Perhatian terhadap ilmu dan tauhid
Di antara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama (ilmu syar’i). Karena ilmu agama adalah pondasi tegaknya kehidupan. Individu dan masyarakat tidak akan baik kecuali dengan ilmu syar’i (ilmu agama). Dan kita tidak akan bisa menempuh jalan (ajaran) Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah (ilmu) yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108) (Lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 26-27)
Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah aqidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan, tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56) (Lihat Ushul ad-Da’wah as-Salafiyah, hal. 41-42)
Syekh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan, atau menguranginya. Demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak (menodainya).” (Lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)
Konsekuensi dari dakwah tauhid ini adalah memperingatkan kaum muslimin dari syirik dengan segala bentuknya. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar, sebab terhapusnya amal, dosa yang tidak diampuni oleh Allah, dan sebab kekal di dalam neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh jika kamu berbuat syirik, maka pasti lenyap amal-amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65) (Lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 179-180)
Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil (bodoh) dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan Anda mengakui bahwa Allah-lah sang pencipta dan pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini, namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam…” (Lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hal. 22)
Kedudukan aqidah bagi ilmu-ilmu dan amal-amal adalah seperti kedudukan pondasi dalam sebuah bangunan, seperti akar bagi pohon. Sebagaimana halnya bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak bisa tegak tanpa akarnya, maka demikian pula ilmu dan amal seorang tidak akan bermanfaat kecuali apabila didasari dengan keyakinan yang benar. (Lihat keterangan Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Tadzkiratul Mu’tasi, hal. 8)
Di antara sebab utama pentingnya mempelajari aqidah salaf ialah karena sesungguhnya aqidah inilah yang akan mempersatukan barisan kaum muslimin dan para da’i. Di atas landasan inilah kalimat mereka akan bersatu. Adapun tanpa aqidah yang benar, maka umat akan tercerai-berai serta porak-poranda. Sebab aqidah salaf ini adalah aqidah yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah serta dipegang teguh oleh generasi pertama umat ini. Tanpa dilandasi aqidah ini, maka segala bentuk perkumpulan dan persatuan hanya akan berakhir dengan percerai-beraian dan berantakan. (Lihat keterangan Syekh ‘Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf hafizhahullah dalam mukadimah Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah karya Syekh Muhammad Khalil Harras, hal. 6)
Aqidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat ‘laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah’. Aqidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu, wajib memperhatikan dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu, maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas aqidah yang benar. Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar, niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah Ta’ala. (Lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat ‘ala ath-Thahawiyah, hal. 23)
Kebahagiaan di dunia sangat tergantung dengan ilmu tentang aqidah. Kebutuhan hamba kepadanya di atas seluruh kebutuhan. Keterdesakan dirinya terhadapnya di atas semua perkara mendesak. Maka tidak ada kenyamanan, ketenangan, dan kebahagiaan kecuali dengan hamba itu mengenal Rabbnya dalam hal uluhiyah, rububiyah, dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana seorang manusia membutuhkan makanan dan minuman, maka dia pun membutuhkan ilmu aqidah ini, bahkan kebutuhan dirinya untuk mengenal Rabbnya jauh lebih besar. (Lihat Ithaf Dzawil ‘Uqul Rasyidah, hal. 7)
Mengikuti Sunnah
Di dalam hadis Irbadh bin Sariyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى
“Hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: hadis ini hasan sahih)
Yang dimaksud dengan istilah ‘sunnah’ di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Artinya, janganlah kalian mengada-adakan di dalam agama ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari ajarannya dan jangan keluar dari syariat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Syarh al-Arba’in oleh al-Utsaimin, hal. 302)
Dengan demikian, istilah ‘sunnah’ di sini bermakna umum mencakup keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah yang lengkap. Oleh sebab itu, para ulama salaf tidak memakai istilah sunnah kecuali dengan maksud yang mencakup ini semua (seluruh ajaran agama). Kemudian para ulama belakangan setelah mereka sering menggunakan istilah ‘sunnah’ dengan makna yang lebih khusus, yaitu yang berkaitan dengan urusan aqidah atau keyakinan. Hal ini bisa dipahami karena masalah aqidah merupakan pondasi agama sehingga orang yang menyimpang dalam perkara ini berada dalam bahaya yang sangat besar. (Lihat Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, hal. 333)
Istilah “sunnah” inilah yang sering kita dengar dalam penyebutan “ahlus sunnah wal jama’ah”. Sebab, “sunnah” di sini maknanya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebelum munculnya berbagai bentuk bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang. Adapun istilah “jama’ah” di sini maksudnya adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran, yaitu para sahabat dan tabi’in, para pendahulu yang saleh dari umat ini. (Lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syekh Muhammad Khalil Harras, hal. 61; tahqiq Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf)
Syekh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Barangsiapa yang mencermati keadaan kaum ahli bid’ah secara umum, niscaya akan dia dapati bahwa sebenarnya sumber kesesatan mereka itu adalah karena tidak berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Hal itu bisa jadi karena mereka bersandar kepada akal dan pendapat-pendapat, mimpi-mimpi, hikayat-hikayat (cerita) yang tidak jelas, atau perkara lain yang dijadikan oleh kaum ahlul ahwaa’ (penyeru bid’ah) sebagai sumber dasar hukum bagi mereka.” (Lihat at-Tuhfah as-Saniyyah Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyah, hal. 15)
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Aku ini hanyalah seorang manusia. Aku bisa benar dan bisa juga salah. Perhatikanlah pendapatku. Setiap ada pendapat yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka ambillah. Dan setiap ada pendapat yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 283)
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ
“Sesungguhnya yang Kami perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (QS. al An’aam: 153)
asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah jalan Allah yang diserukan oleh beliau (rasul). Itulah as-Sunnah. Adapun yang dimaksud dengan ‘jalan-jalan yang lain’ itu adalah jalan orang-orang yang menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka itulah para pelaku bid’ah.” (Lihat al-I’tisham, 1: 76)
Ketika menjelaskan maksud ayat “dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain”, Mujahid rahimahullah mengatakan, “Maksudnya adalah bid’ah dan syubhat-syubhat.” (Lihat al-I’tisham, 1: 77)
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun al-Jama’ah adalah jamaah kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.” (Lihat Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syekh al-Albani, hal. 382; cet. al-Maktab al-Islami)
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai pembela bid’ah, maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya.” (Lihat Min A’lam as-Salaf, 2: 47)
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” (Lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kebid’ahan yang menyebabkan seseorang termasuk golongan ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) adalah sesuatu yang telah masyhur di kalangan ulama yang memahami Sunnah bahwa hal itu jelas-jelas berseberangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Seperti halnya bid’ah Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Qadariyah, dan Murji’ah.
Abdullah bin al-Mubarok, Yusuf bin Asbath, dan ulama yang lain pernah mengatakan, “Pokok dari tujuh puluh dua sekte (yang sesat) ada pada empat aliran, yaitu Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, dan Murji’ah.” Kemudian ada yang bertanya kepada Ibnul Mubarok, “Bagaimana dengan Jahmiyah?” Beliau menjawab, “Jahmiyah bukan termasuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat al-Muntakhab min Kutubi Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, disusun oleh Syekh ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Saqqaf, hal. 149)
Demikian sekelumit catatan faidah yang Allah beri kemudahan bagi kami untuk menyusunnya. Semoga bermanfaat bagi penyusun dan segenap pembaca.
[Selesai]
***
Wisma al-Mubarok 1 Ngebel, belakang Kampus UMY Kasihan Bantul
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslimah.or.id