Tidak boleh seorang wanita memprovokasi seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya. Ini perkara yang telah diperingatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاقَ أُخْتِها، لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَها، فإنَّما لها ما قُدِّرَ لَها
“Tidak halal seorang wanita menuntut suaminya untuk menceraikan saudarinya (madunya), untuk mengosongkan piringnya. Karena bagi dia sudah ada rezeki tersendiri yang ditetapkan oleh Allah” (HR. Bukhari no. 5152, Muslim no.1408).
Dalam riwayat lain:
ولا تَسْأَلُ المَرْأَةُ طَلاقَ أُخْتِها لِتَكْتَفِئَ صَحْفَتَها ولْتَنْكِحْ، فإنَّما لها ما كَتَبَ اللَّهُ لَها
“Tidak boleh seorang wanita menuntut seorang suami untuk menceraikan saudarinya (madunya), untuk mencukupi piringnya. Hendaknya ia tetap menikah. Karena sesungguhnya Allah sudah tetapkan rezeki kepadanya” (HR. Muslim no.1408).
Dalam riwayat lain:
وَلَا تَسْأَلِ المَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَكْفِئَ إِنَاءَهَا
“Tidak boleh seorang wanita menuntut seorang suami untuk menceraikan saudarinya (madunya), untuk mencukupi bejananya” (HR. Bukhari no.2723).
Hadits-hadits di atas mencakup tiga perkara:
1. Calon istri kedua terlarang untuk memberi syarat kepada calon suaminya untuk menceraikan istri pertamanya
Oleh karena itulah, imam Al Bukhari dalam Shahih Al Bukhari membawakan hadits ini dalam bab:
باب الشروط التي لا تحل في النكاح
“Bab syarat yang tidak halal dalam pernikahan”.
Demikian juga, Ibnu Bathal mengatakan:
باب الشروط التي لا تحل في النكاح
“Hadits ini menunjukkan larangan Nabi ‘alaihissalam kepada wanita, untuk mempersyaratkan calonnya agar menceraikan saudarinya (istri pertamanya)” (Syarah Shahih Bukhari karya Ibnu Bathal, 7/273).
Dengan demikian, seorang wanita yang ingin menikahi lelaki beristri (sebagai istri kedua) tidak boleh mempersyaratkan lelaki tersebut untuk menceraikan istri pertamanya. Dan andaikan pernikahan tetap berlanjut, syarat ini batal dan tidak wajib dipenuhi.
2. Seorang wanita terlarang memprovokasi seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya, sehingga lelaki ini nantinya menikah dengan wanita tadi
Sebagaimana penjelasan An Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits-hadits di atas:
نَهْي المَرْأَة الأجْنَبِيَّة أنْ تَسْأَل الزَّوْج طَلاق زَوْجَته، وأنْ يَنْكِحها، ويَصِير لها مِنْ نَفَقَته ومَعْرُوفه، ومُعاشَرَته ونَحْوها
“Hadits ini melarang wanita ajnabiyah (yang bukan mahram dan bukan istri) menuntut seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya. Lalu lelaki ini menikahi wanita tersebut. Sehingga wanita tersebut bisa merebut nafkah, perlakuan baik dan kemesraan dari sang lelaki dan semisalnya (dari sang istri pertama)” (Syarah Shahih Muslim, 9/193).
Ini yang disebut dalam bahasa kita sebagai “perebut laki orang” atau pelakor. Allahul musta’an. Menjadi pelakor adalah hal yang terlarang dalam Islam.
3. Seorang istri dalam pernikahan poligami terlarang memprovokasi suaminya untuk menceraikan istrinya yang lain.
Sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani, beliau mengatakan:
الأخت: الضَّرَّة، وفيه من الفقه: أنَّه لا ينبغي أن تسأل المرأةُ زوجها أن يطلِّق ضرَّتها لتنفرِد به
“Yang dimaksud ‘saudari’ dalam hadits ini adalah dharrah (madu dalam poligami). Dan salah satu fikih dari hadits ini adalah tidak selayaknya seorang wanita memprovokasi suaminya untuk menceraikan istrinya yang lain agar ia bisa berduaan saja dengan suaminya itu” (Fathul Baari, 11/502).
Adapun ungkapan “mengosongkan piringnya” yang ada dalam hadits, ini adalah majaz (kiasan) yang bermakna: merebut apa yang diberikan suami kepada istrinya. Jadi, apa yang didapatkan istri pertama dari suaminya, direbut oleh si calon istri kedua atau si istri kedua.
Badruddin Al ‘Aini rahimahullah menjelaskan:
أَي: لتقلب مَا فِي إنائها وَأَصله من أفرغت الْإِنَاء إفراغا، وفرغته، إِذا قبلت مَا فِيهِ، لَكِن هُوَ مجَاز عَمَّا كَانَ للَّتِي يطلقهَا من النَّفَقَة وَالْمَعْرُوف والمعاشرة
“Maksudnya adalah untuk merebut apa yang ada pada bejana milik istri pertama. Karena dalam bahasa Arab, perkataan “afraghtul inaa’ ifraaghan” atau perkataan “faraghtuhu” maknanya: aku mengambil apa yang ada di sana.
Dan ini adalah majaz (kiasan) dari apa yang dimiliki oleh istri pertama, berupa nafkah, perlakuan yang baik serta kemesraan dari suaminya” (Umdatul Qari, 20/142-143).
Ringkas kata, wanita manapun, baik yang belum dinikahi atau sudah dinikahi, hendaknya tidak memprovokasi seorang lelaki beristri untuk menceraikan istrinya. Dan siapapun itu, hendaknya berusaha menjaga keutuhan rumah tangga dari saudaranya sesama Muslim, jangan menjadi perusak rumah tangga orang.
Tentunya ada beberapa keadaan yang dikecualikan, dimana boleh menyarankan seseorang untuk menceraikan istrinya atau suaminya karena adanya maslahat yang besar. Seperti dalam kisah Nabi Ibrahim terhadap rumah tangga Nabi Isma’il ‘alaihimassalam.
Wallahu a’lam.
***
Penulis: Yulian Purnama