Berkuliner ria sembari menikmati menu makanan dengan cita rasa yang lezat sungguh momen yang menyenangkan. Namun, sebagai mukmin bertaqwa kita tidak boleh melupakan tujuan utama menyantap makanan yakni untuk menguatkan badan agar tetap bisa beribadah kepada Allah ta’ala. Rutinitas ini akan semakin melejitkan nilai amal shalih kita ketika di lakukan dengan memperhatikan petunjuk-Nya dan sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Keberkahan, kebahagiaan hati dan kedamaian akan meliputi jiwa orang mukmin manakala hati mereka memiliki persepsi bijak perihal makanan, bukan sekedar untuk kemaslahatan dunia, namun lebih dari itu demi kebaikan akhirat. Allah Ta’ala berfirman :
???????? ?????? ?????????? ??????? ???????? ???????? ?????????? ??????? ??????? ???????? ???? ???????????
“Dan makanlah makanan yang halal lagi (baik) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya” (QS. Al-Maidah: 88)
Bagaimana pandangan salafus shalih dalam soal kuliner?
Para ulama terdahulu berkata: “Tidaklah dihidangkan sebuah makanan kepadamu kecuali di dalamnya termasuk 360 nikmat!!” (Ghadza’ul Albab li Syarhi Mandzumatil Adab, As-Safarini 2/93).
Sunggguh menakjubkan! Betapa cerdasnya para salaf dan rasa syukur mereka terhadap nikmat dan karunia Allah Ta’ala, apapun wujud makanan itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
??? ????? ?????? ?????? ?? ??????? ? ??????? ?? ??????? ? ?????? ????? ?????? ? ?????????? ??????? ?? ?????????
“Barangsiapa di pagi hari merasa aman dalam perjalanannya, badannya sehat dan dia mendapati makanan untuk hari itu, seolah-olah kebahagiaan dunia telah diraih olehnya” (HR. At-Tirmidzi: 2346, Ibnu Majah 4141, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 2318).
Jadilah orang yang selalu bersyukur seberapapun nikmat Allah yang engkau terima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
????? ??????? ??? ???????? ?????? ?????? ???????????? ??????? ????????? ???? ?????????? ???? ??????? ???? ?????? ??????? ???? ???????? ??????????? ???? ???????? ??????????
“Sesungguhnya pertama kali yang ditanyakan kepada seorang hamba pada hari kiamat berupa kenikmatan adalah ‘bukankah Kami telah menyehatkan badanmu dan melepaskan dahagamu dengan air yang dingin?” (HR. At-Tirmidzi: 3358, Ibnu Hibban:2585, Al-Hakim 4/138, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.539).
Para pendahulu kita begitu menghargai nikmat makanan dan minuman, ini menunjukkan kadar keimanan dan ketaqwaannya yang begitu kuat di sisi Allah.
Sungguh luar biasanya para salafus shalih, mereka terbiasa qana’ah dalam perkara kuliner, menjadikan hatinya cukup dengan karunia-Nya, tidak saling berlebih-lebihan atau menghambur-hamburkannya dalam meraih prestise duniawi.
Bukankah Nabi kita menyuruh makan dan minum yang seimbang demi menjaga kesehatan tubuh? Bukanlah keluarga beliau pernah merasakan ‘masa paceklik’ dan menyambung hidup dengan minum air dan makan kurma?
Bukankah dengan diiringi ibadah puasa akan menyehatkan raga, sebagaimana peri kehidupan orang shalih, mereka di karunia Allah Ta’ala kesehatan, kecerdasan akal, dan hidayah. Jadi kuliner semata bukan faktor utama kebahagiaan dunia. Justru dengan berkuliner akan menambah motivasi beribadah pada-Nya dan mendorongnya lebih banyak bersyukur pada Allah Ta’ala.
Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Tidaklah seorang hamba minum air yang jernih kemudian masuk ke tubuh tanpa kesulitan dan setelah itu keluar kotoran penyakitnya, kecuali wajib baginya bersyukur” (Ibnu Abi Dunya, dalam Asy-Syukr, no.192).
Semoga uraian di atas membuka mata hati kaum muslimin agar saat ‘berkuliner ria’ tidak melalaikannya dari syukur, dzikir dan ibadah pada-Nya. Semoga saat menikmati hidangan penuh selera hati kita terketuk untuk mengingat saudara-saudara seiman yang tengah dilanda kelaparan. Dan teladan mulia kita senantiasa memperhatikan keadaan umatnya yang ditimpa kelaparan.
***
Referensi :
1. Majalah Al-Furqon, edisi 12 tahun ke-13, 1435
2. Majalah Pengusaha Muslim, edisi 15 volume 2/2011
3. Za’adul Ma’ad (terjemah), Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Pustaka Azzam, Jakarta 2002
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Artikel Muslimah.or.id