Sudah sepatutnya seorang wanita memiliki dan menjaga kehormatan, rasa malu, dan iffah (kehormatan diri) apabila ia ikut berpartisipasi dalam forum-forum dan majalah dengan tulisan-tulisan sastra atau puisi yang disertai namanya, atau tulisan yang berisi tema-tema dakwah, atau kisah-kisah yang menggambarkan keindahan ciptaan Allah, membahas problematika manusia, atau lainnya.
Hukum dalam masalah ini berkaitan dengan isi tulisan dan jenisnya, kelayakan penulis dan tujuannya, serta karakter forum, majalah, atau media yang memuatnya.
Seorang wanita muslimah, sebagaimana halnya seorang laki-laki, berhak menyampaikan pendapat dan mengekspresikan pandangannya selama itu benar, sesuai dengan prinsip agama, serta dengan tetap menjaga amanah dan kejujuran. Ia pun boleh membela prinsip-prinsip Islam, syiar-syiar agama, akidah, dan akhlak, serta mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebab, ia memiliki hak untuk memahami agama, dan sifat (karakter) seorang ahli fikih adalah memberikan arahan, bimbingan, fatwa, musyawarah, serta melakukan amar ma‘ruf nahi munkar. Jadi, hak ini sama dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Kaum wanita adalah saudara kandung kaum laki-laki (dalam hukum).” (HR. Abu Dawud no. 236)
Kecuali ada perkara tertentu yang memang secara khusus dikhususkan bagi laki-laki sebagai pengecualian dari kaidah umum ini. Karena tujuan dari menyampaikan pendapat dengan lisan, tulisan, atau tindakan adalah untuk menampakkan kebenaran, memberi manfaat kepada pendengar, sehingga terwujudlah perbaikan, sirnalah kerusakan, dan lenyaplah kebatilan. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (QS. at-Taubah: 71)
Serta sabda Nabi ﷺ yang bersifat umum,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.”
Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,
لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأئِمَّةِ المسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin, dan untuk umat Islam secara umum.” (HR. Muslim no. 55)
Namun demikian, kebebasan berpendapat dalam Islam tidaklah mutlak tanpa batas, melainkan terikat dengan aturan syariat dan akhlak. Syariat berhak melarang pelecehan terhadap agama; pengingkaran terhadap akidah; peremehan hukum-hukum Allah dengan ejekan atau penyimpangan; ajakan untuk menyimpang darinya; atau menyakiti para dai dan orang-orang yang berada di atas kebenaran dengan cara menjelekkan, membesar-besarkan kekurangan mereka, atau merugikan kaum muslimin secara umum akibat kebodohan, penyalahgunaan ilmu, atau kebencian terhadap mereka.
Oleh karena itu, seorang muslim —baik laki-laki maupun perempuan— tidak boleh menulis atau menyebarkan opini, artikel, atau kata-kata di forum, koran, majalah, atau video yang memusuhi Islam, menyebarkan kerusakan, mengajak kepada kerusakan, meremehkan hukum-hukum Allah, mempermainkan ayat-ayat-Nya, merendahkan syiar agama, atau mengejek tampilan keislaman. Sebab hal itu termasuk kerjasama dalam dosa, permusuhan, kezaliman, dan kebatilan. Sementara kaidah menyatakan,
التَّعَاوُنُ عَلَى المَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ
“Bekerjasama dalam maksiat adalah maksiat juga.”
Allah memerintahkan bentuk kerjasama yang bersaudara dalam kebaikan dan takwa,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. al-Māidah: 2)
Selain itu, penulis opini tidak boleh mengekspresikan akhlak tercela, membangkitkan syahwat, atau menempuh gaya tulisan yang memicu fitnah. Ia juga wajib membersihkan niatnya dari tujuan-tujuan buruk seperti mencari popularitas, riya’, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, atau pura-pura berilmu. Ia tidak boleh membahas tema-tema agama dan dakwah kecuali jika memang memiliki kapasitas yang benar dan layak, sehingga mampu menyampaikan gagasannya dengan timbangan syariat agar tidak tergelincir.
Berdusta dengan menampilkan sesuatu yang bukan miliknya termasuk kebohongan besar. Nabi ﷺ bersabda,
المُتَشَبِعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang yang mengaku-ngaku apa yang tidak ia miliki, bagaikan memakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Bukhari no. 5219 dan Muslim no. 2130)
Seorang penulis harus dihiasi dengan keikhlasan dan kejujuran, menyampaikan pandangan yang benar berdasarkan akidah yang lurus, disertai ilmu yang bermanfaat, amal yang saleh, dan akhlak yang mulia. Apabila pendapat yang disampaikan bergeser dari keadilan menuju kezaliman, maka hilanglah kebenarannya, berubah menjadi sarana penyelewengan, penyesatan, perusakan, dan keluar dari ranah yang dibenarkan syariat. Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Hukum Wanita Mengajar Sesama Wanita
***
Penyusun: Junaidi Abu Isa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi: