Setiap mukmin yang bertakwa tentu berharap mampu meniti jalan yang lurus. Sebagaimana jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diteladankan pada salafus shalih. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia! Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’am: 153)
Meniti jalan yang lurus merupakan anugerah dari Allah Ta’ala. Sebuah nikmat terbesar ketika kita dimudahkan-Nya berjalan di atasnya. Dengan mengetahui kebenaran Islam, teguh menjalankannya, dan senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk hidup, Insya Allah kaum muslimin tidak akan dimurkai-Nya. Kaum mukminin yang berilmu dan beramal saleh semata-mata ikhlas mengharap wajah-Nya. Mereka senantiasa meminta jalan yang lurus, jalan hidayah yang harus dijaga dan disyukuri agar tidak hilang.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Doa yang paling besar manfaatnya tidak lain adalah doa meminta petunjuk jalan yang lurus, yaitu dalam surat Al-Fatihah. Oleh karena itu, setiap muslim akan mengulang-ulang doa ini dalam salatnya minimal dalam sehari semalam sebanyak tujuh belas kali. Orang yang mendapat jalan yang lurus pasti akan dimudahkan untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, sehingga dia tidak akan ditimpa keburukan baik di dunia atau di akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa, 14: 320)
Dari Nawas bin Sam’an Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla membuat permisalan sebuah jalan yang lurus, di samping kiri kanannya ada dua pagar dan pada kedua dinding pagar tersebut terdapat banyak pintu yang terbuka, namun pada pintu-pintu itu terdapat tirai penutup yang terjulur. Di pintu masuk jalan yang lurus tersebut ada penyeru yang mengatakan, “Wahai manusia! Masuklah kalian semua ke jalan itu dan janganlah kalian menyimpang.” Ada juga penyeru lain di atas jalan tersebut. Jika ada orang yang hendak membuka tirai penutup (salah satu pintu pada dinding tembok) tersebut, sang penyeru itu akan mengatakan, “Celaka kamu! Jangan kamu membukanya kamu pasti akan masuk ke pintu itu.”
Jalan itu adalah Islam kedua pagar itu adalah batasan-batasan (aturan-aturan) Allah, pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh Alah ‘Azza wa Jalla, penyeru yang ada di pintu masuk jalan itu adalah Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, sementara penyeru yang berada di atas jalan itu adalah peringatan Allah ‘Azza wa Jalla yang berada di hati setiap kaum muslim.” (HR. Ahmad, 4: 182-183. Disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As Sunnah libni Abi Ashim, no. 9)
Alangkah indah dan sarat makna apa yang diungkapkan Ibnu Qayyim rahimahullah, “Mengenai shirath al-mustaqim. Suatu jalan itu tidak bisa disebut sebagai shirath (jalan) hingga memenuhi lima kriteria: [1] Lurus; [2] Menyampaikan kepada tujuan; [3] Jalan tersebut jelas menyampaikan tujuan dan maksud; [4] Jalan tersebut longgar sehingga cukup untuk semua orang yang mau melewatinya; [5] Jalan tersebut adalah jalan satu-satunya yang akan mengantarkan kepada tujuannya.
Tidaklah diragukan bahwa shirath al-mustaqim itu memenuhi lima kriteria tersebut. Jalan tersebut disebut mustaqim karena jalan tersebut dekat mengantarkan kepada tempat tujuan. Karena garis lurus adalah garis yang paling dekat menghubungkan dua buah titik. Semakin bengkok suatu jalan semakin panjang dan jauh jalan tersebut. Jalan tersebut disebut mustaqim menunjukkan bahwa jalan tersebut mengantarkan pada maksud. Jalan tersebut Allah ‘Azza wa Jalla pasang untuk semua orang yang mau menitinya, menunjukkan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang longgar dan lurus.” (Madarijus Salikin, 1: 18, terbitan Darul Hadits Kairo, 1416 H)
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Majalah As-Sunnah, Edisi 07 tahun XXI, 1439 H.
Majalah Al-Furqon, Edisi 09 tahun ke-11, 1433 H.
Majalah Al-Furqon, Edisi 10 tahun ke-11, 1433 H.