sudah berniat melakukan haji, tetapi ia memiliki kelemahan secara fisik, yang dapat menghalanginya melaksanakan haji. Maka ia menggantinya dengan umrah di bulan Ramadan. (Zainuddin bin Ahmad, Lathaifil Ma’arif Fii Maa li Mawaasim Al-Aami min Al-Wazhaif, hal. 248-249)
Ketiga, ialah pendapat yang mengatakan bahwasanya hadis ini ditujukan bagi semua muslim. Sehingga, tidak ada syarat khusus atau kondisi khusus yang menjadikan pahala umrah di bulan Ramadan setara dengan haji. Inilah pendapat yang banyak diambil oleh para ulama.
Syaikh Shalih Al-Munajid pernah menuliskan beberapa hal yang menjadi alasan mengapa pendapat ketiga adalah pendapat yang lebih dapat diterima, di antaranya adalah:
Alasan pertama, tidak ada hadis atau riwayat yang menceritakan tentang kisah perempuan dalam hadis tersebut.
Alasan kedua, sejak zaman sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, mereka telah berbondong-bondong dan bersemangat melakukan ibadah umrah di bulan Ramadan agar mendapatkan keutamaan sebagaimana tertera dalam hadis.
Beliau juga menjelaskan, bahwasanya makna kesetaraan umrah di bulan Ramadan dengan haji, bukan bermakna haji dapat diganti dengan umrah. Karena pada dasarnya, kedua ibadah tersebut, tetap berbeda baik dari segi waktu pelaksanaan dan rukun kegiatan yang dilakukan. Kita tidak akan menemukan keutamaan berdoa di Arafah ketika umrah, begitu pula keutamaan lempar jumrah, yang tidak dilaksanakan pada rangkaian ibadah umrah. Kesetaraan ini, dimaksudkan pada besarnya pahala yang diterima bagi para muslim yang melaksanakan umrah di bulan Ramadan.
Sebagaimana yang kita ketahui, pahala ibadah di bulan Ramadan akan dilipatgandakan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan anak Adam akan dilipatgandakan dengan kebaikan yang semisalnya 10 sampai 700 kali kecuali puasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Karena puasa adalah untuk–Ku (untuk Allah), dan aku yang akan memberikannya balasan, ia (seorang hamba) telah meninggalkan syahwatnya dan tidak makan karena–Ku. Bagi orang yang berpuasa, ia memiliki dua waktu yang menggembirakan, yaitu ketika dia berbuka dan bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151)
Keutamaan umrah di bulan Ramadan ini, semoga bisa menjadi pelecut semangat bagi kaum muslim agar dengan tulus meminta kepada Allah untuk diijinkan melaksanakan umrah pada bulan mulia tersebut.
Sesungguhnya bagi siapapun yang dengan tulus meminta agar diundang ke baitullah, maka Allah akan memberikan ia kemampuan, biidznillaah. Sejatinya, untuk pergi ibadah ke baitullah, tidak cukup dengan harta yang berlimpah saja. Berapa banyak manusia yang dititipkan kelimpahan harta, jutaan, milyaran, bahkan triliunan, namun hatinya belum tergerak untuk berangkat ibadah umrah ataupun haji. Tidak sedikit pula, ada di antara kita yang hartanya jauh lebih sedikit, namun sudah Allâh ijinkan berangkat ke baitullah. Dalam menjalankan ibadah umrah, butuh keyakinan dan keimanan pada kebesaran Allah.
Maka bagi kita, hendaknya, agar selalu meminta keikhlasan dan ketulusan dalam berdoa, agar Allah beri kita kesempatan mengunjungi baitullah. Karena sesungguhnya, Allâh Maha Mendengar doa hamba-Nya.
Wallahu ta’ala a’lam.
Baca juga: Sahkah Haji atau Umrahnya Anak Kecil?
***
Penulis: Evi Noor Azizah
Artikel Muslimah.or.id
Referensi
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Baari bi Syarhi Al-Bukhari jilid 3 hal. 605.
Zainuddin bin Ahmad, Lathaifil Ma’arif Fii Maa li Mawaasim Al-Aami min Al-Wazhaif, hal. 248-249.
https://islamqa.info/ar/answers/104926/معنى-عمرة-في-رمضان-تعدل-حجة
Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah As-Sa’diy, Taysiru Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsiiri Kalaami Al-Manaan, hal. 90.