Pilar-pilar manhaj salaf
Salafiyah adalah sebuah manhaj (metode beragama). Ia bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim (organisasi) tertentu, sebagaimana disangka sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakan penisbatan yang terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fikih, pemahaman, tata cara ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam hal tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). (Lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13)
Di antara sekian banyak pokok akidah, ada tiga hal pokok yang menjadi pilar manhaj salaf, yaitu: 1) memurnikan ibadah kepada Allah Ta’ala; 2) berpegang teguh dengan al-Jama’ah serta mendengar dan taat kepada pemerintah muslim yang sah; dan 3) berhati-hati dan waspada dari bid’ah dan pembela bid’ah. (Lihat al-Manhaj as-Salafi, Ta’rifuhu wa Simaatuhu wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, hal. 7-8; oleh Syekh Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah)
Di dalam surah al-Fatihah kita berdoa kepada Allah,
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
“Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.”
Siapakah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus itu? Allah Ta’ala berfirman,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
“Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.”
Siapakah yang dimaksud dengan “orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah” itu? Mereka itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam ayat,
مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ
“Yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang saleh.” (QS. an-Nisaa’: 69) (Lihat transkrip Manhaj Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 7-8; oleh Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah)
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka; mereka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan Anda setiap rakaat selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada jalan mereka itu.” (Lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal. 17)
Para sahabat, yaitu yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan Anshar, mereka itulah teladan bagi kaum beriman sesudah mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan keselamatan. Allah Ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam), yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa jalan yang lurus ini adalah jalan orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat, “Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in” di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah Ta’ala. (Lihat at-Tafsir al-Qayyim, hal. 54)
Baca juga: Buku ini Mengantarkanku Mencintai Salafi
Menempuh jalan tauhid
Jalan yang lurus ini adalah jalan para nabi, jalan yang ditempuh oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
شَاكِراً لِّأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat (teladan) yang senantiasa patuh kepada Allah lagi hanif; dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik. Dia selalu mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. an-Nahl: 120-121)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya di atas syariat yang diridai.” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 4: 611)
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu, hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim secara hanif.” (QS. an-Nahl: 123)
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ دِيناً قِيَماً مِّلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku telah diberikan petunjuk oleh Rabbku menuju jalan yang lurus, agama yang tegak, yaitu millah Ibrahim yang hanif dan dia bukanlah termasuk golongan orang musyrik.” (QS. al-An’am: 161)
Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana para nabi yang lain. Semua nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya …” (Lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 330)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif, dan supaya mereka mendirikan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (Disebutkan oleh al-Baghawi rahimahullah dalam Ma’alim at-Tanzil, hal. 1426)
Ibadah itu sendiri merupakan perpaduan antara kecintaan dan ketundukan. Apabila ia ditujukan kepada Allah semata, maka jadilah ia ibadah yang tegak di atas tauhid. Sedangkan apabila ia ditujukan kepada selain-Nya, maka ia menjadi ibadah yang tegak di atas syirik. Ibadah kepada Allah yang sesuai dengan syariat disebut ibadah yang syar’iyah, sedangkan ibadah yang menyelisihi tuntunan syariat disebut sebagai ibadah yang bid’ah. (Lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam, hal. 9; oleh Syekh Shalih bin Abdillah al-‘Ushaimi hafizhahullah)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu, jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap semua amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)
Ayat tersebut mengandung pelajaran bahwa dalam ajaran semua nabi telah ditetapkan bahwa syirik menghapuskan semua amalan. Sebagaimana dalam ayat lain dalam surah al-An’am, Allah Ta’ala menyatakan bahwa seandainya mereka -para nabi dan orang saleh terdahulu- berbuat syirik, pasti akan lenyap semua amal yang telah mereka kerjakan. (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 729)
[Bersambung]
Baca juga: Mengenal Manhaj Salaf
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslimah.or.id