Membina rumah tangga atau menikah, ialah sunah di antara sunah-sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مِنْ سُـنَنِ الْمُرْسَلِيْنَ: اَلْحَيَـاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ، وَالنِّكَاحُ
“Empat perkara yang termasuk sunah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.” (HR. Tirmidzi no. 1086)
Di dalam pernikahan terdapat sebuah komitmen besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Oleh karenanya, tidak hanya perlu kesiapan secara mental, ataupun finansial, melainkan perlu adanya kesiapan ilmu dalam membangun rumah tangga. Tidak adanya ilmu dalam membina rumah tangga bisa menjadi bencana besar bagi orang-orang yang ada dalam rumah tangga tersebut. Dengan wasilah ilmu, kita bisa mengetahui bagaimana cara kita bersikap terhadap suatu perkara, meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, serta menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami ataupun istri.
Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari rahimahullah mengatakan,
باب العلم قبل القول والعمل
“Bab: Ilmu sebelum berkata dan beramal.”
Kurangnya ilmu, ataupun kesiapan dalam berumah tangga, menjadi salah satu faktor dari banyaknya fenomena kegagalan dalam rumah tangga yang belakangan ini sering kita dengar. Hal tersebut tidak bisa kita pungkiri membawa dampak bagi masyarakat, sehingga tidak sedikit dari saudara-saudari kita yang kini merasa takut membangun rumah tangga.
Ibnu Qudamah rahimahullah pernah menyebutkan tiga golongan manusia dalam menyikapi pernikahan.
Pertama, adalah orang yang wajib untuk menikah. Mereka adalah orang-orang yang takut terjerumus pada perkara-perkara yang haram (perbuatan zina).
Kedua, ialah mereka yang disunahkan untuk menikah. Yaitu mereka yang memiliki syahwat, tetapi masih bisa mengontrol dirinya dari syahwat tersebut. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jika aku memiliki sisa waktu sampai sepuluh hari kedepan, dan aku tau akan wafat di hari terakhir tersebut, serta aku memiliki kemampuan untuk menikah, tentu aku akan menikah karena takut dengan fitnah.”
Ketiga, ialah mereka yang tidak memiliki syahwat, baik disebabkan oleh penyakit (impoten), atau ia memiliki syahwat, tetapi sudah terlalu tua, atau memiliki riwayat penyakit, dan selainnya, maka mereka memiliki dua pilihan. Pertama, disunahkan baginya untuk menikah. Kedua, tidak menikah lebih baik baginya, karena ia tidak bisa mencapai maslahat dalam pernikahan.
Baca juga: Beberapa Adab Mendatangi dan Menyelenggarakan Pesta Pernikahan
Jika ada di antara saudara-saudari kita yang takut dengan pernikahan, maka perlu kita lihat apa akar permasalahan dari ketakutan tersebut. Apabila ia takut karena ada suatu kondisi yang mengarah pada psikis atau fisiknya, seperti trauma, beberapa pengidap penyakit tertentu misalnya vaginismus, atau selainnya, jangan ragu untuk meminta bantuan pada pakarnya, yang dapat memberi beberapa arahan sesuai kebutuhan dan sesuai dengan syariat Islam. Dan yang paling utama, ialah memohon pertolongan dari Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا سألت فاسأل الله و إذا استعنت فاستعن بالله
“Jika kamu hendak meminta, maka mintalah kepada Allah; dan jika kamu hendak memohon pertolongan, memohonlah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Syaikh Shalih al-Munajjid dalam fatwanya menyatakan,
فإن أمر العلاج لا ينبغي أن يستحيى منه
“Sesungguhnya tidak perlu malu pada perkara pengobatan.”
Islam sendiri telah mengajarkan kita untuk membina rumah tangga sebagaimana hal tersebut adalah syariat dari Allah Ta’ala yang tidak boleh bagi kita untuk menolaknya.
Syaikh Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah berkata, “Wajib bagi kita untuk rida atas hukum-hukum syariat yang telah Allah tetapkan untuk hamba Nya. Baik kita mengetahui hikmahnya, ataupun tidak mengetahuinya. Hal ini dikarenakan, jika kita tidak mengetahui hikmahnya, bukan berarti tidak ada hikmah yang bisa kita dapatkan dari syariat tersebut, melainkan karena terbatasnya pengetahuan dan pemahaman kita tentang hikmah tersebut.”
Beliau melanjutkan dalam kalimat-kalimat berikutnya, mengenai hikmah dalam berumah tangga. Di antara hikmah tersebut adalah:
1) Menjaga kedua pasangan suami istri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يا معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغضّ للبصر، وأحصن للفرج
“Wahai pra pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah siap menikah, maka menikahlah, karena sesungguhnya ia (pernikahan) lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari)
2) Menjaga lingkungan sekitar dari keburukan.
3) Timbulnya kebahagiaan di antara suami istri atas apa yang diwajibkan baginya dari menjalankan hak-hak dan keakraban yang timbul.
4) Penguatan hubungan kekeluargaan dan suku.
5) Berlanjutnya keturunan manusia dengan cara yang selamat.
Dunia pernikahan memang tidak selamanya berisi hal-hal indah. Sebagaimana kita di dunia ini memang akan melewati berbagai macam ujian. Tidak ada manusia yang hidup tanpa sebuah cobaan. Perjalanan rumah tangga setiap manusia juga tidak selalu sama. Sebagaimana setiap dari kita juga memiliki cobaan yang berbeda. Ada yang diuji dengan ekonomi, keluarga, pendidikan, dan lain sebagainya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Namun ingatlah kembali, bahwa dengan menikah, maka sempurnalah separuh dari agama kita. Rasulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ
“Jika seorang hamba telah menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaknya ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Hadis ini di-shahih-kan oleh Al-Albani nomor 625)
Serta dijanjikan surga bagi wanita yang taat pada suaminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا صلت المرأة خمسها، وصامت شهرها، وحفظت فرجها، وأطاعت زوجها قيل لها: ادخلي الجنة من أي أبواب الحنة شئت
“Jika seorang wanita telah mengerjakan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya, serta menaati suaminya, niscaya akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau suka’.” (HR. Ahmad, 1: 191)
Aduhai, Maha Baik Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Maka jangan berputus asa pada rahmat Allah, dan terus berdoa kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
يَا بَنِيَّ اذْهَبُواْ فَتَحَسَّسُواْ مِن يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلاَ تَيْأَسُواْ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْأَسُ مِن رَّوْحِ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Wahai anak-anakku, pergilah kamu, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf 87)
Baca juga: Bolehkah Perempuan ‘Sulam Alis’ Agar Terlihat Cantik di Mata Suaminya
***
Penulis: Ummu Syafiq Evi Noor Azizah
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Shahih Al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab: al-Ilmu Qabla al-Qauli wa al-‘Amali
Ibnu Qudamah. Al-Mughni, hal. 341-344. Penerbit: Daar ‘Aalami Kutub, Riyadh. 1986.
Shalih, Muhammad Utsaimin. Az-Zawaj wa Majmuatu as-Ilatin fi Ahkamihi, hal. 31-34. Penerbit: Madar al-Wathan lin-Nasyr. Saudi Arabia. 2011.
https://islamqa.info/ar/answers/82968/نصيحة-لمن-لا-يريد-ان-يتزوج