Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Syariat islam dibangun di atas prinsip memudahkan dan tidak memberatkan.
????? ?????? ?????????? ??? ???????? ???? ??????
”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)
Bagian dari prinsip ini, para hamba diminta untuk memenuhi perintah syariat, sesuai kemampuannya. Tak terkecuali masalah puasa. Allah memberikan keringanan bagi orang yang lemah, yang tidak sanggup melaksanakannya, untuk tidak berpuasa. Diantaranya, wanita hamil dan menyusui. Para ulama menegaskan, mereka boleh tidak puasa karena khawatir dengan kesehatan dirinya atau anaknya. (al-Muhadzab dlm al-Majmu’, 6/267; al-Mughni, 3/149).
Konsekuensi Qadha & Fidyah
Permasalahan selanjutnya, apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika mereka tidak berpuasa? Antara qadha dan fidyah atau tidak sama sekali.
Mengingat dalam masalah ini terdapat perselisihan, maka untuk memudahkan pembahasan, kita akan pisahkan antara kewajiban qadha dan fidyah.
Pertama, Hukum Qadha
Ada dua pendapat tentang hukum qadha bagi wanita hamil & menyusui yang tidak puasa
Pendapat pertama, mereka tidak wajib qadha.
Pendapat ini diriwayatkan dari Said bin Jubair, Qatadah, Said bin Musayib, Ishaq bin Rahuyah, dan Ibnu Hazm.
Pendapat kedua, mereka wajib qadha selama memungkinkan.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya para imam madzhab yang empat.
Berikut dalil dan alasan masing-masing pendapat.
Pertama, hadis Anas bin Malik al-Ka’by radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
????? ??????? ?????? ???? ???????????? ?????? ?????????? ???????????? ?????? ?????????? ?????????????
“Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban bagi musafir setengah shalat dan puasa, demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui.”
Teks hadis di atas diriwayatkan Ahmad, Nasai, dan Abu Daud dengan redaksi yang sama.
Sementara dalam riwayat Turmudzi, teks hadisnya berbeda,
????? ??????? ???????? ?????? ???? ??????????? ?????????? ???????? ??????????? ?????? ????????? ???? ?????????? ?????????
“Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban bagi musafir puasa dan setengah shalat, demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui.”
Perawi Hadis:
- Riwayat Nasai di no. 2274, dari Abu Qilabah, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Kemudian di no. 2275, an-Nasai menyebutkan riwayat semisal dari Abu Qilabah dari seseorang dari Bani Qusyair.
- Riwayat Abu Daud di no. 2408, dari Ibnu Sawwadah al-Qusyairi, dari Anas bin Malik, seseorang dari Bani Ka’b yang merupakan saudara Bani Qusyair.
- Riwayat Turmudzi di no. 715, dari Ibnu Sawadah, dari Anas bin Malik, seseoran dari bani Ka’b.
- Riwayat Ahmad dalam Musnad no. 20326, dari Abu Qilabah, dari Anas bin Malik al-Ka’bi.
Dari semua keterangan tentang perawi di atas, kami hanya ingin memastikan bahwa Anas bin Malik perawi hadis di atas, bukan Anak bin Malik putra Ummu Sulaim, tapi Anas bin Malik dari Bani Ka’b rekan Bani Qusyair.
Derajat Hadis:
Hadis ini dinilai hasan oleh Turmudzi dan dua ulama hadis kontemporer, Imam al-Albani dan Syuaib al-Arnauth. Yang penilaian mereka sudah cukup menjadi kesimpulan kita bahwa hadis ini bisa diterima sebagai dalil.
Kemudian, ada sebagian ulama berusaha menjelaskan sisi kedhaifan hadis ini, diantaranya Ibnu At-Turkumani dalam bukunya al-Jauhar an-Naqi (4/231). Beliau mengklaim bahwa hadis di atas mudhtarib sanad dan matannya. Beliau membandingkan antara riwayat Turmudzi, al-Baihaqi dengan riwayat yang lainnya. Namun disimpulkan oleh Dr. Faihan al-Mathiri – pengajar di Universitas Islam Madinah -, setelah beliau menyampaikan keterangan at-Turkumani,
???? ??? ??? ?? ???? ??? ???????? ???? ???? ??? ???? ??? ???? ????? ???? ???? ???????? ?? ?? ?????? ???? ????????? ??? ???? ???? ?? ??? ?????
