Itsar secara bahasa bermakna mendahulukan atau mengkhususkan. Secara istilah, mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri pada sesuatu yang bermanfaat baginya dan memberikannya pada orang lain. Ini termasuk puncak persaudaraan. (at-Ta’rifat al-Jurjani 1/59, Mu’jam Lughati al-Fuqaha’ 1/116). Berkata Ibnu Miskawaih, “Itsar adalah keutamaan jiwa yang dengannya ia menahan diri dari sebagian hajatnya sampai ia memberikan kepada orang yang berhak menerima.” (Tahdzibul Akhlaq hal.19)
Perbedaan antara Itsar dan Dermawan
Itsar lebih tinggi derajatnya daripada dermawan. Dermawan adalah memberikan sesuatu yang banyak dengan menyisakan sedikit untuk dirinya atau menyisakan yang sama dengan yang diberikan. Adapun itsar, mengutamakan orang lain padahal ia membutuhkannya. (Madarijus Salikin 2/292)
Dalil-Dalil tentang Itsar
Allah Ta’ala memuji kaum Anshar dengan sifat itsarnya dalam firman-Nya,
????????????? ????? ???????????? ?????? ????? ?????? ?????????
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir mengatakan, “Mereka mendahulukan orang-orang yang sangat membutuhkan daripada kepentingan pribadi.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/70)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun mengutamakan orang lain padahal ia sedang kesusahan, itu lebih utama daripada sekadar bersedekah dengan senang hati. Karena tidak semua orang yang bersedekah itu senang hati lagi dalam kesusahan.” (Minhajus Sunnah 7/129)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
????? ?????????????????? ????? ?????????? ??? ????????? ???? ????? ??????? ??????????? ?????????????? ???????? ??? ????? ?????????? ??? ?????? ??????? ????? ??????????? ?????????? ??? ??????? ??????? ?????????????? ?????? ?????? ??????? ????????
“Sesungguhnya keluarga Asy’ari jika perbekalan makanan mereka habis tatkala berperang atau keluarga mereka kekurangan makanan di Madinah, mereka mengumpulkan yang ada di kain-kain mereka, kemudian meletakkan di sebuah nampan lalu membaginya sama rata. Mereka termasuk saya dan saya juga termasuk mereka.” (HR. al-Bukhari: 2846, Muslim: 2500)
Berkata Abul Abbas al-Qurthubi, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa sifat yang dominan dari keluarga Asy’ari adalah itsar dan berbagi rata tatkala sama-sama membutuhkan.” (al-Mufhim Syarh Shahih Muslim 6/452)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
??????? ?????????? ??????? ?????????????? ????????? ????????????? ??????? ?????????????? ????????? ????????????? ??????? ??????????????
“Makanan untuk satu orang bisa mencukupi dua orang, makanan untuk dua orang bisa mencukupi empat orang, dan makanan untuk empat orang bisa mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim: 2059)
al-Muhallab mengatakan, “Maksud hadits ini adalah anjuran untuk saling berbuat baik dalam hal makan dan berbagi, serta mendahulukan orang lain dari diri sendiri.” (Syarh Shahih al-Bukhari Ibnu Baththal, 9/471)
Macam-Macam Itsar
Itsar ditinjau dari keterkaitannya dengan yang lain, dibagi dua macam:
a. Itsar yang berhubungan dengan al-Khaliq (Sang Pencipta)
Ibnul Qayyim berkata, “Itsar yang berhubungan dengan Khaliq lebih mulia dan lebih afdhal daripada itsar yang berhubungan dengan makhluk. Yaitu mendahulukan ridha Alah daripada ridha makhluk, mengutamakan kecintaan kepada Allah daripada kecintaan makhluk, mendahulukan rasa takut dan raja’ (berharap) kepada-Nya daripada takut dan berharap kepada makhluk, lebih mendahulukan penghinaan diri, ketundukan dan merendahkan diri kepada-Nya daripada kepada mahkluk, lebih mengutamakan meminta kepada-Nya daripada bergantung kepada selain-Nya.” (Thariqul Hijratain 1/449).
b. Itsar yang berhubungan dengan makhluk
Adapun itsar yang berhubungan dengan makhluk adakalanya haram, makruh, atau mubah.
Haram jika engkau mendahulukan orang lain dalam sesuatu yang wajib engkau kerjakan, karena itu sama saja telah menggugurkan kewajiban tersebut atasmu. Misalnya, mendahulukan orang lain untuk shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban syariat lain, sementara ia sendiri tidak mengerjakannya.
