Syariat Islam yang sempurna ini telah memberikan tuntunan kepada kita dalam semua aspek kehidupan. Baik perkara-perkara yang sempit cakupannya sampai pada perkara-perkara yang besar. Dari urusan pribadi, hingga urusan bernegara.
Maka syariat yang mulia ini juga telah mengajarkan kita bagaimana cara menyikapi kekeliruan pemimpin. Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه فذاك،وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Takhrij As Sunnah Libni Abi Ashim, 1097).
Di sisi lain, ridha terhadap kesalahan dan kezaliman penguasa juga tidak boleh. Dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ستكونُ أمراءُ . فتعرفونَ وتُنْكرونَ . فمن عَرِف بَرِئ . ومن نَكِرَ سَلِمَ . ولكن من رَضِي وتابعَ قالوا : أفلا نقاتلهُم ؟ قال : لا . ما صلوا
“Akan ada para pemimpin kelak. Kalian mengenal mereka dan mengingkari perbuatan mereka. Siapa yang membenci kekeliruannya, maka ia terlepas dari dosa. Siapa yang mengingkarinya, maka ia selamat. Namun yang ridha dan mengikutinya, itulah yang tidak selamat”. Para sahabat bertanya: “Apakah kita perangi saja pemimpin seperti itu?”. Nabi menjawab: “Jangan, selama mereka masih shalat” (HR. Muslim no. 1854).
Baca juga: Wajibkah Taat Kepada Pemerintah?
Maka pemahaman yang benar, Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:
ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة، وذكر ذلك على المنابر؛ لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف، ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع، ولكن الطريقة المتبعة عند السلف: النصيحة فيما بينهم وبين السلطان، والكتابة إليه، أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير.
أما إنكار المنكر بدون ذكر الفاعل: فينكر الزنا، وينكر الخمر، وينكر الربا من دون ذكر من فعله، فذلك واجب؛ لعموم الأدلة.
ويكفي إنكار المعاصي والتحذير منها من غير أن يذكر من فعلها لا حاكما ولا غير حاكم
“Bukan termasuk manhaj salaf, menyebarkan aib-aib penguasa dan menyebutkannya di mimbar-mimbar. Karena ini akan mengantarkan kepada kekacauan, dan membuat rakyat tidak mendengar dan taat lagi dalam perkara yang ma’ruf. Juga mengantarkan kepada hal yang membahayakan dan tidak memberi manfaat.
Bahkan metode yang diikuti salafus shalih adalah menasehati penguasa secara empat mata.
Adapun mengingkari kemungkaran tanpa menyebut nama pelakunya, semisal mengingkari perzinaan, mengingkari minum khamr, mengingkari riba tanpa menyebut nama pelakunya, maka ini wajib, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada.
Maka cukup ingkari kemaksiatan dan memperingatkan umat darinya tanpa menyebutkan pelaku itu pemerintah ataukah bukan” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/2123).
Semoga Allah memberi taufik.
**
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id