Hukum asal bagi wanita adalah menetap di rumah dan tidak keluar darinya, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Namun, Nabi ﷺ memberikan pengecualian berupa izin bagi wanita untuk keluar rumah karena kebutuhan syar‘i, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Dalam Shahih al-Bukhari, disebutkan bahwa ketika Allah mewajibkan hijab bagi kaum wanita, Rasulullah ﷺ bersabda,
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar memenuhi kebutuhan kalian.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)
Kebutuhan untuk dirinya sendiri
Jika untuk menjaga kelangsungan hidup (nafkah badan) karena tidak ada yang menanggung, maka boleh baginya keluar bekerja dan mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makan, minum, pakaian, obat-obatan, dan lainnya—baik untuk dirinya maupun anak-anaknya.
Jika untuk menjaga agamanya, maka boleh baginya keluar ke tempat-tempat majelis ilmu ketika tidak ada yang mencukupi kebutuhan keilmuannya di rumah. Hal ini berdasarkan firman Allah,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Pencegahan dari neraka hanya mungkin dengan tauhid dan amal saleh, yang tidak dapat terwujud kecuali melalui ilmu. Rasulullah ﷺ bersabda,
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224)
Hadis ini juga berlaku bagi wanita karena sabda beliau ﷺ,
النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Kaum wanita adalah saudara kembar laki-laki.” (HR. Abu Dawud no. 236)
Kebutuhan orang lain terhadap dirinya
Jika seorang wanita memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dibutuhkan kaum wanita, seperti memandikan jenazah perempuan, membantu persalinan, atau khitan wanita, maka ia boleh keluar dari rumah untuk memenuhi kebutuhan tersebut apabila tidak ada yang lain mampu melakukannya.
Demikian pula apabila seorang wanita memiliki bekal ilmu syar‘i yang bisa disampaikan kepada saudari-saudarinya, sementara banyak dari mereka tidak mendapatkan bimbingan yang cukup dari kaum laki-laki, maka dalam kondisi ini, boleh baginya mengajarkan ilmu dan fikih kepada mereka. Baik mereka datang kepadanya, ia datang kepada mereka, ataupun mereka berkumpul di masjid atau tempat aman lainnya.
Bahkan, hal ini bisa menjadi kewajiban baginya apabila tidak ada laki-laki yang melaksanakan tugas tersebut. Suami pun tidak boleh melarang istrinya dari tugas mulia ini. Sebab, jika suami saja dilarang dari melarang istrinya ke masjid —padahal ke masjid bagi wanita itu tidak wajib— sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (Muttafaqun ‘alaih, Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)
— maka terlebih lagi, ia tidak boleh melarang istrinya dari menjalankan kewajiban agama yang dituntut karena ketiadaan kaum laki-laki yang melaksanakannya.
Maka, jika kebutuhan pribadinya (agama dan nafkah) telah tercukupi, serta kebutuhan orang lain juga sudah terpenuhi oleh orang lain, maka gugurlah alasan untuk keluar rumah, dan wanita kembali kepada hukum asalnya: menetap di rumah.
Penutup
Sebagai pengingat, apabila seorang wanita keluar dari rumahnya, hendaknya ia tetap menjaga adab-adab syar‘i dalam berpakaian, berpenampilan, dan perilakunya, serta tidak memakai wewangian. Nabi ﷺ bersabda,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)
Baca juga: Hukum Wanita Belajar Daring (Online) Campur Baur dengan Laki-laki
***
Penyusun: Junaidi Abu Isa
Artikel Muslim.or.id
Referensi: