Tatkala kita bersepakat bahwa suka tak suka tiap manusia pasti akan mengalami kematian, maka secara tidak langsung kita juga bersepakat bahwa kita semua akan melalui fase berduka. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Kemudian, hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 78)
“Jiwa” yang disebutkan dalam ayat ini bukan hanya kita sendiri saja, melainkan semua orang dan termasuk juga orang-orang terdekat kita. Demikian juga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكثِرُوا ذِكرَ هَاذِمِ اللذَاتِ: المَوت
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian.” [1]
Orang yang diperintahkan untuk memperbanyak ingat mati bukan hanya kita sendiri saja, melainkan juga mereka yang kita cintai. Orang tua tercinta, anak-anak, dan pasangan tersayang, guru yang amat besar jasanya, tokoh-tokoh inspiratif yang mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan, semua ada masanya. Dengan demikian, selain mempersiapkan kematian diri sendiri, bersiap untuk menghadapi kepergian orang-orang terdekat juga tak kalah pentingnya. Karena hanya ada dua kemungkinan: kita dahulu yang pergi, atau orang-orang berharga dalam hidup kita yang akan lebih dahulu berpulang, entah kapan waktunya.
Ketika mereka telah berpulang, maka tinggal tersisa harapan untuk berjumpa kembali di surga, negeri keabadian. Karenanya, selagi belum terlambat, sudah selayaknya kita luangkan waktu untuk berbicara dengan orang tercinta mengenai kematian. Selain mengingatkan agar menyiapkan bekal pulang, kita bisa juga saling membicarakan hal yang perlu dipersiapkan saat nantinya duka itu datang pada siapa pun yang ditinggal duluan.
Perbincangan seperti ini diperlukan untuk saling mengingatkan bahwa masih ada yang dapat kita ikhtiarkan sebagai bentuk ketulusan cinta pada kerabat maupun sahabat tatkala mereka berpulang. Syekh Prof. ‘Ashim Al-Qaryuti hafidzahullah pernah menyampaikan sebuah nasihat, “Bentuk kesetiaan terhadap orang tua atau pasangan saat masih hidup maupun sepeninggal mereka bukanlah (sekadar, pen) dengan memajang foto mereka, atau menjadikannya sebagai gambar latar HP-mu. Sejatinya, kesetiaan kepada mereka adalah dengan antusias menyuguhkan semua yang bermanfaat bagi mereka di alam kubur, baik berupa doa, sedekah, atau silaturahmi dengan sahabat-sahabat mereka.”
Melalui tulisan ini, kami rangkum hal-hal yang perlu diperhatikan ketika berduka dalam beberapa poin berikut, semoga bermanfaat.
Saat Hari Berduka Itu Tiba
Wajib bersabar dan ridha atas takdir Allah Ta’ala
Hendaknya kita ber-istirja’, yaitu mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Allah Ta’ala berfirman,
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ , الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali).” (QS. Al-Baqarah: 155-156)
Boleh menangis, tetapi dilarang niyahah (meratap)
Tatkala Ibrahim, anak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau pun juga menangis. Kala itu beliau bersabda,
إنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، والقَلْبَ يَحْزَنُ، ولَا نَقُولُ إلَّا ما يَرْضَى رَبُّنَا، وإنَّا بفِرَاقِكَ يا إبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Air mata berlinang dan hati bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu kecuali yang diridai Allah. Dengan kepergianmu ini wahai Ibrahim, kami sangat bersedih.” [2]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang niyahah. Beliau bersabda,
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ
“Ada empat perkara jahiliyah pada umatku yang sulit mereka tinggalkan: membanggakan kebesaran leluhur, mencela nasab, mengaitkan hujan dengan bintang tertentu, dan niyahah (meratap)”. [3]
Niyahah adalah meratapi mayit dengan mengangkat suara, menampar pipi, atau merobek pakaian. [4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لَيسَ مِنَّا مَن ضَرَبَ الْخُدُودَ، وشَقَّ الْجُيُوبَ، ودَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِية
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dan berdoa dengan doa jahiliyyah.” [5]
Doa jahiliyyah yang dimaksud adalah tindakan meratap karena kekecewaan terhadap takdir. [6]
Sedih dan tangis tentu suatu hal yang manusiawi di saat kita berduka, ditinggal berpulang mereka yang berharga. Tetapi, hari terus berjalan, masih ada sisa waktu untuk memperbaiki diri dan mendoakan kebaikan untuk mereka.
Baca juga: Amalan untuk Para Leluhur
Diperbolehkan menyingkap wajah dan mencium kening jenazah
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium jenazah Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu, hingga aku melihat beliau mengalirkan air mata.” [7]
Hendaknya bersegera memenuhi hak-hak jenazah
Hendaknya bersegera memandikan, mengkafani, mensalatkan, hingga menguburkannya. Hukumnya fardhu kifayah. Apabila tidak ada yang melaksanakannya, maka semua orang di lingkungan sekitar jenazah akan mendapat dosa.
Terus mendoakan
Dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ وَهُوَ يَقُولُ « اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ …إلخ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensalati jenazah, dan aku menghafal doa yang beliau baca. Beliau membaca, “Ya Allah, ampunilah ia, rahmati ia, selamatkan ia, maafkan ia, …” [8]
Doa jangan hanya terucap kala mendiang baru berpulang. Tetapi hendaknya kita terus mendoakan mereka hingga datang saat kita menyusulnya.
Segera menunaikan wasiat
Keluarga wajib menunaikan wasiat mendiang selama tidak bertentangan dengan syariat. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْۢ بَدَّلَهٗ بَعْدَمَا سَمِعَهٗ فَاِنَّمَآ اِثْمُهٗ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَهٗ ۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Barangsiapa mengubah wasiat itu setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181)
Menjalin silaturahmi dengan kerabat mendiang
Terkhusus bagi anak yang ditinggal orang tuanya, hendaknya tetap menjaga silaturahmi dengan kerabat maupun sanak saudara dari mendiang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ
“Bentuk kebaktian kepada orang tua yang paling tinggi, adalah menyambung hubungan dengan orang yang dicintai bapaknya, setelah ayahnya meninggal.” [9]
Melakukan amalan yang bermanfaat bagi mendiang
Beberapa amalan tersebut seperti bersedekah, badal haji, menunaikan nadzar, melunasi utang, dan qadha puasa, dan lain-lain.
Semua langkah ini tak dapat dipraktikkan secara instan, melainkan harus melalui proses belajar. Sudah sepatutnya kita berkenan meluangkan sedikit waktu guna menyiapkan hadiah terbaik untuk mereka yang kita cintai. Semoga Allah Ta’ala mudahkan.
Baca juga: Tabah Membawa Berkah
***
Penulis: Reza Mahendra
Artikel: Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] HR. Tirmidzi no. 2307 dan An-Nasa’i (4: 4), dinilai hasan shahih oleh Al-Albani
[2] HR. Bukhari no. 1303
[3] HR. Muslim no. 934
[4] Web resmi Syaikh Ibnu Baz: binbaz.org.sa/fatwas/11857/
[5] HR. Bukhari no. 3519 dan Muslim no. 103
[6] Fatwa Islamweb: islamweb.net/ar/fatwa/180603/
[7] HR. Abu Dawud no. 3163, dinilai shahih oleh Al-Albani
[8] HR. Muslim no. 2276
[9] HR. Muslim no. 2552