Anda bisa lihat, sebenarnya at-Turkumani tidak menjelaskan sisi idhtirab seperti yang dia sebutkan, saya juga tidak menjumpai keterangan dari ulama lainnya. Sementara menurut keterangan banyak peneliti hadis, bahwa hadis ini bisa dijadikan dalil, dan tidak ada cacat dari sisi keshahihan hadis. (as-Shaum wa al-Ifthar li Ash-hab al-A’dzar, hlm. 151).
Di samping itu, sebagaimana keterangan Turmudzi, bahwa para ulama mengamalkan kandungan hadis ini.
Kesimpulan Hadis Terkait Puasa
1. Kesimpulan yang disepakati
Ulama sepakat bahwa musafir yang meninggalkan puasa ramadhan ketika safar, wajib mengqadha di hari yang lain.
2. Kesimpulan yang diperselisihkan
Sementara wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa, ada dua pendapat yang memberikan kesimpulan yang berbeda,
Kesimpulan pertama, mereka tidak wajib qadha. Dengan alasan,
- Allah telah menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan menyusui. Kata ’menggugurkan’ menunjukkan bahwa puasa tidak wajib baginya. Sehingga ketika mereka meninggalkan puasa, mereka tidak diwajibkan untuk qadha.
- Lalu mengapa musafir wajib qadha? Padahal Allah juga menggugurkan kewajiban puasa baginya?
Jawabannya: karena ada dalil khusus bahwa musafir wajib qadha di hari yang lain, yaitu firman Allah,
?????? ????? ???????? ???????? ???? ????? ?????? ????????? ???? ???????? ??????
”Barangsiapa diantara kalian yang sakit atau melakukan safar maka dia mengqadha sejumlah puasa yang ditinggalkan di hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184).
Sementara dalil khusus yang mewajibkan wanita hamil dan menyusui untuk mengqadha, tidak ada.
Kesimpulan kedua, mereka wajib qadha. Dengan alasan,
- Hukum gugurnya puasa yang berlaku bagi wanita hamil dan menyusui statusnya sama dengan hukum gugurnya puasa yang berlaku bagi musafir. Tidak ada bedanya. Sehingga aturan yang berlaku untuk musafir dalam kasus ini, juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui.
- Kita sepakat bahwa musafir yang meninggalkan puasa karena safarnya, mereka wajib qadha tanpa fidyah, sehingga aturan inipun berlaku untuk wanita hamil dan menyusui.
- Wanita hamil dan menyusui dibolehkan untuk meninggalkan puasa, karena madzannah masyaqqah, dengan adanya kekhawatiran terhadap keselamatan diri atau janinnya. Sehingga kondisi mereka tidak berbeda dengan orang sakit, yang tidak puasa kerena madzannah masyaqqah, yaitu khawatir terhadap keselamatan dirinya. Sehingga dalil firman Allah, di surat Al-Baqarah ayat 184, juga berlaku untuk mereka. Posisi mereka tidak berbeda dengan orang sakit.
- Terlalu jauh jika kita berpikiran, seharusnya di ayat itu disebutkan wanita hamil, dan menyusui. Karena di ayat ini juga tidak disebutkan pekerja keras, orang yang hendak menyelamatkan orang lain yang tenggelam, atau kondisi lainnya yang menyebabkan orang keberatan untuk puasa. Jika mereka semua disebutkan, tentu akan menyebabkan tathwil terhadap ayat, yang itu bukan sifat al-Quran, yang ringkas, namun padat maknanya.
Dengan menimbang keterangan di atas, maka kesimpulan yang tepat untuk hadis Anas bin Malik al-Ka’bi atas,
- Wanita hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa
- Hadis di atas BUKAN dalil gugurnya kewajiban qadha bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak puasa.
Apakah ada dalil lain yang menunjukkan mereka wajib qadha? insyaaAllah dibahas dalam kajian berikutnya. (Qadha & Fidyah Bagi Wanita Hamil dan Menyusui Bagian 2)
Allahu a’lam
***
Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.Or.Id