Saudaraku, ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392)
Dunia bagaikan penjara bagi seorang mukmin karena dia diperintahkan untuk melakukan berbagai macam amal ketaatan. Dalam sehari, seorang mukmin diperintahkan untuk salat wajib lima waktu. Bayangkan saja, jika dalam sehari kita diperintahkan untuk “wajib lapor” ke Polsek lima kali dalam sehari? Bagaimana perasaan kita? Tentunya sangat menderita.
Sedangkan dunia ini bagaikan surga bagi orang-orang kafir. Meskipun hidup mereka di dunia ini menderita, namun itu tetap surga bagi mereka. Karena mereka hidup tanpa aturan dari Allah Ta’ala, namun membuat aturan sendiri. Atau karena penderitaan mereka di dunia ini, tidak ada apa-apanya dengan penderitaan mereka di akhirat kelak, sehingga dunia ini masih bagaikan “surga” untuk mereka.
Saudaraku, Allah itu sayang kepada kita, namun kita saja yang masih berburuk sangka kepada Allah Ta’ala. Semacam pertanyaan sebagian di antara kita, “Ustad, saya sudah hijrah, sudah taat, tapi mengapa kondisi ekonomi saya masih sulit?” Atau, “Usaha saya masih begini-begini saja, atau justru malah kehilangan pekerjaan.” Lalu kita pun menyebutkan firman Allah Ta’ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Demikianlah pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak sebagian di antara kita.
Saudaraku, “merasa bertakwa” itu artinya belum bertakwa. Mengapa? Karena ketika kita masih berburuk sangka kepada Allah, itu adalah bukti bahwa kita belum bertakwa kepada-Nya. Renungkanlah kisah Nabi Ayyub ‘alaihi salaam. Beliau adalah seorang Nabi, Allah uji dengan musibah bertubi-tubi. Beliau ditimpa penyakit, anak-anaknya semua meninggal, usahanya bangkrut sampai habis hartanya, dan ditinggalkan oleh masyarakat. Namun, setelah delapan belas tahun beliau dalam kondisi seperti itu, beliau berdoa kepada Allah,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Renungkanlah, meski sedemikian berat ujian dan musibah yang menimpa beliau, Nabi Ayyub ‘alaihi salam tetap berbaik sangka kepada Allah dengan mengatakan, “Engkau adalah Tuhan yang Maha penyayang di antara semua penyayang.” Keimanan dan ketakwaan beliau tidak berubah meskipun sedemikian berat ujian yang menimpa beliau.
Bandingkanlah dengan kondisi diri kita. Kita merasa telah berbuat kebaikan dan ibadah, padahal sebenarnya masih sedikit. Namun ketika diberikan ujian, kita merasa bahwa kita tidak berhak (dan tidak pantas) mendapatkan ujian dan musibah tersebut. Padahal, Allah Ta’ala lebih sayang kepada kita daripada orangtua kita sendiri. Syariat-syariat diturunkan karena kasih sayang Allah kepada kita. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha pengasih lagi Maha penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Demikian pula, Allah mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat dan kasih sayang untuk alam semesta, bukan hanya untuk kaum muslimin,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta.” (QS Al-Anbiya: 107)
Di antara bentuk kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita adalah beliau jelaskan semua yang kita butuhkan, namun kita sendiri yang memang tidak mau tahu dan tidak mau belajar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلَّا وَلَهُ ذَنْبٌ يَعْتادُهُ: الْفَيْنَةَ بَعْدَ الْفَيْنَةِ، أَوْ ذَنْبٌ هُوَ مُقِيمٌ عَلَيْهِ لَا يُفَارِقُهُ حَتَّى يُفَارِقَ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ خُلِقَ مُفْتَنًا تَوَّابًا نَسِيًّا إِذَا ذُكِّرَ ذَكَرَ
“Tidak ada seorang mukmin, melainkan dia pasti memiliki dosa yang biasa dia kerjakan dari satu waktu ke waktu lainnya, atau dia punya dosa yang terus dia lakukan, sampai mati dia tidak tinggalkan dosa itu. Sesungguhnya seorang mukmin itu diciptakan dalam kondisi diuji (mendapatkan fitnah), dia selalu bertobat, namun kemudian dia lupa (melakukan lagi dosa tersebut, pent.). (Akan tetapi, orang beriman itu) ketika diberikan peringatan, dia pun ingat.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 11: 304. Dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2276)
Renungkanlah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Terbukti tidak dengan kondisi diri kita masing-masing? Mungkin kemarin kita bertobat dan berhijrah, lalu setelah beberapa waktu, kita ulangi lagi dosa yang sama tersebut. Pekan lalu kita sudah berjanji tidak akan melakukannya lagi, tapi pekan ini terjadi lagi. Saat bulan Ramadan kita semangat membaca Al-Quran. Namun setelah Ramadan berlalu, kita pun lupa karena disibukkan lagi dengan dunia. Dalam kondisi semacam ini, pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hendaknya kita saling mengingatkan,
إِذَا ذُكِّرَ ذَكَرَ
“Orang beriman itu kalau diberikan peringatan, dia pun ingat.”
Saudaraku, orang yang beriman dan bertakwa itu tidak pernah berburuk sangka kepada Allah, namun senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Semoga hal ini menjadi renungan untuk kita semuanya.
Baca juga: Apakah “Hijrahku” Jujur Kepada Allah?
***
@25 Dzulhijah 1445/ 2 Juli 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari ceramah Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah hafizhahullah di tautan ini: https://www.youtube.com/watch?v=RjGY09EjVnY