Makruh atau mubah jika engkau mendahulukan orang lain dalam hal-hal mubah, yang sebagian ulama memakruhkannya dan sebagian membolehkannya. Itsar yang mubah yaitu mendahulukan orang lain dalam perkara-perkara yang bukan termasuk ibadah. (Syarh Riyadush Shalihin, Ibnu Utsaimin 3/416-417)
Ibnul Qayyim menyebutkan syarat-syarat itsar berkaitan dengan makhluk yang bisa memindahkannya dari hukum haram atau makruh menjadi hukum mubah. Yaitu tidak menyia-nyiakan waktu muatstsir (orang yang berbuat itsar) tersebut, tidak menyebabkan keadaannya menjadi rusak (gara-gara mendahulukan orang lain), tidak menyebabkan hancur agamanya, tidak menyebabkan tertutupnya pintu kebaikan bagi muatstsir.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka perbuatan mendahulukan orang lain mencapai puncak keutamaannya, namun jika terdapat salah satu dari hal-hal di atas, maka mendahulukan diri sendiri lebih utama. Mendahulukan orang lain yang terpuji adalah mendahulukan orang lain dengan dunia, bukan dengan waktu, agama, dan hal-hal yang membuat baiknya hati.” (Thariqul Hijratain 1/446)
c. Itsar ditinjau dari faktor pendorongnya
- Fitrah dan kasih sayang seperti mendahulukan bapak, ibu dan orang-orang yang dicintai daripada selain mereka. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
?????????? ??????????? ???????? ??????????? ????? ??????????????? ??????? ????????? ?????????? ????? ????????? ????????? ???????? ?????????? ????? ?????? ???????? ????????????? ?????????????????? ??????????? ????????? ??????????? ??????? ??????? ??????? ???? ??????????? ??????????? ????????????? ????????? ?????????? ??????? ???????? ????????? ??????? -??? ???? ???? ????- ??????? ????? ??????? ???? ???????? ????? ????? ?????????? ???? ??????????? ????? ???? ????????
“Telah datang seorang wanita miskin bersama dua orang anaknya, lalu aku memberi mereka makan dengan tiga butir kurma. Ibu itu memberi anaknya masing-masing sebutir. Tatkala wanita ini mengangkat tangannya hendak memasukkan sebutir kurma itu ke mulutnya, kedua anaknya meminta kembali. Kemudian satu butir kurma itu dibelah dua. Aku sangat kagum dengan ibu itu, lalu aku menceritakan perihal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda, ‘Sungguh, Allah telah mewajibkan wanita itu masuk surga karena perbuatannya tersebut, atau Allah membebaskannya dari api neraka.’” (HR.Muslim: 2630).
- Pendorongnya adalah iman dan senang kebaikan bagi orang lain, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh salafush shalih umat ini.
Potret Itsar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Para Sahabat
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata,“Pernah datang seorang perempuan membawa burdah kepada Nabi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Tahukah kalian, burdah apa ini?’ Ada yang menjawab, ‘Ya, Pakaian yang dibordir bagian bawahnya’. Perempuan itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, pakaikanlah aku!’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya’. Nabi duduk di majelis, kemudian keluar dengan menggenggam burdah itu, lalu menyuruh untuk memberikan orang tersebut. Orang-orang berkata kepadanya, ‘Alangkah baiknya engkau, engkau meminta kepada beliau, padahal engkau tahu beliau tidak pernah menolak orang yang meminta.’ Orang itu berkata, ‘Demi Allah, tidaklah saya memintanya kecuali agar itu menjadi kafan saya jika meninggal.’ Ternyata itulah kafannya.” (HR. Al-Bukhari:2093)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Yang jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengutamakan orang lain. Dalam ash-Shahihain telah shahih bahwa jika Rasulullah diberikan kemenangan pada Khaibar atau tempat yang lain, beliau menyimpan (fa’i atau ghanimah) buat makanan pokok keluarganya untuk beberapa waktu, kemudian sisanya untuk di jalan Allah. Dan jika ada keperluan mendadak atau tamu datang, maka beliau mengisyaratkan kepada keluarganya untuk mendahulukan orang lain, sehingga habis semua atau sebagian besar simpanan makanan beliau.” (Fathul Bari 11/280).
Adapun itsar para sahabat dan generasi terbaik umat ini sangatlah banyak. Cukuplah mereka sebagai sebab turunnya ayat al-Qur’an dalam surat al-Hasyr ayat 9 di atas itu. Wallahul muwaffiq.
—
Ditulis ulang dari Majalah Al Mawaddah vol. 77 hal 49-53 (rubrik Akhlak Kariimah)
Artikel Muslimah.or.id