Syubhat 6: Para Sahabat Pernah Shalat di Gereja
Para penganut toleransi kebablasan menebar syubhat. Para ulama jelas melarang untuk ridha atau menghadiri ibadah orang non Muslim, namun ini disamarkan oleh mereka dengan membawakan pendapat para ulama tentang shalat di gereja.
Padahal pembahasan masalah shalat di gereja ini maksudnya ketika di tempat yang tidak ada masjid.
Tentu saja berbeda antara:
- hukum shalat di gereja ketika tidak ada masjid, dengan
- hukum masuk gereja untuk ikut dan mendukung ibadah orang Nasrani
Hukum shalat di gereja ketika tidak ada masjid, ada khilaf di antara ulama:
- Makruh, ini pendapat jumhur ulama.
- Boleh jika tidak ada gambar atau patung, haram jika ada gambar atau patung. Ini pendapat Hanabilah.
- Haram secara mutlak, ini pendapat sebagian Hanafiyah.
Yang rajih, boleh jika ada kebutuhan mendesak. Dan hal ini pernah dilakukan oleh Umar bin Khathab radhiallahu’anhu. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
هو رخّص فيها عمر للحاجة، لأجل يحتاج المسلمون والجنود الكنائس إما لمطر وإما لبرد وإما لغير ذلك، فلا بأس عند الحاجة، وإلا فلا يأتونها.
“Umar bin Khathab memberikan kelonggaran akan hal ini (shalat di gereja) karena kaum Muslimin dan para tentara ketika itu ada kebutuhan untuk shalat di gereja. Bisa jadi karena hujan deras, atau karena cuaca dingin, atau karena sebab lainnya. Maka tidak mengapa jika ada kebutuhan. Adapun jika tidak ada kebutuhan maka tidak boleh”.
Maka ini berbeda dengan mendatangi gereja untuk ikut serta dan mendukung ibadah orang Nasrani. Allah Ta’ala berfirman tentang sifat ‘ibadurrahman (hamba Allah yang beriman):
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak melihat az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS. Al Furqan: 72).
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan: “ az zuur adalah hari-hari perayaan kaum musyrikin” ( Tafsir Al Qurthubi ).
Syubhat 7: Semua agama sama
Jelas bahwa semua agama tidak sama. Hanya Islam lah agama yang haq dan diterima di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima [agama itu] daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi“ (QS. Al Imran: 85).
Allah Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلامُ
“Sesungguhnya agama [yang diridhai] di sisi Allah hanyalah Islam“ (QS. Ali Imran: 19).
Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah [gerangan] yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?”” (QS. Al Maidah: 17).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam pun telah membantah paham bahwa semua agama sama, atau pemahaman bahwa yang penting beriman kepada Allah dan para Nabi serta Rasul, maka sudah baik dan akan selamat di akhirat. Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أهل النار
“Tidaklah seseorang dari umat ini baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang mendengar ajaranku kemudian mati dalam keadaan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni neraka” (HR. Muslim).
Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat lembaran Taurat di tangan Umar bin Khattab radhiallahu’anhu, lalu beliau bersabda:
لقد جئتكم بها بيضاء نقية، لو كان موسى حيا واتبعتموه وتركتموني ضللتم
“Apakah engkau termasuk orang yang bingung wahai Ibnul Khathab? Sungguh aku datang kepada kalian dengan membawa ajaran yang putih bersih. Andaikan Musa hidup saat ini, lalu kalian mengikuti syariat Nabi Musa dan meninggalkan syariatku, maka kalian akan tersesat”.
dalam riwayat lain:
لو كان موسى حياً ما وسعه إلا اتباعي
“Andaikan Musa hidup saat ini, tidak ada kelonggaran baginya kecuali mengikuti syariatku”.
Maka Umar bin Khathab pun mengatakan:
رضيت بالله رباً وبالإسلام ديناً وبمحمد نبياً
“Aku telah ridha Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai Nabiku” (HR. An Nasa-i, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 5308).
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah di antara ulama yang tegas membantah paham pluralisme ini. Beliau menjelaskan:
ومن كان على دين اليهودية والنصرانية فهؤلاء يدّعون دين موسى وعيسى – صلوات الله وسلامه عليهما – وقد بدّلوا منه ، وقد أخذ عليهم فيهما الايمان بمحمد صلى الله عليه وسلم فكفروا بترك الايمان به واتباع دينه ، مع ما كفروا به من الكذب على الله قبله .
“Barangsiapa yang berada dalam agama Yahudi atau Nasrani, maka mereka mengklaim mengikuti Musa dan Isa ‘alaihimas salam, padahal mereka telah mengubah-ubahnya. Mereka mengetahui adanya kewajiban beriman kepada Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam namun mereka mengkufurinya dengan meninggalkan keimanan kepada Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak mengikuti ajaran beliau. Disamping kekufuran mereka karena telah mendustakan Allah sebelumnya”.
فقد قيل لي : إن فيهم من هو مقيم على دينه ، يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً عبده ورسوله ويقول : لم يبعث إلينا . فإن كان فيهم أحد هكذا فقال أحد منهم : أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً عبده ورسوله . لم يكن هذا مستكمل الاقرار بالايمان حتى يقول : وأن دين محمد حق أو فرض ، وأبرأ مما خالف دين محمد صلى الله عليه وسلم أو خالف دين الاسلام . فإذا قال هذا فقد استكمل الاقرار بالايمان
“Jika ada yang berkata: “di antara mereka ada yang masih berada pada ajaran asli agamanya, bersyahadat laa ilaaha illalla wa anna muhammadan abduhu wa rasuuluh“, namun mereka mengatakan: “bahwa Muhammad tidak diutus untuk kami”.
Jawabnya, jika memang benar ada yang demikian di antara mereka, lalu diantara mereka bersyahadat laa ilaaha illalla wa anna muhammadan abduhu wa rasuuluh, maka ia tidak sempurna pengakuan keimanannya hingga mengatakan bahwa agama yang dibawa Muhammad itu benar dan wajib diikuti. Dan sampai dia berlepas diri dari semua yang bertentangan dari ajaran yang dibawa Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam atau berlepas diri dari semua yang bertentangan dengan Islam. Jika ia mengatakan ini barulah pengakuan keimanannya sempurna” (Al Umm, 6/158).
Maka waspada terhadap paham pluralisme yang berkeyakinan semua agama sama, yang membahayakan akidah kaum Muslimin.
Syubhat 8: Mengapa perkataan yang simple saja dipermasalahkan?
Itulah bahayanya lisan, terkadang perkataan yang dianggap biasa oleh orang-orang ternyata itu perkataan yang berbahaya bagi agamanya dan dunianya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يرى بها بأسا فيهوي بها في نار جهنم سبعين خريفا
“Sungguh ada seseorang yang mengucapkan suatu kalimat yang membuat Allah murka, ia menganggap perkataan itu biasa saja, padahal hal itu menjerumuskannya ke dalam neraka Jahannam sejauh tujiuh puluh tahun perjalanan” (HR. Bukhari no.6478).
Dan kita lihat sendiri di dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang hidupnya berubah drastis menjadi terpuruk gara-gara kalimat singkat yang keluar dari lisannya. Maka perkara lisan bukan perkara remeh, wajib kita menjaga lisan kita. Hendaknya berkata baik atau diam. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
من كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ، ومن كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليصل رحمه ، ومن كان يؤمن بًالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahmi. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau diam” (HR. Bukhari no. 6018, Muslim no. 47).
Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id