Sebelum membahas tentang masalah najis, kita harus memahami dahulu kaidah yang disebutkan para ulama:
الأصل في الأشياء الحل والطهارة
“Hukum asal benda-benda itu halal dan suci”.
Maka suatu benda itu statusnya suci, kecuali ada dalil shahih yang menyatakan bahwa ia najis. Tidak boleh menyatakan suatu benda itu najis atau diragukan kesuciannya, tanpa didasari dalil.
Jika kaidah ini sudah dipahami, maka berikut ini beberapa perkara yang diperselisihkan najis-tidaknya oleh para ulama:
1. Darah
Jumhur ulama dari ulama empat madzhab mengatakan bahwa darah yang keluar dari tubuh itu najis. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu adalah rijs” (QS. Al An’am: 145).
Bahkan banyak nukilan ijma‘ akan najisnya darah. Ibnul Arabi rahimahullah mengatakan:
اتفق العلماء على أن الدم حرام لا يؤكل نجس
“Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar Ruhuni, 1/73).
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan:
اتفق العلماء على أن الدم حرام نجس
“Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al Qurthubi, 2/222).
Namun setelah ijma‘ ini, sebagian ulama mengatakan bahwa darah yang sedikit itu ditoleransi.
Namun klaim ijma‘ ini tidak disetujui oleh sebagian ulama. Karena di sana ada pendapat yang menyatakan bahwa darah itu tidak najis kecuali yang ada dalil tegas tentang najisnya. Mereka berdalil dengan riwayat dari para sahabat, diantaranya perkataan Al Hasan Al Bashri rahimahullah:
ما زال المسلمونَ يُصَلُّونَ في جِرَاحاتِهِم
“dahulu kaum Muslimin (para sahabat) biasa shalat dalam keadaan luka-luka” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq, dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 50).
Sehingga darah baik darah manusia atau darah lainnya, hukum asalnya suci kecuali:
* darah haid
* darah hewan yang najis ketika masih hidup ataupun mati, seperti darah babi.
* darah hewan yang najis ketika jadi bangkai, seperti darah bangkai ayam, darah bangkai kambing, dll
Pendapat ini dikuatkan oleh Asy Syaukani, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahumullah. Kami sendiri lebih cenderung dengan pendapat yang kedua ini.
2. Nanah
Para ulama mengatakan, nanah hukumnya sama dengan darah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
وَالْقَيْحُ ، وَالصَّدِيدُ ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ الدَّمِ : بِمَنْزِلَتِهِ ، إلَّا أَنَّ أَحْمَدَ قَالَ : هُوَ أَسْهَلُ مِنْ الدَّمِ
“Nanah dan shadid (calon nanah) dan semua yang berasal dari darah, maka hukumnya sama dengan darah. Namun Imam Ahmad mengatakan: nanah lebih ringan daripada darah” (Al Mughni, 2/483).
Maka bagi ulama yang mengatakan darah itu najis, mereka juga mengatakan nanah juga najis. Sedangkan ulama yang mengatakan darah tidak najis maka mereka juga mengatakan nanah tidak najis.
Demikian juga, sebagian ulama yang menganggap nanah itu najis seperti darah, memberi toleransi jika nanah itu sedikit.
3. Muntahan
Muntahan atau al qay’u, adalah yang keluar ketika kita muntah. Terdapat hadits, dari Abu Darda’ radhiallahu’anhu :
أنَّ النبيَّ قاءَ فتوضأَ
“Bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam muntah, lalu beliau berwudhu” (HR. Abu Daud no.2381, at Tirmidzi no. 87).
Namun hadits ini diperselisihkan derajatnya. Didhaifkan oleh Ibnu Abdil Barr, ad Darutquthni dan Ibnu Hajar. Dihasankan oleh Asy Syaukani. Bahkan dishahihkan oleh Imam Ahmad dan juga Al Albani.
Ulama yang menshahihkan hadits ini pun khilaf apakah hadits ini dalil najisnya muntahan ataukah tidak?
