Syubhat 2: Sebagian Ulama Membolehkan Ucapan Selamat Natal
Memang benar ada sebagian tokoh Islam di zaman sekarang yang membolehkan ucapan selamat natal seperti Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Ahmad Thayyib (Grand Syaikh Al Azhar), Muhammad Sa’id Al Buthi dan lainnya.
Namun, para ulama dari 4 madzhab dan para ulama terdahulu telah ijma’ (sepakat) tentang terlarangnya ucapan selamat hari raya non-Muslim. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah mengatakan:
وَأَمَّا التَّهْنِئَةُ بِشَعَائِرِ الْكُفْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ فَحَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ مِثْلَ أَنْ يُهَنِّئَهُمْ بِأَعْيَادِهِمْ وَصَوْمِهِمْ، فَيَقُولَ: عِيدٌ مُبَارَكٌ عَلَيْكَ، أَوْ تَهْنَأُ بِهَذَا الْعِيدِ، وَنَحْوَهُ، فَهَذَا إِنْ سَلِمَ قَائِلُهُ مِنَ الْكُفْرِ فَهُوَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ، وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ أَنْ يُهَنِّئَهُ بِسُجُودِهِ لِلصَّلِيبِ، بَلْ ذَلِكَ أَعْظَمُ إِثْمًا عِنْدَ اللَّهِ وَأَشَدُّ مَقْتًا مِنَ التَّهْنِئَةِ بِشُرْبِ الْخَمْرِ وَقَتْلِ النَّفْسِ وَارْتِكَابِ الْفَرْجِ الْحَرَامِ وَنَحْوِهِ
“Adapun memberi ucapan selamat terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang merupakan ciri khas orang kafir hukumnya haram secara ijma’ (kata sepakat) para ulama. Semisal memberi ucapan selamat pada hari raya dan selamat atas puasa dengan mengatakan, ‘Semoga hari raya ini berkah untuk anda’, atau ucapan: “saya ucapkan selamat atas hari raya anda ini” atau semisal itu. Andaikan pengucapan tidak jatuh pada kekufuran, maka tetap saja ini adalah perkara yang diharamkan. Ucapan selamat yang demikian itu sama seperti kita mengucapkan selamat atau sujudnya seseorang kepada salib. Bahkan perbuatan ini lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dibenci Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat kepada orang yang minum khamr, membunuh, berzina, atau ucapan selamat atas maksiat yang lainnya” (Ahkam Ahlidz Dzimmah, 1/441).
Dan ketika ulama telah ijma’, tidak boleh ada yang menyelisihinya. Karena ijma’ adalah dalil. Menyelisihi ijma’ adalah pelanggaran agama. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا تجتَمِعُ أُمتِي على ضلالةٍ
“Umatku tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan” (HR. Ahmad no.27267. Dihasankan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Siyar A’lamin Nubala, 14/244).
Imam Al Juwaini mengatakan dalam matan Waraqat:
والإجماع حجة على العصر الثاني وفي أي عصر كان
“Ijma’ adalah hujjah bagi generasi kedua (setelah generasi sahabat) dan generasi-generasi setelahnya”.
Sehingga jelaslah kekeliruan sebagian tokoh Islam yang membolehkan ucapan selamat natal setelah adanya ijma’ ulama ini.
Syubhat 3: Kami sekedar mengucapkan selamat tidak mengimani keyakinan mereka
Telah dijelaskan di atas dalam penjelasan Syaikh Shalih Al Fauzan bahwa sebab terlarangnya perbuatan ini adalah bentuk wala‘ (loyal) kepada orang kafir dan ridha terhadap keyakinan mereka. Demikian juga dalam penjelasan Ibnul Qayyim disebutkan bahwa andaikan perbuatan ini tidak sampai dihukumi kufur, tetap saja hukumnya diharamkan.
Dengan kata lain, jika sekedar mengucapkan selamat saja, maka pelakunya tidak sampai keluar dari Islam namun ia tetap berdosa. Namun jika sampai meyakini keyakinan kaum Nasrani atau menyetujuinya, maka ini bisa menyebabkan kekufuran.
