Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كان يوم عاشوراء ا تصومه قريش في الجاهلية، وكان رسول الله يصومه في الجاهلية، فلما قدم المدينة صامه ، وأمر بصيامه، فلما فُرضَ رمضان ترك يوم عاشوراء فمن شاء صامه، ومن شاء تركه
“Kaum Quraisy dahulu berpuasa di hari Asyura, dan Rasulullah berpuasa di hari tersebut pada masa jahiliyyah. Kemudian ketika datang ke Madinah, Rasulullah berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa. Ketika diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadan, beliau meninggalkan puasa pada hari Asyura. Maka barang siapa yang ingin berpuasa, baginya puasa. Dan barang siapa yang tidak ingin, boleh baginya meninggalkan puasa tersebut.” (HR. Bukhari, no. 2002 dan Muslim, no. 1125).
Hadis di atas merupakan dalil yang menunjukkan bahwa masyarakat jahiliyyah dahulu mengetahui kedudukan hari Asyura dan mereka berpuasa pada hari tersebut. Begitu juga Nabi melakukan ibadah puasa tersebut dan beliau mengerjakannya secara konsisten hingga sebelum hijrah. Dan beliau tidak mewajibkan manusia untuk mengerjakan puasa ini.
Hal ini menunjukkan kesucian hari Asyura dan keagungan kedudukannya bagi bangsa Arab pada masa jahiliyyah sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka memasang tirai Kakbah pada hari tersebut sebagaimana juga diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata,
كانوا يصومون عاشوراء قبل أن يفرض رمضان ، وكان يوماً تُستَرُ فيه الكعبة
“Dahulu mereka mengerjakan puasa Asyura sebelum diwajibkan puasa Ramadan dan pada hari itu, Kakbah diberi tirai (kiswah).” (HR. Bukhari, no. 1952)
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,
حديث عائشة يدل على أن صوم هذا اليوم كان عندهم معلوم المشروعية والقدر ، ولعلهم كانوا يستندون في صومه إلى أنه من شريعة إبراهيم وإسماعيل – صلوات الله وسلامه عليهما – فإنهم كانوا ينتسبون إليهما ، ويستندون في كثير من أحكام الحج وغيره إليهما
“Hadis ‘Aisyah menunjukkan bahwa puasa pada hari ini bagi bangsa Arab sudah diketahui pensyariatannya dan kedudukannya. Mereka bersandar dalam mengerjakan ibadah tersebut kepada alasan bahwa itu merupakan syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il shalawatullah wa salamuhu ‘alaihima. Sebab mereka (bangsa Arab) menisbatkan nasab kepada beliau berdua dan menyandarkan kebanyakan hukum-hukum haji dan lainnya kepada beliau berdua.” (Al-Mufhim, 3/190)
Bisa diambil faedah bahwa hadis di atas menunjukkan wajibnya puasa Asyura pada awal pensyariatannya setelah hijrahnya Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah berdasarkan pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ahli ilmu. Hal ini karena adanya perintah untuk mengerjakan puasa itu. Dari Salamah bin Al-Akwa’, beliau berkata,
أمر النبي الله الله رجلا من أسلم أن أذن في الناس أن من كان أكل فليصم بقية يومه ، ومن لم يكن أكل فليصم ، فإن اليوم يوم عاشوراء
“Rasulullah memerintahkan seorang sahabat dari Kabilah Aslam untuk mengumumkan kepada manusia bahwa, “Barangsiapa yang sudah makan, hendaklah dia melakukan (melanjutkan) puasa pada sisa harinya. Dan barangsiapa yang belum makan, maka hendaklah ia berpuasa (penuh), karena hari ini adalah hari Asyura.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ketika diwajibkan puasa Ramadan pada tahun kedua Hijriah, kewajiban puasa Asyura dihapuskan dan masih tersisa hukumnya menjadi sunah. Tidaklah diwajibkan puasa Asyura, kecuali hanya pada tahun pertama. Pada tahun kedua hijriah, tidak lagi diwajibkan seperti sebelumnya karena puasa bulan Ramadan diwajibkan setelah pertengahan tahun kedua. Kemudian Nabi bertekad pada akhir masa hidup beliau, yaitu tahun sepuluh Hijriah, untuk tidak hanya puasa Asyura secara tersendiri akan tetapi juga berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu pada hari kesembilan. Dan ini merupakan gambaran untuk menyelisihi ahli kitab dalam mengerjakan puasa mereka.
Baca juga: Sejarah Cincin Pertunangan
—
Diterjemahkan dari kitab Risaalah fii Ahadits Syahrullah Al-Muharram karya Syekh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan rahimahullah, hal. 8 – 9.
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id