Ringkasnya, jumhur ulama dari empat madzhab berpendapat najisnya muntahan. Sebagian ulama, diantaranya Asy Syaukani, Al Albani dan Ibnu Al Utsaimin mengatakan muntahan itu tidak najis karena tidak ada dalil tegas yang menyatakan najisnya. Dan pendapat kedua ini yang nampaknya lebih kuat, wallahu a’lam.
4. Dahak
Jumhur ulama mengatakan bahwa dahak itu tidak najis, dan inilah yang rajih. Diantara dalilnya, hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ فَأَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ : (مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ ؟ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ تَحْتَ قَدَمِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا) وَوَصَفَ الْقَاسِمُ – أحد رواة الحديث – فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak pada dinding arah kiblat masjid. Lalu beliau menghadap kepada orang-orang dan bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian semua ketika ada orang yang sedang shalat menghadap Rabb-nya, lalu dia meludah ke hadapan-Nya? Sukakah kalian jika kalian sedang dihadapi seseorang, lalu orang itu meludah di hadapan kalian? Karena itu jika salah seorang dari kalian meludah ketika shalat, maka hendaklah dia meludah ke kiri atau ke bawah kaki kalian. Jika itu tidak mungkin, maka hendaklah dia melakukan seperti ini (lalu al-Qasim -perawi hadits- mempraktekkan contohnya) dia meludah ke kain bajunya, kemudian mengusap sebagiannya pada sebagian yang lain” (HR. Bukhari no. 550, Muslim no. 409).
Andaikan dahak itu najis tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengajarkan untuk meludah di kain pakaian ketika shalat.
Adapun ingus, para fuqaha sepakat ia tidak najis :
اتّفق الفقهاء على أنّ المخاط طاهر, وأنّ الصّلاة في ثوبٍ فيه مخاط صحيحة
“Para fuqaha sepakat bahwa ingus itu suci dan shalat dengan baju yang kena ingus itu sah” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 36/258).
Namun tidak boleh bersengaja menyentuh ingus atau dahak yang sudah dikeluarkan, karena itu adalah kotoran :
نصّ الشّافعيّة على حرمة تناول المخاط, قالوا: إنّ المخاط وإن كان طاهراً إلا أنّه مستقذر, ويحرم تناول الإنسان له لاستقذاره لا لنجاسته
“Ulama Syafi’iyyah menetapkan haramnya menyentuh ingus, mereka mengatakan: karena ingus itu walaupun suci tapi tetap saja ia kotor. Maka haram seseorang sengaja menyentuhnya, bukan karena ia najis” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 36/259).
Baca juga: Hukum Menelan Dahak Dan Ludah Ketika Puasa Dan Shalat
5. Air liur
Sebagaimana dahak, maka air liur juga tidak najis. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ المُسْلِمَ لا يَنْجُسُ.
“Seorang Muslim itu tidak menajisi (yang lain)” (HR. Bukhari no.283, Muslim no. 372).
Namun sebagian ulama menyatakan bahwa air liur yang datang dari mulut itu suci, sedangkan yang datang dari perut itu najis. An Nawawi rahimahullah mengatakan :
وسألت أناساً عدولاً من الأطباء فأنكروا كونه من المعدة، وأنكروا على من أوجب غسله
“Aku telah bertanya kepada beberapa tabib yang terpercaya, mereka mengingkari air liur itu bisa datang dari perut. Maka mereka mengingkari suatu yang wajib untuk dicuci” (Al Majmu’).
Namun para ulama menjelaskan, ini diterapkan jika yakin air liur tersebut datang dari perut. Ketika ragu, maka tidak dihukumi najis.
Terlebih lagi, sebagian ulama mengatakan bahwa yang keluar dari perut (seperti muntahan) tidaklah dihukumi najis sama sekali. Karena tidak ada dalil yang sharih yang menyatakan kenajisannya. Dan ini yang nampaknya lebih rajih.
Semoga bermanfaat.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id
Jadi muntahan kucing tidak najis ya ustadz? Soalnya saya mengalami was was muntahan kucing yang menyebar di lantai karena di pel