Teks hadis
Hadis pertama
Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم في غَزاةٍ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَهَبْنَا لِنَدْخُلَ، فَقَال: أَمْهِلُوا حَتَّى تدخلوا لَيلًا – يَعْنِي عِشَاءً – لِكَي تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ، وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيبَةُ
“Kami (safar) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan. Ketika kami kembali ke kota Madinah dan hendak masuk kota, beliau bersabda, ‘Tunggulah hingga kalian masuk pada malam hari – yaitu saat waktu Isya – agar wanita yang rambutnya kusut dapat menyisir rambutnya dan wanita (yang ditinggal safar suaminya) dapat mempersiapkan diri.’” (HR. Bukhari no. 5079 dan Muslim no. 57, 715)
Hadis kedua
Dalam riwayat Bukhari, Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا
“Jika salah seorang dari kalian pergi (safar) dalam waktu lama, maka janganlah pulang (secara mendadak) di malam hari.” (HR. Bukhari no. 5244)
Penjelasan teks hadis
Pertama: Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
حَتَّى تدخلوا لَيلًا
“hingga kalian memasuki (kota Madinah) di malam hari”, tidaklah bertentangan dengan perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَلاَ يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا
“maka janganlah pulang (secara mendadak) di malam hari.”
Yang dimaksud dengan “malam” yang diperbolehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sini (hadis pertama) adalah “awal malam”, yaitu waktu Isya, sebagaimana dijelaskan dalam konteks hadis. Adapun “malam” yang dilarang untuk sampai ke rumah (hadis kedua) adalah setelah waktu itu, ketika biasanya sang istri sudah tidur.
Ada ulama yang menjelaskan bahwa tiba di awal malam diperbolehkan bagi mereka yang telah memberi kabar waktu kedatangannya. Hal ini karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum menunggu terlebih dahulu di luar kota Madinah agar kabar kedatangan mereka dari peperangan bisa tersebar di kota Madinah, dan agar para istri serta keluarga yang lainnya dapat bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Adapun larangan sampai di rumah secara mendadak pada malam hari (sebagaimana hadis kedua) itu berlaku bagi mereka yang pulang secara tiba-tiba atau mendadak (tanpa pemberitahuan sebelumnya).
Kedua: Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمُ الغَيْبَةَ
“Jika salah seorang dari kalian pergi dalam waktu lama”, dalam perkataan beliau tersebut, larangan itu dibatasi dengan lama waktu safar. Sehingga dipahami bahwa seorang suami yang keluar rumah untuk keperluan di siang hari dan akan kembali pada malam hari, tidak sama hukumnya dengan orang yang safar dalam waktu lama.
Namun, dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang suami untuk pulang ke rumah pada malam hari (HR. Bukhari no. 1801 dan Muslim no. 1527, 1528) [1]. Dzahir-nya, larangan dalam hadis ini bersifat umum, baik bagi yang bepergian lama maupun hanya sebentar. Larangan ini dapat diselaraskan (dengan hadis kedua di atas) dengan pemahaman bahwa jika hampir bisa dipastikan kalau safarnya singkat karena keperluannya hanya sebentar, maka tidak masalah sampai di rumah pada malam hari. Hal ini karena istri bisa memperkirakan waktu kedatangan suami. Namun, jika tidak bisa dipastikan berapa lama safarnya, maka hukumnya sama dengan yang bepergian lama. (Lihat Dalilul Falihin, 3: 483)
Baca juga: Safar Bagi Wanita
Kandungan hadis
Kandungan pertama
Hadis ini merupakan dalil tentang larangan bagi seorang musafir yang lama meninggalkan istrinya untuk tiba di rumahnya pada malam hari jika istrinya tidak mengetahui waktu kepulangannya. Hal ini karena dikhawatirkan dia mungkin melihat sesuatu yang tidak dia sukai, seperti istrinya yang belum berhias dan belum membersihkan diri. [2] Sehingga hal itu bisa menyebabkan ketidaksukaannya kepada istrinya, padahal sang istri sedang merindukan dan mengharapkan kedatangannya.
Karena bisa jadi seorang istri tidak memperhatikan kebersihan dan juga tidak berhias pada saat suaminya sedang pergi, berbeda halnya ketika suaminya di rumah (tidak safar). Oleh karena itu, dia tidak suka jika suaminya tiba-tiba datang dan melihatnya dalam keadaan yang tidak dia sukai.
Dalam hadis larangan pulang mendadak di malam hari juga disebutkan alasan lain, yaitu agar suami tidak pulang secara tiba-tiba dengan tujuan untuk memata-matai istri atau mencari-cari kesalahan istri. (Lihat Al-Mufhim, 3: 767)
Namun, jika seorang suami telah memberitahu istrinya tentang waktu kepulangannya melalui pesan (WA atau SMS), telepon, atau lainnya, maka larangan tersebut tidak berlaku. Hal karena alasan yang dikhawatirkan tersebut telah hilang. Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata,
فيه النهي عن طروق المسافر أهله على غرة من غير تقدم إعلام منه لهم بقدومه
“Dalam hadis ini terdapat larangan bagi seorang musafir untuk tiba di rumah keluarganya secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya tentang (waktu) kepulangannya.” (Lihat Bahjatun Nufus, karya Ibnu Abi Hamzah, 4: 86; Fathul Baari, 9: 340)
Kandungan kedua
Apa yang disampaikan dalam hadis ini merupakan salah satu bukti keindahan dan kesempurnaan syariat Islam. Syariat Islam ternyata memperhatikan hal-hal yang sangat rinci (detail) dalam masalah pergaulan antara suami dan istri. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali pasti telah ditunjukkan dan diarahkan oleh syariat. Dan tidak ada satu keburukan pun, kecuali pasti telah diperingatkan dan dilarang oleh syariat.
Kandungan ketiga
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang wanita hendaknya berhias untuk suaminya dan menampakkan diri di hadapan suami dengan kondisi yang baik, misalnya dengan berpakaian yang bagus, aroma yang harum, dan sikap-sikap yang baik. Karena hal tersebut menjadi sebab untuk menumbuhkan dan memperkuat kasih sayang antara suami dan istri, serta mempertahankan cinta dan keharmonisan dalam rumah tangga.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [3]
Baca juga: Syarat-Syarat Orang Yang Boleh Menemani Wanita Dalam Safar
***
@18 Rabiul awal 1446/ 23 September 2024
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Tanpa ada tambahan keterangan apakah safarnya lama atau hanya sebentar.
[2] Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa shahabiyah dulu, mereka berhias hanya untuk suami, bukan untuk yang lain. Ketika suami safar, maka tidak ada lagi faktor pendorong untuk berhias.
[3] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 333-336). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.