Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan:
Wahai Syaikh yang dimuliakan Allah, tidaklah diragukan lagi bahwa cara dalam memilih pasangan (suami atau istri) memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan pernikahan dan awetnya keberlangsungan rumah tangga serta tata cara mendidik anak. Maka, apa saja sifat-sifat atau syarat-syarat suami yang shalih dan istri yang shalihah?
Jawaban:
Suami yang shalih atau istri yang shalihah adalah mereka yang mengerjakan hak-hak Allah dan hak-hak hamba Nya dengan sempurna, sesuai kemampuannya. Oleh karena itu, kita mengatakan dalam shalat kita, “assalamu ‘alayna wa ‘ala ‘ibadillahi ash-shalihin”; yang artinya semoga Allah memberikan keselamatan kepada kita dan kepada hamba-hamba-Nya yang shalih atau shalihah. Yang dimaksud dengan para hamba-Nya yang shalih ialah mereka yang melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, baik dari golongan laki-laki, perempuan, manusia, jin, ataupun malaikat.
Di antara sifat-sifat istri yang shalihah adalah yang telah Allah tetapkan sifat-Nya pada firman-Nya,
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰه
“Perempuan-perempuan salihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka).” (QS. An-Nisa’: 34)
Engkau akan menemuinya sebagai wanita yang taat kepada Allah, melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, ia menjaga yang gaib (rahasia rumah tangga), yang artinya ia menjaga hal-hal yang tidak nampak oleh orang-orang luar, seperti rahasia antara dirinya dan suami, dan apa-apa yang terjadi di dalam rumahnya, serta tidak mengungkapkannya kepada siapapun. Bahkan ia memuji suaminya tatkala sosok suami disebutkan di hadapannya, meskipun pada diri suami tentu terdapat kekurangan, namun ia tidak mengungkapnya.
Begitu pula bagi seorang suami. Ia bisa menjaga rahasia antara dirinya dan istri, serta tidak membicarakan rahasia tersebut kepada siapapun, dan tidak menampakkan kepada orang lain atas hal-hal yang wajib ia tutupi. Hal ini seperti yang tertera dalam sebuah hadis,
إِنّ مِنْ أَشَرّ النّاسِ عِنْدَ اللّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ, الرّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ, وَتُفْضِي إِلَيْهِ, ثُمّ يَنْشُرُ سِرّهَا
“Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya pada hari kiamat di sisi Allah, adalah seorang suami yang menggauli istrinya, lalu membocorkan rahasia sang istri pada orang lain.” (HR. Muslim no. 1437)
Hal terpenting dalam memilih pasangan ialah, jika laki-laki, maka ia berasal dari keluarga yang baik, serta dikenal baik (oleh orang sekitar), berakhlak mulia, jauh dari masalah-masalah (kenakalan). Begitu pula untuk wanita, pilihlah wanita dari keluarga yang baik, mulia akhlaknya, dan jauh dari kata nakal.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwasanya keturunan atau nasab memiliki pengaruh yang besar pada akhlak seorang suami atau istri secara umum. Sebenarnya, perihal keturunan atau nasab ini, bisa saja tidak berbekas pada diri wanita, jika ia hidup di lingkungan yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh orang tua atau kakek neneknya. Yang paling penting, usahakan baik suami ataupun istri, bisa mengenal satu sama lain termasuk mengetahui tentang keluarganya dan siapa saja yang hidup di sekitarnya. Namun, yang banyak dijumpai, ialah manusia tidak akan keluar dari lingkungan yang sudah lama ia tinggali, karena sebuah cabang akan selalu mengekori asalnya.
Baca juga: Tidak Boleh Menceritakan Percumbuan Dengan Pasangan
***
Penerjemah: Khusnul Rofiana
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Az-Zawaj wa Majmu’atu As-ilatin fi Ahkamihi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Madarul Wathan An-Nasyr, tahun 1432/ 2011; hal. 59-62.