Pendahuluan
Di antara sebab bertahan hidup adalah mendapatkan rezeki. Manusia dan hewan pun berjuang dan berusaha untuk mendapatkan rezeki agar bertahan hidup. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengenal rambu-rambu syariat dalam mencari rezeki. Sebagian orang sangat berambisi memperoleh rezeki sebanyak-banyaknya, sampai-sampai mereka lupa terhadap aturan yang hendaknya dijalankan. Aturan-aturan Allah tidak mereka indahkan, agar mereka mendapatkan rezeki.
Sangat penting bagi kita untuk mengenal konsep rezeki dalam syariat agar kita mendapatkan keberkahan dalam mendapatkan rezeki. Bahkan kita menjadikan aktivitas mencari rezeki tersebut sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sebagian ulama menyebutkan bahwa aktivitas mencari rezeki termasuk dalam jihad fi sabilillah. Allah Ta’ala berfirman,
عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah. Dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (QS. Al-Muzammil: 20)
Ketika menjelaskan ayat ini, Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
سوى الله تعالى في هذه الآية بين درجة المجاهدين والمكتسبين المال الحلال للنفقة على نفسه وعياله، والإحسان والإفضال، فكان هذا دليلا على أن كسب المال بمنزلة الجهاد، لأنه جمعه مع الجهاد في سبيل الله
“Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menyamakan antara derajat mujahidin dengan orang-orang yang mencari harta halal untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungannya, baik dalam hal kebaikan maupun keutamaan. Hal ini merupakan dalil bahwa mencari harta (rezeki) itu sepadan dengan jihad. Karena Allah menggandengkannya dengan jihad fisabilillah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 19: 55)
Pernyataan beliau ini tidaklah berlebihan kalau kita melihat banyaknya godaan ketika mencari rezeki melalui jalan-jalan yang haram. Apalagi di balik mencari rezeki tersebut, kita ingin menafkahi anak-istri dan terkadang juga menafkahi orang tua. Kita ingin berinfak di jalan Allah, ingin haji dan umrah, dan aktivitas ibadah lainnya. Sehingga wajar jika Al-Qurthubi rahimahullah menyandingkan antara berjihad dan mencari rezeki.
Berikut ini beberapa konsep yang harus kita ketahui berkaitan dengan mencari rezeki.
Konsep pertama: Rezeki itu sudah tercatat
Yang dimaksud dengan “sudah tercatat” adalah bahwa rezeki itu sudah ditakdirkan dan dijamin oleh Allah Ta’ala, tidak akan berubah. Hanya saja, tidak ada yang tahu berapa kadar rezekinya. Seseorang juga tidak akan meninggal kecuali setelah mendapatkan semua jatah rezekinya di dunia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberi (menjamin) rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Dalam sebuah hadis yang panjang dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang proses penciptaan manusia, di dalamnya disebutkan,
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
“Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh, dan diperintahkan untuk menulis empat perkara, yaitu rezeki, ajal, amal, dan kecelakaan atau kebahagiaannya.” (HR. Bukhari no. 6594 dan Muslim no. 2643)
Diriwayatkan pula dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ
“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan sampai dia menghabiskan semua jatah rezekinya. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mencari rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah, 8: 129 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 8: 166, hadis sahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah menghabiskan (menyempurnakan) seluruh jatah rezekinya, walaupun datangnya terlambat. Bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Jadi, kita tidak akan meninggal kecuali kita sudah mendapatkan semua jatah rezeki kita di dunia secara lengkap sebagaimana yang telah tercatat di Lauhul Mahfuz, tidak kurang sedikit pun. Rezeki itu tidak akan lepas. Ketika memang menjadi jatah kita, maka pasti kita dapatkan. Semiskin apapun seseorang, kemiskinannya itu tidak akan mengurangi jatah rezekinya sedikit pun. Sebaliknya, sekaya apapun seseorang, dia tidak akan mampu melampaui jatah rezeki yang telah ditetapkan untuknya, sekeras apapun usaha yang dia tempuh.
Jatah rezeki seseorang tidak akan berubah, hanya saja kita tidak mengetahui berapa jatah rezeki kita masing-masing. Lalu, apa tujuan kita mengetahui konsep pertama ini? Tujuannya adalah setelah kita bekerja keras berusaha mencari rezeki, kemudian kita mendapatkan hanya sedikit, maka itulah yang memang menjadi jatah rezeki kita dari Allah Ta’ala. Kita menerima jatah tersebut, tidak perlu protes karena tidak akan bertambah. Kalau kita mendapatkan rezeki yang banyak, kita bersyukur dan tidak sombong. Inilah fungsi iman terhadap takdir.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ؛ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23)
Lanjut ke bagian 2: Konsep Rezeki yang Diatur dalam Syariat (Bag. 2)
***
@7 Muharram 1446/ 13 Juli 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslimah.or.id