Kedua hal ini telah sangat dikenal oleh kaum perempuan, dimana kita biasa menjumpai keduanya, dan tidak diragukan lagi bahwa darah haidh dan nifas terhukumi sebagai najis. Cara mensucikan darah haidh dan nifas adalah dengan membasuhnya dan mengusapnya dengan air hingga bekas darah tersebut hilang.
Berkenaan dengan darah haidh yang terkena pakaian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tata cara menyucikannya,
???? ?? ??? ?? ?????? ?????? ????? ???
“Menyikat, lalu menguceknya dengan air kemudian menyiramnya, dan baru setelah itu boleh mengerjakan shalat dengan mengenakan (pakaian tersebut).” (Shahih, riwayat Bukhari (no. 227) dan Muslim (no. 240 dan 291))
Adapun jika setelah dicuci dan digosok dengan air dan sabun, darahnya masih membekas maka hal ini tidak menjadi masalah, berdasarkan riwayat berikut,
?? ??? ????? ??? ???? ???, ?? ???? ??? ???? ????, ?? ???? ???? ??? ?? ??? ??? ????? ???? ???? ???? ??? ???? ???? ?????? ???? ????? ?? ??? ???, ????? ?? ???? ???? ?? ?? ???? ???? ???, ???????? ????? ??? ???? ????.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Khaulah binti Yasar berkata, ‘Ya Rasulullah, aku hanya mempunyai satu potong pakaian, dan (sekarang) saya haidh mengenakan pakaian tersebut.’
Maka Rasulullah menjawab, ‘Apabila kamu telah suci, maka cucilah yang terkena haidhmu, kemudian shalatlah kamu dengannya.’
Ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, (bagaimana) kalau bekasnya tidak bisa hilang?’
Rasulullah menjawab, ‘Cukuplah air bagimu (dengan mencucinya) dan bekasnya tidak membahayakan (shalat)mu.'” (Shahih, riwayat Abu Dawud dalam Shahih-nya (no. 351) dan ‘Aunul Ma’bud (II/26 no. 361), al-Baihaqi (II/408))
*Catatan:
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hukum darah manusia selain darah haidh dan darah nifas, serta hukum darah binatang yang dagingnya halal untuk dimakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa darah secara umum yang keluar dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya untuk dimakan, adalah termasuk dalam kategori najis. Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa darah hukum asalnya adalah suci, dia menjadi haram apabila dimakan, dan tidak dihukumi sebagai najis.
Salah satu ulama yang berpendapat darah termasuk najis adalah Sayyid Sabiq, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Fiqhus Sunnah (I/45-46), yakni darah yang mengalir dari tubuh manusia dan hewan yang halal dagingnya terhukumi sebagai najis, kecuali darah yang sedikit.
Namun, Syaikh Albani telah memberi komentar dan penjelasan dalam kitabnya Tamaamul Minnah (hal. 49-52) berkaitan dengan masalah ini. Syaikh Albani mengatakan bahwa tidak bisa menyamakan hukum darah haidh dengan darah manusia yang lain (selain darah haidh dan nifas) dan darah binatang yang halal dimakan, karena tidak ada dalil dari as-sunnah ash-shahihah, terlebih dari al-Qur’an yang mendukung pernyataan ini. Karena hukum asal darah adalah suci, kecuali ada bukti tekstual yang menyatakan kenajisannya. Dan pernyataan ini juga menyelisihi ketetapan sunnah. Meskipun ada referensi dari beberapa ahli hukum terdahulu dalam membedakan antara darah yang sedikit maupun banyak, namun tidak ada dalilnya dari sunnah, bahkan disebutkan juga dalam sebuah riwayat bahwa Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah dilempari panah oleh orang musyrik ketika sedang shalat di malam hari. Lalu ia mencabutnya, tetapi ia dipanah lagi hingga tiga kali. Ia melanjutkan shalatnya dalam keadaan bercucuran darah. (Hadits marfu’, sebagaimana ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud (no.193))
Juga Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma pernah berlumuran darah dan kotoran binatang yang sedang disembelihnya, kemudian ketika shalat mulai ditegakkan, ia melaksanakan shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. (Riwayat Abdurrazaq dalam Mushannaf (I/125), Ibnu Abi Syaibah (I/392), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX/284) dengan sanad yang shahih)
Syaikh Albani mengatakan, seandainya keluarnya darah yang banyak itu membatalkan shalat pasti Nabi menjelaskannya. Dan seandainya hal ini tersembunyi dari Nabi (yakni tidak diketahui Nabi), pasti Allah mengetahuinya. Maka, jika darah itu membatalkan shalat atau bersifat najis, pasti Allah mewahyukan hal tersebut kepada Nabi. [Lihat juga Fat-hul Baari (I/225)]
Namun demikian, kita harus tetap mengembalikan masalah ini kepada dalil-dalil yang shahih. Dan pendapat yang paling dekat dengan dalil yang shahih, maka itulah yang paling benar. Wallahu a’lam.
Bersambung insya Allah…
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
***
Artikel muslimah.or.id
trimakasih ya atas infonya…sekarang jd lega deh g susah2 banget bwat ngilangin darah haid di celana ampek berjam2….
bismillah
alhamdulillah
jazakumulloh khoir tas ilmunya
asw
saya mau nanya ne..
wnita yg baru bersih dari nifas tapi tidak bisa mandi tuk mengangkat hadats besar dikarenakan jahitan diperutnya.
berarti kan harus tayamum..
jadi bagaimana caranya bertayamum tuk mengangkat hadats besar tersebut??
terus klw mau shalat itu tayamum atau ngambil wuduk?
karena klw ngmbil wuduk anggota tubuhnya tak ada masalah
syukron qobluhu
saya mau bertanya, apakah pembalut wanita yg sedang haid itu sebelum dibuang harus dicuci bersih terlebih dahulu hingga darahnya benar2 hilang?
mohon penjelasannya dan hadits yg menyertainya.
terima kasih
sangat membantu sy kerjaiin tgas hehehehe…..
syukron khatsir…
ana mau tanya, kalau darah haid tersebut terkena kain selimut, kemudian ana baru tahu setelah kering, sedangkan darah tersebut (dalam keadaan kering) telah menyentuh bagian-bagian kain/sepri/selimut yang lain. apakah kain selimut/seprei seluruhnya menjadi najis juga? atau cukup dibasuh bagian yang terdapat bekas darah keringnya saja? mohon untuk dibalas, paling tidak dikirim ke email ana. [email protected]
bagaimana klo cara mencuci piring bekas bading babi,,,