Terlebih, ada larangan khusus memulai mengucapkan salam kepada non Muslim. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لا تبدؤوا اليهود ولا النصارى بالسلام
“Janganlah engkau mendahului orang Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam” (HR. Muslim no. 2167)
Syubhat 4: Perayaan Natal dianggap saja sebagai urusan dunia, bukan urusan agama
Simak hadits berikut! Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
“Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga Madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Dua hari raya Jahiliyah itu adalah Nairuz dan Mahrajan. Dan disebutkan dalam hadits di atas bahwa dua hari raya tersebut adalah hari senang-senang saja tidak ada kaitannya dengan akidah, namun tetap dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Karena merayakan hari raya selain hari raya kaum Muslimin adalah bentuk menyerupai non-Muslim. Al Majd Ibnu Taimiyah (kakek dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah menjelaskan:
الحديث يفيد حرمة التشبه بهم في أعيادهم لأنه لم يقرهما على العيدين الجاهليين ولا تركهم يلعبون فيهما على العادة
“Hadits ini memberi faidah tentang haramnya tasyabbuh kepada orang kafir dalam hari raya mereka, karena Nabi tidak mentolerir dirayakannya dua hari raya Jahiliyyah tersebut, dan tidak membiarkan penduduk Madinah bermain-main di dua hari raya tersebut pada sudah menjadi tradisi” (Faidhul Qadir, 4/511).
Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjelaskan:
وَاسْتُنْبِطَ مِنْهُ كَرَاهَةُ الْفَرَحِ فِي أَعْيَادِ الْمُشْرِكِينَ وَالتَّشَبُّهِ بِهِمْ
“Diambil istinbath (kesimpulan hukum) dari hadits ini bahwa terlarangnya bersenang-senang di hari raya kaum musyrikin dan tasyabbuh (menyerupai) kebiasaan mereka” (Fathul Baari, 2/442).
Syubhat 5: Ini dalam rangka toleransi
Prinsip toleransi yang benar sudah Allah jelaskan dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al Kafirun: 1-6).
Maka toleransi tidak boleh sampai mengorbankan agama dan melanggar prinsip-prinsip agama. Apalagi sampai menggadaikan akidah.
Dalam bermuamalah terhadap orang non Muslim, ada dua kelompok yang menyimpang:
Pertama, yang ekstrem kanan, yang meniadakan toleransi sama sekali. Sehingga mereka berbuat zalim terhadap orang kafir, melakukan pembunuhan, merebut harta dan terorisme terhadap orang kafir.
Kedua, yang ekstrem kiri, yang melakukan toleransi namun kebablasan. Sehingga ikut beribadah bersama orang kafir, ikut mengucapkan selamat hari raya orang kafir, atau bahkan sampai mengatakan semua agama sama.
Yang benar adalah yang pertengahan. Melakukan toleransi terhadap orang kafir namun dalam batasan-batasan syari’at. Toleransi yang diajaran oleh Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Bukan toleransi ala pendapat masing-masing.
Ringkasnya, terhadap orang-orang kafir ada yang perkara-perkara yang dibolehkan dan ada yang dilarang.
YANG DILARANG
* Tidak boleh mengikuti agamanya atau membenarkannya, mencakup semua ritual dan kepercayaannya
* Tidak boleh membantu non Muslim menghancurkan atau merendahkan Islam
* Tidak boleh menghadiri atau merayakan perayaan kaum non-Muslim, serta mengucapkan selamat di hari raya mereka
* Tidak boleh menjadikannya teman dekat, pemimpin dan orang kepercayaan
* Tidak boleh seorang Muslimah menjadikan lelaki non Muslim sebagai suami
* Tidak boleh pergi ke negeri non Muslim tanpa kebutuhan
* Tidak boleh memuliakan non Muslim
* Tidak boleh memakan sembelihan non Muslim yang selain Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani)
* Tidak boleh terlebih dahulu memberikan salam
* Tidak boleh memintakan ampunan bagi non Muslim yang sudah meninggal
* Tidak boleh dimakamkan bersama dengan kaum Muslimin
* Tidak boleh menjadikannya saudara atau menyebutnya sebagai saudara
* Tidak boleh menzaliminya
* Tidak boleh menyakitinya atau menganggu orang kafir yang dijamin keamanannya oleh kaum Muslimin, yang sedang dalam perjanjian damai, atau kafir dzimmi
YANG DIBOLEHKAN
* Boleh bermuamalah duniawi atau bergaul dengannya secara umum, selama bukan dalam perkara maksiat
* Boleh berjual-beli atau menggunakan produk buatan non Muslim
* Boleh berbuat ihsan (baik) dengannya secara umum (memberi hadiah, memberi bantuan, berkata sopan, bersikap ramah, dll.)
* Boleh menjenguknya ketika sakit
* Boleh menyambung silaturahim dengan kerabat yang non Muslim
* Boleh memakan makanan non daging sembelihan hasil olahan non Muslim, baik Ahlul Kitab atau bukan, selama tidak ada zat haram di dalamnya
* Boleh memakan makanan daging sembelihan Ahlul Kitab, selama tidak ada zat haram di dalamnya
* Boleh seorang lelaki Muslim menikahi wanita Ahlul Kitab
* Boleh bersentuhan kulit dengan non Muslim, kecuali terhadap lawan jenis
Bersambung, insyaallah.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id