Islam adalah agama rahmat, agama kasih sayang. Islam mengajarkan umatnya untuk menyayangi segala sesuatu yang ada di muka bumi. Agama ini melarang kita mengganggu, merusak, atau merugikan pihak lain. Menyayangi pihak lain merupakan sebab yang membuat kita disayangi.
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Kewajiban kita bukan hanya berbuat baik kepada sesama manusia saja, tetapi juga berbuat baik kepada segala sesuatu yang hidup berdampingan dengan kita. Hewan dan tumbuhan misalnya. Sebagaimana manusia, hewan dan tumbuhan memiliki hak untuk hidup dengan nyaman di muka bumi ini.
إِنَّ العَلِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِيْ السَّمَاوَاتِ وَ مَنْ فِيْ الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِيْ جَوْفِ المَاءِ
“Sesungguhnya seorang ‘alim itu dimintakan ampunan oleh semua (makhluk) yang ada di langit dan di bumi, hingga seekor ikan yang ada di kedalaman air (juga memohonkan ampunan untuknya).” (HR. Abu Dawud no. 3641)
Mengapa ikan di lautan sampai ikut mendoakan orang yang berilmu? Dijelaskan dalam Kitab Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim fii Adabil ‘Alim wal Muta’alim, bahwasanya orang yang berilmu adalah orang yang menjelaskan tentang perkara halal dan haram terkait hewan. Bahkan mereka juga menasehati umat manusia untuk bersikap baik kepada hewan dan tidak melakukan hal yang berbahaya kepadanya.
Selain itu, terdapat beberapa dalil yang menunjukkan betapa mulianya perilaku peduli pada lingkungan. Di antaranya adalah hadits berikut ini.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « فَلَا يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا، فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Dari Jabir radhiyallahu‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiada seorang muslim yang menanam tanaman, kemudian ada yang makan darinya baik manusia, hewan ternak atau burung, atau yang lainnya kecuali menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, no. 2320, 6012. Muslim no. 1552)
Bahkan, beberapa perilaku peduli lingkungan termasuk hal yang menyebabkan pahala terus mengalir walau pelakunya telah meninggal dunia. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
سبعٌ يجري للعبد أجرهن وهو في قبره بعد موته : من علَّم عِلْماً ، أو أجرى نهراً ، أو حَفَر بئراً ، أو غرس نخلاً أو بنى مسجداً ، أو ورَّث مصحفاً ، أو ترك ولداً يستغفر له بعد موته
“Ada tujuh amalan yang akan mengalir pahalanya bagi seorang hamba, meskipun ia berbaring di lubang kuburan setelah meninggal: (1) mengajarkan ilmu, (2) mengalirkan air sungai, (3) membuat sumur, (4) menanam kurma, (5) membangun masjid, (6) membagikan mushaf Al-Quran, atau (7) meninggalkan anak yang akan memintakan ampun baginya setelah ia meninggal. “ (HR. Al-Bazzar. Dinilai hasan oleh Al-Albani)
Baca juga: Hisab bagi Amalan Hati
Namun, sayang sekali, manusia sering melakukan perbuatan yang tidak baik hingga merusak bumi. Manusia –baik sadar ataupun tidak- membuat sesama makhluk hidup merasa terganggu. Coba perhatikan pola kehidupan kita saat ini. Berapa banyak sampah yang kita hasilkan dalam sehari? Padahal sungguh, jika kita mau berbenah, volume sampah harian kita bisa berkurang dengan menghindari penggunaan barang sekali pakai.
Kita tidak suka dengan sampah sehingga sebisa mungkin harus segera kita singkirkan dari rumah. Kita merasa sudah selesai bertanggung jawab hanya dengan membuangnya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Bersih di tempat kita, tetapi kotor di tempat lain. Sejatinya sampah hanya berpindah dan tidak terselesaikan. Sampah bercampur aduk dan menggunung di TPA. Bahkan beberapa TPA longsor saking banyaknya timbunan sampah yang ia terima. Tak berhenti di situ saja, coba perhatikan sungai dan lautan. Bagaimana kondisi sungai yang harusnya menjadi salah satu sumber kehidupan? Seringkali kita dapati sungai menjadi tempat pembuangan sampah hingga mencemari kualitas air di dalamnya.
Perbuatan ini tentu merugikan banyak pihak. Mulai dari bau yang ditimbulkan hingga memungkinan terjadinya banjir karena aliran air yang tersumbat. Ketika terjadi banjir, aktivitas manusia pun terganggu, baik aktivitas mencari nafkah, maupun aktivitas menuntut ilmu. Belum lagi munculnya virus dan bakteri yang bisa membuat banyak orang sakit. Bahkan bukan hanya manusia yang terganggu. Hewan dan tumbuhan yang juga butuh air pun akan merasakan ketidaknyamanan akibat fenomena ini.
Barangkali mindset peduli pada isu lingkungan perlu kita lihat dari kacamata yang berbeda.
Bahwa ini bukan hanya tentang bersih dan kotor. Bukan hanya tentang menjaga atau merusak bumi. Ini adalah tentang yaumul hisab. Hari dimana kita akan ditanya tentang segala hal yang kita lakukan ketika di dunia.
إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ
“Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab akan diriku.” (QS. Al-Haqqah: 20)
Bayangkanlah saudariku, hari itu begitu berat. Tak ada satupun orang yang peduli dengan nasib orang lain. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Semua orang menunggu giliran penghisaban atas diri mereka.
Barangkali kita tak pernah berpikir bahwa sampah-sampah yang kita hasilkan ketika di dunia turut memperberat hisab kita. Ya, dialah sampah yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Sampah yang tidak terurai. Sisa konsumsi yang bercampur baur. Mencemari bumi. Menggerus kenyamanan makhluk-makhluk lain untuk tinggal di atasnya. Membuat sungai keruh. Membuat lautan kotor. Menyebabkan air tercemar. Membuat banyak orang tidak mendapatkan akses air yang bersih. Membuat banyak orang sakit. Membuat banyak hewan laut mati keracunan. Membuat tanah tak mendapat aliran air yang baik. Membuat tumbuhan kurang nutrisi.
Kita perlu tahu bahwa ada banyak cara untuk mencegah timbulnya sampah dari berbagai aktivitas yang kita lakukan. Karena kenyataannya tidak semua sampah mudah untuk terurai atau didaur ulang. Di antara langkah konkrit tersebut adalah: (1) membawa tas belanja sendiri; (2) membawa wadah ketika membeli makanan; (3) membawa serbet/sapu tangan untuk mengurangi penggunaan tissue.
Nanti, jika kesadaran akan lingkungan semakin terasa di hati, cobalah untuk memilah sampah. Pisahkan sampah organik dari sampah anorganik. Karena sampah yang tercampur baur adalah salah satu sebab mengapa sampah sulit terurai. Mari kita belajar mengompos sampah organik di rumah masing-masing. Dan mari kita berusaha lebih bertanggung jawab pada sampah anorganik kita dengan menyetorkannya ke bank sampah agar tidak berakhir ke TPA.
Kita memohon kepada Allah kemudahan untuk melakukannya. Semoga langkah-langkah kecil ini terhitung sebagai amal baik yang memperberat timbangan kita di akhirat nanti.
Baca juga: Apakah Kejahilan Seseorang Akan Dihisab?
—
Penulis: Rahma Aziza Fitriana
Referensi:
1. Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim Fii Adabil ‘Alim wal Muta’alim (Terjemahan), Imam Badruddin Ibnu Jama’ah, cetakan Pustaka Al-Ihsan.
Artikel Muslimah.or.id