Berikut lanjutan pembahasan tafsir Surat Al-Fatihah ayat 3-5 yang diambil dari Kitab Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahaman bin Nashir As-Sa’di rahimahullaahu ta’ala dengan tambahan penjelasan dari kitab tafsir yang lain dan faidah dari Daurah Tafsir Al-Qur’an yang diadakan oleh Ma’had Al-‘Ilmi.
Surat Al-Fatihah Ayat 3
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيم
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3)
Lafadz ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ merupakan dua nama yang menunjukkan bahwa Allah memiliki Rahmat yang luas dan besar yang mencakup segala sesuatu. Rahmat Allah mencakup seluruh makhluk yang hidup. Orang bertakwa yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya diberikan Rahmat yang mutlak oleh Allah. Adapun selain mereka, akan mendapatkan bagian yang sedikit dari Rahmat itu.
Surat Al-Fatihah Ayat 4
مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
“Yang menguasai di Hari Pembalasan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
Lafadz مَٰلِكِ artinya adalah zat yang bersifat raja. Di antara jejak dari sifat tersebut adalah Allah memerintah dan melarang, memberi pahala dan hukuman, serta mengatur yang dia miliki dengan semua bentuk pengaturan. Pemilik di sini dilekatkan dengan kata-kata يَوْمِ ٱلدِّينِ (hari pembalasan). يَوْمِ ٱلدِّينِ sama dengan يوم القيامة.
Kenapa disebut يَوْمِ ٱلدِّينِ? Karena pada kiamat manusia diberi balasan di hari itu dengan diberi pahala atas amal perbuatannya, baik-baiknya ataupun jeleknya.
Kemudian kenapa مَٰلِكِ itu disandarkan pada يَوْمِ ٱلدِّينِ? Hal tersebut karena di hari nampak jelas bagi makhluk, sempurnanya kepemilikan Allah, keadilan Allah, hikmah Allah, dan terputusnya segala kepemilikan makhluk. Hari itu sama saja antara raja dan rakyat. Semuanya tunduk dengan keagungan Allah, tunduk dengan kemuliaan Allah, menunggu balasan dari Allah mengharapkan pahala Allah, dan takut dengan hukuman Allah. Karena di hari itu sangat jelaslah kepemilikan Allah dan kekuasaan Allah, maka dikhususkan yang disebut adalah يَوْمِ ٱلدِّينِ tanpa hari-hari yang lain. Meskipun realitanya Allah adalah Sang pemilik baik pada hari pembalasan atau hari-hari yang lain.
Surat Al-Fatihah Ayat 5
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”(QS. Al-Fatihah: 5)
Kami khususkan Engkau semata ya Allah dalam ibadah. Dari mana muncul kata-kata hanya dan khusus? Hanya untuk-Mu ya Allah kami menyembah. Asal-muasalnya adalah karena تقديم المعمول يفيد الحصر. Mendahulukan sasaran kata kerja, menghasilkan makna hanya (pembatasan).
Kata kerjanya نَعْبُدُ dan sasaran katanya إِيَّاكَ. Dalam ilmu balaghah, الحصر definisinya adalah إثبات الحكم للمذكور ونفيه عما عداه. Maksudnya إثبات الحكم penetapan hukum (hukum di sini adalah ibadah) dan للمذكور untuk yang disebutkan (yaitu Allah). ونفيه عما dan meniadakan hukum (hukumnya di sini adalah ibadah) untuk selain Allah. Sehingga seakan-akan orang yang membaca Surat Al-Fatihah mengatakan, kami menyembah-Mu dan tidak menyembah selain-Mu, kami minta tolong kepada-Mu, dan tidak minta tolong kepada selain-Mu. (Faidah tambahan dari Daurah Tafsir Al-Qur’an yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Aris Munandar hafizhahullahu ta’ala) [1]
Mengapa di sini ibadah dahulu baru isti’anah? Ibadah diletakkan di depan isti’anah dalam rangka yang luas cakupannya diletakkan di depan sesuatu yang sempit cakupannya. Ibadah itu cakupannya luas dan salah satu bentuk ibadah adalah isti’anah. Ibadah itu diletakkan di depan sebagai bentuk perhatian untuk mendahulukan hak Allah ta’ala daripada hak hamba. Ibadah adalah hak Allah. Mendapatkan pertolongan itu hak hamba.
Ibadah adalah sebuah nama mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah baik berupa perbuatan ataupun ucapan, yang nampak pada anggota badan atau tersembunyi di hati.
Isti’anah itu sering diterjemahkan dengan meminta tolong, tetapi kalau memakai definisi di sini kurang tepat. Isti’anah adalah bersandar kepada Allah untuk datangnya manfaat dan tercegahnya bahaya, disertai keyakinan bahwa Allah yang mewujudkan hal tersebut. Karena isti’anah itu mirip dengan tawakal, artinya sama istilah tawakal sebagaimana definisi tadi. Bersandar kepada Allah, bertumpu kepada Allah untuk datangnya manfaat dan terjaganya bahaya, diiringi dengan yakin kepada Allah kalau itu semua akan terjadi.
Menegakkan ibadah dan isti’anah kepada Allah merupakan perantara untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi dan selamat dari segala bentuk kejelekan. Maka tidak ada jalan keberhasilan kecuali dengan menegakkan keduanya (ibadah dan isti’anah). Namun, ibadah itu hanya bernilai ibadah jika diambil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta maksud dan niatnya adalah mengharap wajah Allah. Dengan dua syarat ini, maka ibadah itu berstatus ibadah.
Isti’anah itu disebut setelah ibadah padahal isti’anah itu termasuk ibadah, karena hamba dalam semua ibadahnya perlu isti’anah kepada Allah. Jika Allah tidak menolong hamba, maka hamba tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan, yaitu melakukan hal yang diperintahkan dan menjauhi hal yang dilarang.
Demikian pembahasan Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 3-5 (Seri 3). InsyaaAllah akan berlanjut pada seri berikutnya.
Kembali ke bagian 2: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 2 (Seri 2)
Lanjut ke bagian 4: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7 (Seri 4)
—
Penulis: Victa Ryza Catartika
Daftar Pustaka:
[1] Munandar, Aris. 2023. Daurah Tafsir Al-Qur’an. Diakses Mei 2023. Diakses dari https://www.youtube.com/live/kx_LAU4PQso?si=N0wouh6lVZ1IXp6O.
[2] As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. 1423 H. Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan. Beirut: Muassasah Ar Risalah.
Artikel Muslimah.or.id